Fiat Lux

Minggu, 30 November 2014

Nokturno

06.32 Posted by Arasy Aziz 1 comment
Sepucuk surat cinta tanpa tahun;
Hai,
Kalian manusia selayaknya bersyukur untuk kodrat-kodrat sebagai ciptaan yang saling hidup dan menghidupi kemengadaannya satu sama lain. Kalian manusia selayaknya bersyukur matahari memiliki benda-benda langit yang menjadi pelampiasan hasratnya akan pemujaan hingga tak perlu banyak berlelaku. Di atas sini tak dapat kuhitung mereka yang tidak seberuntung itu, termasuk aku. Kami adalah bintang-bintang tunggal yang seumur hidup hanya mengenal massa maha raksasa yang memastikan kami tetap bergerak di antara waktu mengitarinya. Yang Disana. Sebenarnya salahku karena sejak semula dapat saja ku bagi sedikit besi dan nikel untuk membentuk planet-planet agar lengkaplah aku. Namun aku yang muda demikian tinggi hati, merasa kesunyian adalah hakikat benda-benda langit.
Hingga saat itu aku selalu mempertanyakan kepada yang Disana kenapa aku diciptakan dengan kebodohan ini. Aku menyesal sepenuhnya.
Yang Disana, di pusat galaksi, berdiri Tuhan. Atau setidak-tidaknya lubang antara yang mengantar langsung ke hadapan dia. Disana tempat keluh kesah aku kirimkan melalui lontar massa yang sesegera itu ditelannya lenyap.
Beberapa kali kulihat berkas penerbangan mahluk-mahluk cahaya dari penjuru-penjuru membelah kegelapan. Aku dapat mendengar sayup-sayup doa yang mereka dekap erat-erat. Pengunjung rutin yang lain adalah setan-setan nakal yang tak pernah belajar dari kekeliruan-keliruan di masa lalu yang mencoba mencuri dengar rahasia langit. Tubuh mereka membatu setiap kali bersitatap dengan mata yang melihat segala, lalu melayang kosong sebagai meteor.
Namun di tengah kebosanan menunggu lirikan Tuhan kepadaku si bintang pengeluh, sepasukan burung pelikan dengan topi tinggi berwarna biru yang menghambur dari sana dari waktu ke waktu selalu menarik perhatianku. Di ujung paruh asimetris mereka ditautkan buntalan-buntalan cahaya jiwa yang hangat seperti bias senja di kelopak krisan. Membelah ruang hampa. Mereka berarak mengirim kehidupan baru menuju pusat-pusat peradaban yang bernafas di antariksa.
Saat itulah aku menemukanmu.
Aku mengenalinya sebagai Saphio, pelikan tua yang telah berabad-abad menjalankan tugas mengantar jiwa baru menuju Bumi. Mengingat usianya membuatku maklum ketika hari itu dia menyimpangi arah navigasi dan tiba-tiba terbang melintasiku. Dapat kulihat dari matanya gurat kelelahan sehingga kutawari dia untuk beristirahat sejenak di salah satu jilat bintang yang kuturunkan suhunya agar tak membakar sayapnya yang berminyak. Dia tampak berbahagia.
Lalu aku mendengar tawa itu, tawa yang mengingatkanku pada sunyi semesta di hari pertama penciptaan. Aku menemukanmu, saat itu segenggam cahaya jiwa yang hangat seperti bias senja di kelopak krisan. Ku kira Tuhan pada akhirnya menjawab doa-doa tentang belahan jiwa.
Hai, Saphio. Dapatkah kau tinggalkan buntalanmu di sini agar aku punya teman? Dia tampak menyukaiku. Ujarku.
Dapat kulihat Saphio tersentak. Itu melanggar kodrat kelahiran! Kita akan mengacaukan tata semesta jika aku mengabulkan permintaanmu. Tuhan akan sangat marah kepadaku.
Saphio bergegas bersiap melanjutkan perjalanan ke Bumi, mungkin sedikit ketakutan oleh bintang yang tetiba mengiba-iba hal yang ganjil. Segera ku memohon  ia  menunggu sejenak agar aku dapat memberimu hadiah. Aku menyuapimu dengan sedikit letupan-letupan yang dapat kutemukan di lapis udara terluarku. Dapat kulihat bola cahaya itu turun ke tenggorokanmu hingga berhenti di ujungnya, menyala-nyala jingga, hijau, merah, kelabu. Kau tertawa manis sekali. Kubiarkan cahaya bintang memilikimu [1].
Aku sedikit bersedih karena Saphio akhirnya pergi membawamu, dan memohon ampun atas kelancanganku kepada Tuhan. Namun, tak dapat ku pungkiri pertemuanku denganmu semenjak itu banyak  sedikit mengguncang iman. Duniaku tak lagi menjadikan yang Disana sebagai pusat segala. Berkali-kali kulanggar hukum-hukum langit agar dapat mengintip ke lubang cacing yang ku curi dengan bantuan pelikan-pelikan pengangguran yang tak lagi mengenakan topi biru tinggi. Aku bertaruh sebagian hasil fusi untuk mereka dan amarah-amarah dari malaikat pengadu agar dapat mengamati kehidupanmu.
Aku dapat melihat kau tumbuh sebagai gadis yang dipenuhi gairah akah hidup. Dapat kulihat bola cahaya yang menyala-nyala jingga, hijau, merah, kelabu, menjadikamu pusat semesta manusia disekelilingmu. Kau dan cahaya itu menuntun mereka kepada kesadaran. Ini lucu mengingat betapa kau adalah cahaya lain yang disesatkan pelikan pada suatu waktu. Mereka agaknya sangat menyukai kehangatan yang kau tebar. 

Lalu, aku dapat melihatmu melakukan kesalahan itu, jatuh cinta padanya.
Dapat kulihat dia sama sepertiku, seorang pengembara yang menjelajahi kota ke kota, kecuali dalam sunyinya dia bertemu (dan kadang bercinta) dengan manusia-manusia lain, menyelamatkan orang-orang, mengobarkan amarah. Kukira kau sedikit teringat padaku yang mengajarimu pertama kali tentang kehangatan cinta. Kemudian aku melihatmu menatap langit dengan penuh gairah setiap kau bercakap dengannya. Aku tersenyum kepadamu. Namun segera kusadari bahwa kau melakukannya karena dia memintamu.
Gelisah tiba-tiba menjelma isyarat [2]. Mengapa aku tetap hidup dalam gelimang kesunyian dengan begitu banyak kehangatan yang telah kubagi denganmu? Sementara di bumi kau bahkan tak mampu membedakan aku diantara langit malam yang sepenuhnya datar. Demikian mudahnya kau mencintai sesorang yang bahkan tak pernah kau temui sebeumnya. Kau melupakan aku, bahkan dengan bola cahayaku yang melindungimu.
Telah tiba saatnya untuk mengambil kembali letupan-letupan yang sebelumnya kumiliki dan jiwamu sekaligus. Aku berderu mendahului takdir yang akan mengembalikanmu kepada Dia yang disana, di pusat galaksi. Aku akan memastikan cahaya itu membawamu ke sini, tempat bintang-bintang tunggal hidup. Pun itu berarti kau harus menelan bulat setiap perih penarikan kembali. Toh, itu akan memutus setiap gerak yang menjadikanmu pusatnya. Setelahnya kau dan aku akan berbahagia untuk keruntuhan kita dalam gravitasi menuju Supernova.
Demikianlah aku mengingatkanmu tentang apa-apa yang harusnya kumiliki. Kau. Seumur hidupku, tak akan ada yang lebih menguras ketabahan selain menunggu jiwamu meluruh menuju bintang-bintang. Menuju aku.
Seumur hidupku, tak ada yang lebih menguras ketabahan selain menunggu kematianmu.
Salam hangat.
Administrasi kantor pos besar ibukota Malang mencatat surat ini tak pernah sampai. Wilayah Cangar di pegunungan barat Malang tempat surat ini ditujukan diisolasi pada 2058 akibat ditemukannya radiasi nuklir yang didahului meninggalnya Anna-Maria Galuh Gayatri, seorang aktivis penentang rezim totaliter Federasi Malangkucecwara pada era pos-apokalip, karena kanker tenggorokan dalam usia 19 tahun.
# #
Sapardi Djoko Damono / Dua Ibu - Nokturno
Sulit untuk tidak menetapkan proyek musikalisasi puisi Sapardi Sjoko Damono oleh kolektif yang menamakan dirinya Dua Ibu sebagai mendung yang menenun bibit-bibit badai musik folk-akustik di Indonesia (yang hingga hari ini semakin terasa generik). Generasi kita telah terputus terlalu jauh dengan formula kritik yang mewakili rakyat a la Iwan Fals, selain karena ia tidak merawat konteks itu setelah keran kebebasan dibuka pasca reformasi.
Album Gadis Kecil, 2005, muncul membawa lirik-lirik manis berwana kelabu yang melekat di dalam sajak-sajak Sapardi, seperti dalam [1] [2] Nokturno;

Kubiarkan cahaya bintang
Memilikimu
Kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya
Gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat,
Merebutmu
Entah kapan kah bisa ku tangkap


untuk kemudian diramu dengan aransemen sederhana sehingga nyaman didengar berulang. Meskipun tak sampai menjangkau arus utama, bibit-bibit romansa yang bertanggung jawab telah ditebar dimana-mana untuk generasi kita lewat musik yang merakyat.

1 komentar: