Fiat Lux

Minggu, 25 September 2016

Tidak Ada Qurban di Abean

22.18 Posted by Arasy Aziz , , No comments

12 September silam adalah tahun kedelapan saya absen merayakan Idul Adha di rumah. Tidak ada daging melimpah ruah, tidak ada hidangan coto makassar. Hanya berleha-leha di kosan dan sempat diganggu masalah pencernaan. Namun merayakan eid dalam sunyi bukanlah "kemewahan" saya seorang. Jauh di belahan nusantara yang lain, saya ditemani orang-orang Abean, kampung kawan karib saya di Maluku Tenggara. Bedanya, kesunyian mereka barangkali hanyalah puncak gunung es dari masalah bangsa Indonesia yang jauh lebih besar lagi.

Pada hari ini ada lebih dari 254 juta penduduk Indonesia, dimana kekira 85 persen diantaranya menjadi pemeluk agama Islam. Kita boleh jadi memandangnya sekadar sebagai angka-angka statistik yang menyederhanakan keadaan sebenarnya; betapa tidak semua naranya menjalankan syariat dengan ketat. Namun penyederhanaan di dalam angka mayoritas itu pada kenyataannya cukup untuk membuat perayaan dan ritus agama Islam mengintervensi denyut negara. Sebagai sebuah tatanan yang dirancang rasional, menjangkau keseluruhan dan memiliki tanda pengenalnya sendiri, negara justru memberi ruang kepada warganya untuk merayakan afiliasi sosial dan bentuk identitas lain.  Di dalam kalender, akan kita temukan setidaknya lima tanggal merah untuk memperingati hari besar umat Islam; Tahun Baru Hijriyah, Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri dan Idul Adha. Aktivitas administrasi diliburkan agar tanggal-tanggal dapat dirayakan riuh, dengan wajah-wajah dan penanda festivalnya memasing. Tidak peduli apakah anda pemeluk yang teguh, atau semata-mata menjadikan Islam sebagai pengisi kolom kosong di KTP. Tidak ada demarkasi. Hari-hari besar dirancang sebagai milik semua.

Namun bagi sebagian orang, idealitas kegembiraan di dalam jeda yang disediakan negara itu masihlah menjadi sesuatu yang jauh. Ketika hari raya tiba, orang-orang ini tetap merasai hari liburnya. Mereka masihlah berbondong-bondong pergi ke masjid untuk menjalankan ibadah yang disunnahkan. Namun, ritus-ritus aksesoris justru absen dalam perayaan. Sesuatu yang kadang diposisikan lebih utama sehingga sebuah hari layak disebut “Hari Raya”.

Sebagaian orang dengan pengalaman yang tak lengkap ini bermukim di Abean, salah satu kampung di pulau Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Disana bermukim keluarga Larson, tukang ojek karib saya. Pada 12 September pagi, Larson terbangun dari peraduannya kemudian bergegas mandi. Tanggal tersebut bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1437 H, dirayakan seluruh dunia sebagai hari raya Idul Adha. Sebuah peringatan bagi kerelaan Ismail untuk disembelih demi menyempurnakan aqidah ayahnya, Ibrahim. Larson kawan kita hendak bersiap melaksanakan shalat eid. Matahari sedikit terik, namun tak menyurutkan langkah orang-orang Abean menuju ke masjid. Jelang pukul 7, Larson bergabung dengan penduduk yang mulai memenuhi jalan kecil kampung. Sebagai besar tampak mengenakan baju yang lebih rapih. Pinggang berlilitkan sarung, dengan kemeja atau baju koko yang disetrika licin. Wajah-wajah liat dari mereka yang sehari-hari bekerja kasar tak tampak, berganti dengan kecerahan khas paras pagi berbasuh air wudhu.

Pukul 7, muadzin mulai mengumandangkan panggilan shalat eid, megajak jamaah yang sudah menekur di masjid untuk berdiri. Lepas dua rakaat, dengan memasing tujuh dan lima kali takbir, shalat sunnah eid tuntas didirikan. Tak lama setelah salam, khatib yang bertugas beregegas naik mimbar menyampaikan khutbah eid guna mengajak orang-orang Abean kepada hal-hal baik. Khutbah usai, para jamaah kembali berdiri, saling bersalam-salaman, lalu pulang ke rumah masing-masing. Melanjutkan aktivitas hariannya.

“Begitu saja?” Saya terburu menyergah cerita Larson.

“Begitu saja.”

“Tidak ada penyembelihan hewan qurban?”

“Tidak ada.”

Saya tercenung sejenak. Cerita satu orang yang luput kebagian jatah daging qurban merupakan seuatu yang jamak terdengar. Barangkali sang juru bayar dan pengantar daging alpa dengan daftar nama-nama penerima yang ia pegang. Dalam beberapa kasus, di media bahkan ramai diberitakan bahwa si miskin yang harusnya menjadi salah satu yang layak menerima, justru berhasil menyumbang satu sapi hasil kerja kerasnya sendiri. Namun kisah satu kampung yang tidak merayakan penyembelihan sama sekali merupakan kenyataan yang sepenuhnya baru bagi saya. Sesuatu yang menurut Larson sudah biasa terjadi di kampungnya dari tahun ke tahun.

Qurban bagi orang-orang Abean tak dapat disebut sebagai ibadah rutin. Datangnya tidak sepasti hari raya Idul Adha itu sendiri. Mereka bisa melaksanakannya pada suatu tahun, lalu absen pada tahun-tahun selanjutnya. Mendengar embik maupun lenguhan di pojok kampoug jelang Idul Adha menjadi sebuah kemewahan tersendiri. Hanya dua sumber yang memungkinkan sapi-sapi dan kambing-kambing sumber suara itu berkeliaran. “Kalo bukan sumbangan dari pemerintah, ya partai politik. Tidak ada orang mampu di Abean,” ujar Larson meneruskan ceritanya.

Bagi saya, ini merupakan sebuah sisi penuh ironi dari hari raya Qurban di Indonesia, sekaligus puncak gunung es dari sebuah masalah yang jauh lebih besar. Betapa akses terhadap ekonomi masih bertumpu pada segelintir tangan.

Ibadah qurban bermula sebagai monumen, lalu menjadi ritus untuk membahagiakan orang yang tidak berpunya. Idul Adha pada aras permukaannya bertujuan untuk menjadi jembatan bagi si miskin untuk merasakan kemewahan daging setidaknya setahun satu kali. Ia membawa pepesan tentang kerelaan orang-orang mampu untuk berbagi.

Masalahnya, “kerelaan” dan “berbagi” ini masih ditafisr terbatas antar rumput tetangga. Sementara di Indonesia, persebaran kategori “orang mampu” timpang angka-angkanya antara satu daerah dengan daerah yang lain. Beberapa masih menjadi kantong-kantong penumpukan kekayaan, meninggalkan daerah lain dengan kemelaratannya. Sebagian daerah ditinggali oleh orang-orang kaya sepenuhnya, sementara sebagian yang lain disesaki oleh orang-orang papa. Kemiskinan tersebar secara merata. Dalam satu hari Idul Adha, sebuah sekolah muslim berlabel internasional bisa jadi menjagal hingga belasan sapi. Sebagian memang disebar ke rumah-rumah papa di sekeliling pagarnya. Sementara sisanya disantap bersama di kantin. Di saat yang sama, orang-orang Abean kembali ke ladang dan laut di belakang rumahnya untuk memetik timun dan ikan sebagai lauk. Barangkali di Indonesia, orang-orang Abean tidak sendiri.

Syahdan Indonesia masihlah tanah yang sama yang  ketika “tongkat kayu dan batu” dilempar sekenanya akan berubah menjadi “tanaman”. Namun Indonesia mana yang sedang dimaksud penggalan lirik ini? Beberapa daerah otonom tidak cukup beruntung diberkahi sumber daya yang kaya. Maluku Tenggara, semisal, semata-mata mengandalkan usaha perikanan dan pertanian yang dikelola secara tradisional sebagai ujung tombak. Sumbangan kedua sektor terhadap pendapatan daerah menurut  statistik tahun 2014 mencapai 32,33 persen. Sementara jika ditotal, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Tenggara per Desember 2014 hanya mencapai 2,1 milyar rupiah.

Dalam perumusan hukum dan kebijakan, negara agaknya alpa menimbang kenyataan ini. Melalui kebijakan otonomi yang tidak sistematis, daerah-daerah dilepas untuk berpacu meningkatkan perekonomian secara “swadaya”. Masing-masing ditugaskan menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) bermodalkan kekayaan alam setempat. Notabene sebuah bentuk liberalisasi terselubung di dalam negara kesatuan. Dalam situasi ini, tentu saja daerah-daerah dengan kapital yang baik akan melaju kencang; mereka yang tak hanya berlimpah sumber dayanya, melainkan juga yang didukung infrastruktur warisan kolonial hingga era Soeharto yang cenderung pilih kasih. Tidak ada skema serius dalam pengaturan di level konstitusi yang memungkinkan distribusi kekayaan dari daerah dengan tingkat pendapatan tinggi kepada yang rendah Satu-satunya akses hanyalah berbentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) yang sepenuhnya bersumber dari APBN.

Saya membayangkan, dstribusi kekayaan secara pantas antara satu daerah kepada daerah lain dapat memungkinkan orang-orang seperti Larson menikmati daging qurban secara rutin setidaknya setahun satu kali. Yang dibutuhkan tak hanya sebuah sistem peraturan yang baik, melainkan juga “kerelaan” dari pelaksananya untuk berbagi, sebagaimana semangat qurban itu sendiri. Dalam hal ini, kita dapat belajar pada orang-orang Abean. Mereka boleh jadi merupakan salah sedikit diantara 23.970 jiwa penduduk miskin di Maluku Tenggara, namun secara sadar maupun tidak mampu memaknai Idul Adha dalam lelaku hariannya. Ada sebuah tradisi yang menurut Larson menjadi muasal ketidakmampuan penduduk kampungnya untuk membeli hewan kurban. Kadang-kadang membuatnya berat hati. Sebuah tradisi yang tidak memungkinkan penduduk kepulauan Kei untuk menumpuk kekayaan secara berlebih-lebihan.

Mereka menyebutnya sebagai “yelim”. Secara sederhana, merupakan bentuk gotong royong orang-orang Kei untuk memenuhi hajat tertentu. Acara gelaran sebuah keluarga menjadi milik seluruh kampung dan marganya. Tradisi yelim berlaku dalam seluruh rentang suasana, baik duka hingga huru-hara. Ketika ada seorang warga yang meninggal, semisal, menjadi kewajiban moral bagi orang-orang untuk turut hadir lalu memberikan bantuan dalam bentuk apapun. Baik sekadar tenaga untuk mengurus dapur hingga sejumlah uang. Yelim mengikat orang-orang Kei secara turun-temurun, demi menghindari cap buruk dan daftar hitam dari satu keluarga. Masing-masing berkewajiban untuk melakukannya sepanjang periode hajat tersebut. Yang terpanjang adalah 40 hari dalam ritus kematian orang-orang Kei.

Dengan demikian, “kalo ada orang kaya di kampung, pasti orangnya itu pelit,” lanjut Larson. Masyarakat Abean yang umumnya menggantungkan hidup sepenuhnya dari bertanam sayur-mayur menjadi pantang untuk sendirian berpunya. Ada dua model kepribadian yang tengah dicontohkan disana. Masing-masing daerah di Indonesia dapat memilih menjadi salah satunya. (*)

0 komentar:

Posting Komentar