Fiat Lux

Selasa, 30 Januari 2018

Dari Van Der Wijk ke Bukittinggi

10.46 Posted by Arasy Aziz , , , 6 comments

Saya diam-diam menyimpan asa untuk mengunjungi ranah Minang sejak masa Madrasah Aliyah. Pada awal tahun 2018, tepat sehari setelah tahun baru, saya akhirnya berhasil mewujudkannya. Dalam perjalanan panjang di atas bus Bengkulu-Bukittinggi, saya mengingat-ingat kembali mengapa tanah yang melahirkan banyak perumus keindonesiaan kita hari ini layak diziarahi.


Saya membaca Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk untuk pertama kalinya di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah. Buku itu bersampul biru gelap dengan sejumput warna putih yang seolah tumpah di atasnya, ibarat buih-buih yang disisakan sapuan gelombang laut.  Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk terselip di antara rak sastra perpustakaan madrasah kami, di antara puluhan judul novel-novel lain. Saya tak benar-benar ingat alasan mengapa memilih membacanya. Barangkali saya tergoda oleh nama penulisnya yang mahsyur, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), atau atas judulnya yang tersusun dari lima kata. Keduanya tercetak di punggung buku, yang segera tampak sepintas lalu ketika ia berdiri dijejerkan.

Yang benar-benar saya ingat kala itu adalah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk tak tuntas saya baca dalam sekali duduk, di sela waktu istirahat pertama kami yang hanya 30 menit. Di akhir waktu yang singkat itu, saya memutuskan meminjam Van Der Wijk untuk dibawa pulang ke asrama.

Ringkasnya, kisah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk berpusat pada kemalangan Zainuddin. Sejak lahirnya, ia dianggap tak berbangsa dan tak beradat karena lahir dari kawin silang yang tak jamak antara seorang putra Minang dan perawan Bugis. Kita tahu bahwa orang-orang Minang adalah suku terbesar di dunia yang masih mempertahankan sistem matrilineal. Artinya, garis keturunan seseorang ditentukan berdasarkan siapa ibunya. Sementara orang-orang Bugis adalah kontrasnya yang berkebalikan, dimana pihak ayah yang menjadi landasan perunutan latar kesukuan seseorang. Dalam situasi berayah Minang beribu Bugis, asal-usul Zainuddin dianggap ganjil dan serba kabur. Ia merantau jauh-jauh ke Batipuh, kampung halaman ayahnya di barat Andalas, hanya demi mendapati penolakan dari keluarganya.

Kesedihan itu sedikit terobati ketika Zainuddin bertemu dengan Hayati. Berawal dari pinjam meminjam payung sepulang mengaji, kedunya terlibat dalam hubungan surat-menyurat yang mendayu. Kebiasaan itu berlanjut sekalipun Zainuddin telah dipaksa pindah ke Padang Panjang. Ini sejenis konspirasi yang dirancang denga sengaja untuk menjauhkan Zainuddin dan Hayati. Ketika memisahkan keduanya tampak tak menghentikan masa-masa manis dan bergairah itu, ninik mamak Hayati mengambil langkah lebih lanjut. Hayati dipaksa untuk menikahi Aziz, seorang pemuda mapan putra ambtenaar kolonial. Tragedi kedua ini tampak lebih berat untuk ditanggung oleh Zainuddin, membikin ia lupa akan masalah ketunabangsaannya.

Belakangan, butuh berhari-hari hingga halaman demi halaman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk benar-benar saya tandaskan. Bagi saya di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah, gaya bahasa yang dipilih HAMKA relatif rumit dan sulit dicerna. Ia tampak  bertutur di atas pengaruh naratif hikayat Melayu. Kita mafhum, mengingat pada saat roman itu ditulis, HAMKA menjabat sebagai redaktur di sebuah surat kabar di Medan, pusat kebudayaan Melayu Deli. Ada bunga-bunga kalimat di sana-sini, yang dihela-hela agar tampak puitik. Struktur bahasanya mengikuti ejaan zamannya, pada tahun-tahun ketika roman itu ditulis, 1938. Kadang-kadang, saya membaca satu dua paragraf berkali-kali, sebelum mencermati segmen-segmen cerita yang lain.

Di antara kesulitan-kesulitan itu, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk menyisakan banyak hal yang membekas di benak saya. Yang terbayang-bayang adalah gambaran mengenai keindahan sisi-sisi dataran tinggi Minangkabau yang diapit oleh gunung-gunung berapi. Kadang-kadang, dapat saya dengar sayup-sayup nyanyian dari seruling pada pagi yang dingin di tepian danau Singkarak, atau pemandangan mata elang rumah-rumah gadang yang berdiri di tengah sawah-sawah muda.

Kadang-kadang, saya merasa sebagai orang Minang yang lahir di tempat lain. Ragam bahasa jerman memiliki kosa kata yang menandai fenomena itu: fernweh. Kerinduan kepada tanah-tanah yang belum pernah kita pijaki.

Dalam Van Der Wijk, beberapa kali keindahan yang layak dirindukan itu menemui bentuk dalam diri Hayati. Hayati adalah “lambaian gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang.” Hayati adalah kembang yang berpendar di dalam rumah gadang ninik mamaknya.

Beberapa tahun kemudian, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk diangkat ke layar lebar, memberi gambaran visual yang semakin tajam dan lengkap tentang kecantikan alam Minangkabau. Air permukaan danau di subuh yang dingin menjadi latar tempat bagi kegelisahan Zainuddin. Di tepiannya, Zainuddin kerap digambarkan menulis syair-syairnya, curahan kegelisahannya. Matahari belum naik hingga sepenggalan, dalam terang yang masih samar, menampilkan lanskap memukau dan tragis sekaligus.


Ketika cakrawala saya semakin meluas, rasa "rindu" kepada tanah Minang tak lagi sekadar tentang kehendak untuk menziarahi realitas Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Semakin banyak saya membaca, semakin saya menyadari bahwa tanah ini juga merupakan rahim dari tokoh-tokoh bangsa yang saya kagumi. Menyebutnya satu per satu tak akan habis. Dari Tan Malaka, Muhammad Yamin hingga Bung Hatta. Dari HAMKA sendiri, AA Navis, hingga Raudhal Tanjung Banua yang saya gemari cerpen-cerpennya. Pun, masing-masing mewakili bias politik yang berbeda-beda.

Demokrasi untuk Indonesia, biografi pemikiran politik Hatta yang ditulis Zulfikri Suleman, menautkan muasal dari tradisi intelektual ini pada nilai-nilai dan pepatah-petitih yang diwariskan masyarakat Minang sendiri. Suleman menilai, terdapat kecenderungan egaliter dalam dinamika sosial masyarakat Minang. Orang-orang Minang telah lama membentuk perspektif kesetaraan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Sekalipun di dalam setiap individu ditemukan
“perbedaan fungsional … tidak menghilangkan kesamaan nilai masing-masingnya, seperti dijelaskan dalam ungkapan: Nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, nan lumpuah pauni rumah, nan kuek pambao baban, nan binguang di suruoh-suruoh, nan cadiek lawan barundiang (yang buta penghembus lesung, yang tuli penembak bedil, yang lumpuh penunggu rumah, yang kuat pembawa beban, yang bingung disuruh-suruh, yang cerdik untuk lawan berunding).”

Setiap manusia dianggap memiliki keunggulan yang memungkinkan mereka berhimpun dalam masyarakat guna melengkapi kekurangan satu dengan yang lain. Saling hormat-menghormati, tanpa praduga yang merendahkan kemampuan masing-masing. Situasi ini, sebagaimana didalilkan Habermas puluhan tahun silam, adalah kondisi ideal agar diskursus dalam berlangsung dengan kondusif. Dengan terbentuknya ruang diskursif, pembentukan wacana dapat diselenggarakan dengan memadai. Memudahkan literasi anggota-anggotanya.

Di dalam alam sosial Minang, giat literasi itu mewujud secara fisik dalam pranata surau. Sejak muda, anak-anak Minang didorong untuk mengaji dan mempelajari kitab-kitab klasik. Beberapa orang yang saya temui nantinya di dalam perjalanan saya mengamini fungsi penting surau hingga hari ini. Semisal Amzal, sosok pegawai yang menjaga rumah kelahiran Bung Hatta. Pria paruh baya itu mengaku masih mendorong ketiga anaknya untuk mengaji di surau, dan diam-diam sibuk memikirkan penyelenggaraan khataman Quran si sulung. Di Minang, kelulusan dari surau tampak dirayakan sama meriahnya dengan momen-momen kegembiraan yang lain.

Orang-orang Minang pun memegang prinsip “baa di urang, baa di awak”: apabila seseorang mampu, kita pun pastilah bisa melakukannya. Mereka dididik untuk terus berusaha demi mencapai kemajuan individu. Kemajuan ini didapat dari proses belajar yang terus menerus, dari sumber ilmu di seluruh penjuru bumi. Seiring sejalan dengan kredo “alam takambang jadi guru”, alam semesta sebagai guru seumur hidup.

Tentu saja sekadar menjadi pejalan dalam hitungan hari tak akan membuat saya tuntas mempelajari nilai-nilai luhur itu. Namun kesemuanya lebih dari cukup sebagai alasan untuk berziarah ke Minangkabau minimal sekali seumur hidup. Ziarah kepada gambaran molek di dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, hinga kekaguman saya kepada sosok-sosok terbaik yang mungkin tak dapat dilahirkan untuk kali kedua di Indonesia hari ini.

Ketika perjalanan di Bengkulu saya tuntaskan, arah kompas saya arahkan ke utara. Ke alam Minangkabau yang permai. Rencana awalnya, pengeluyuran saya akan dimulai dari Bukittinggi, terus ke utara menuju danau Maninjau, sebelum mengakhirinya di Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat.

Bengkulu ke Bukittinggi dapat diakses secara langsung dengan kendaraan darat. Walaupun terletak bersisian atas bawah di peta Indonesia, perjalanan Bengkulu ke Sumatera Barat rupanya memakan waktu yang cukup lama. Dalam situasi normal, bus harus bergesekan dengan panas aspal selama 18 jam. Bus-bus tersebut memang memilih rute yang sedikit memutar. Mereka akan menuju ke kota Lubuk Linggau di Sumatera Selatan terlebih dahulu, kemudian Jambi, baru bergerak ke Timur Laut, memasuki wilayah Sumatera Barat. Pukul 11 lewat sedikit, di bawah terik matahari Bengkulu yang memanggang, bus berarak meninggalkan kota.

Lepas Curup, ibukota kabupaten Rejang Lebong, laju bus mulai tampak tersendat. Kemacetan yang awalnya tampak satu dua, mulai kelihatan mengular dan berkilo-kilo panjangnya. Walaupun menggelisahkan, waktu tak benar-benar terasa terbuang oleh pemandangan di kanan-kiri jalan. Bus kami terjebak di tengah sebuah kawasan dataran tinggi dengan hamparan kebun sayur mayur yang menjangkau kaki-kaki Bukit Barisan. Ketika bus berjalan, pemandangann berganti dengan kebun-kebun bunga yang tengah mekar. Saya terkagum-kagum diam-diam, Butuh dua jam hingga kami tiba di ujung simpul kemacetan, yaitu sebuah kawasan danau buatan yang tampaknya tengah ramai. Danau elok itu terletak di tepian jalan lintas Bengkulu-Linggau. Tak terhitung jumlah kendaraan yang berhenti sekenanya untuk menikmati panorama.



Bus kami akhirnya beristirahat sejenak di Lubuk Linggau untuk makan malam. Sisa perjalanan yang masih berjam-jam lagi saya habiskan dengan tidur yang tak benar-benar lelap. Keesokan paginya, saya terbangun oleh alarm HP saya yang lupa dimatikan. Waktu menunjukkan hampir setengah 6 lewat, lepas waktu subuh di wilayah Sumatera Barat. Bus singgah sekali lagi di salah satu masjid, sebelum kembali melaju. Kami telah memasuki wilayah Solok.

Bus kami lalu berkelok-kelok sedikit, hingga lepas salah satu tikungan, pemandangan bukit dan perumahan berganti dengan muka air yang meluas. Sepanjang mata memandang hanya ada air, kemudian air lagi, hingga ke ujung-ujung yang berbatasan dengan gunung-gunung di sisi seberang. Permukaannya tampak tenang dan tidak beriak, memantulkan sisa-sisa gelap malam yang hampir berganti. Dari jendela bus, sisa gelap itu tampak membungkus sampan-sampan yang bergerak di atas danau. Bus masih melaju perlahan di jalan sempit yang masih berkelok, sebelah menyebelah dengan tepi-tepi air. Kadang-kadang, jalan itu beririsan dengan rel-rel kereta yang telah mati dan ditinggalkan,

Kami telah memasuki kawasan danau Singkarak. Kami telah memasuki latar yang bisu dari tragedi cinta Zainuddin dan Hayati.

Mata saya terpaku pada ketenangan Singkarak di pagi yang dingin itu. Sepanjang 30 menit, bus berjalan bersisian dengan muka airnya yang luas. Perlahan, sisa-sisa malam ditelan cahaya malu-malu matahari pagi. Langit beganti dalam layer yang memukau, bersusun-susun antara biru gelap, jingga yang semburat, dan hijau. Hijau dari gunung-gunung di sisi Singkarak yang lain. Cahaya pagi yang hangat membuat gunung-gunung mulai tampak mendetil.

Kadang-kadang, pemandangan tepian Singkarak diselingi dengan permukiman-permukiman rakyat. Atap-atap runcing rumah gadang tampak menyembul di sela-sela rumah-rumah yang lebih modern. Awalnya satu dua, lalu semakin semarak. Sebagian berdiri lapuk, namun sebagian besar sisanya masih tampak terawat dengan baik. Dinding-dindingnya dilumuri dengan warna-warna dan ukiran khas Minang. Lepas subuh, jendela-jendelanya dibiarkan terbuka untuk menyilakan udara sejuk datang bertamu. Saya membayangkan udara itu berputar-putar sejenak di dalam rumah, sementara mamak-mamak di dalamnya memandang keluar dengan secangkir teh yang hampir dingin.

Dari dalam bus, vista yang saya lihat dalam mimpi-mimpi saya menemui wujud materialnya, Danau Singkarak, dataran tinggi, rumah-rumah gadang yang elok itu. Agaknya saya tak dapat menikmatinya dengan cara yang lebih-lebih lagi, kecuali terdiam dan memaku pandangan saya sedalam-dalamnya ke lanskap memukau itu.

Bus masih bergerak, belum sepenuhnya meninggalkan Singkarak, ketika ia melalui sebuah papan penanda wilayah yang segera saya kenali: Batipuh. 

Batipuh hari ini telah menjelma menjadi dua kecamatan yang membentang dari tepian Singkarak hingga ke dataran yang lebih tinggi. Pemandangan tanpa terasa telah berganti, antara muka air yang habis, dengan lahan-lahan pertanian warga yang dikerumuni padi-padi siap panen, bersusun-susun di kaki bukit membentuk unit-unit terasering. Dari puncak jalan yang mendaki, danau Singkarak semakin tampak mengerdil, menjauh.

Apa yang saya lihat hari ini, dari puncak-puncak tanjakan ini, saya bayangkan sebagai pemandangan yang juga disaksikan Zainuddin ketika tiba di Batipuh pertama kali. Bedanya, Zainuddin harus menerima kenyataan pahit yang tak sejalan dengan apa yang dibayangkannya sebagai sebuah tempat peraduan, kampung halaman yang hilang. Alih-alih menjadi kampung, Batipuh justru bersikap sudi tak sudi menghadapi sang manusia yang tuna bangsa itu.

Penelusuran lebih lanjut kemudian menemukan bahwa Batipuh tidak hanya menjadi latar bagi kesunyian Zainuddin. Sejak lama, wilayah ini telah menjadi saksi bagi banyak peristiwa penting dan berdarah-darah dalam sejarah Minangkabau.

Batipuh menjadi salah satu arena pertempuran dalam Perang Padri yang kompleks dan trigunal; dimulai oleh kaum padri (ulama) dan adat secara berhadapan, sebelum militer kolonial terlibat dan mengubah peta kekuatan. Kehadiran Belanda, yang awalnya diharapkan akan membantu kaum adat dalam menghadapi kaum padri, justru menjadi musuh bersama yang mempersatukan keduanya. Perang Padri pada akhirnya memang berhasil diredam pada 1833, namun sisa-sisa duka dan kebencian masih tersisa di hati masyarakat Minang. Apalagi kemenangan itu diikuti dengan perubahan besar-besaran dalam sistem sosial ekonomi masyarakat.

Pada 1841, pecah pemberontakan di Batipuh yang notabene merupakan residu dari Perang Padri. Ada setidaknya dua motif yang melatari perlawanan ini; kehendak Tuan Gadang, regent Tanah Datar, agar diangkat sebagai raja baru kerajaan Pagaruyung, serta kebijakan tanam paksa yang amat menyengsarakan rakyat. Sisa-sisa kebijakan itu adalah kebun-kebun kopi yang tersebar di beberapa sudut wilayah ini.

Lokasi Batipuh dan daerah sekitarnya memang serba strategis, dijepit oleh hawa dingin dan tanah subur limpasan gunung Singgalang dan ruah air dari Singkarak. Inilah anugerah alam dan paradoks Batipuh yang berulang kali digambarkan HAMKA terpersonifikasi dalam diri Hayati, dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Menyulitkan Zainuddin untuk sekadar pindah ke Padang Panjang dan meninggalkan gadis yang dipujanya.

Mulanya saya membayangkan bahwa jarak Batipuh-Padang Panjang tentulah memang jauh. Ternyata, kedua wilayah ini berbatasan satu sama lain. Sebelum saya tersadar dari khayalan saya yang bercampur baur antara alam fiksi dan realitas Batipuh, bus kami telah memasuki gerbang kota Padang Panjang. Sebagaimana ditulis HAMKA dalam Van Der Wijk, jarak yang menganga antara Batipuh-Padang Panjang memang semata terbentuk dari budi pekerti dan tabiat Zainuddin sendiri, alih-alih menggambarkan satuan yang aktual.

Bus kami singgah di terminal Padang Panjang untuk menurunkan penumpang. Saya semakin dekat dengan Bukittinggi. Jarak keduanya memang hanya sepelemparan batu. Kurang dari sejam kemudian, hampir pukul 9, bus kami mulai menemukan kemacetan lagi. Pemandangan perkebunan berganti dengan jejeran ruko yang solid dan riuh di tepian jalanan. Saya mulai memasuki kota Bukittinggi. Dengan badannya yang besar, bus kami meliuk di jalanan yang dipenuhi kendaraan pribadi dan angkutan dalam kota. Saya segera tersadar bahwa saya sedang berbagi waktu liburan dengan ribuan anak sekolahan. Pada hari yang belum terlalu siang itu, jalanan Bukittinggi relatif semarak, terutama oleh mobil dengan plat nomor asing.

Sesuai pesan Om E sehari sebelumnya, saya baru turun ketika bus tiba di pemberhentiann terakhirnya, Terminal Aur Kuning Bukittinggi. Udara dingin khas pegunungan segera menyergap saya, di tengah suasana terminal yang riuh oleh kernet bersahut-sahutan. Beberapa tukang ojek juga berusaha menawarkan jasanya kepada saya, namun saya tolak dengan halus. Di terminal yang sama berjejer beragam jenis kendaraan umum lain dengan tujuan yang berbeda-beda pula, dipanaskan, bersiap membawa penumpang ke sisi-sisi lain ranah Minang. Kernet-kernet itu beradu dengan kerongkongannya masing-masing.

Saya minum air banyak-banyak, mengisi dahaga yang saya tahan-tahan untuk mencegah buang air kecil berlebihan di dalam perjalanan, sebelum memulai petualangan di Bukittinggi. (*)

Sekelumit tentang Perjalanan Bengkulu-Bukittinggi:
Kota Bukittingi dapat dijangkau dari Bengkulu dengan perjalanan darat. Saya memilih menggunakan bus SAN dengan biaya Rp200.000. Tiket bus harus dipesan sehari sebelumnya demi mendapatkan nomor kursi yang nyaman serta menghindari kehabisan tiket. Tidak perlu khawatir jika harus buang air kecil di tengah jalan, karena armada SAN umumnya dilengkapi dengan toilet. Beberapa titik layak simak yang dilalui dalam perjalanan ini adalah Danau Dendam Tak Sudah, Liku 9, Dataran Tinggi Curup, dan Danau Singkarak. Bus akan berhenti dua kali untuk istirahat dan makan. Makanan berat per porsi rata-rata dihargai Rp25.000, dengan pilihan lauk beragam.

Selain itu, penerbangan Jakarta-Padang tersedia setiap hari. Di bandara umumnya tersedia jasa travel yang melayani perjalanan menuju Bukittinggi. 

6 komentar:

  1. Tetiba terbayang Vino G Bastian dan Pevita Pearce, hehe!

    Saya suka dg detailnya tulisan ini.

    Dulu sempat sekali ke Sumbar, tujuan utama kami waktu itu ke Mentawai. Tp pulangnya kami sempetin keliling Sumbar meski hanya sebentar. Masih terngiang indahnya lansekap sepanjang perjalanan melintasi Solok, Sawahlunto, Payakumbuh hingga Bukittinggi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo mba Lena, salam kenal. Terima kasih sudah mampir ke blog saya.

      Pemandangan ranah Minang emang memukau, bahkan dengan tanpa meninggalkan kendaraan. Ngeliat dari jendela mobil aja udah bikin berbinar-binar, ahaha. Semoga kita semua bisa berkunjung kembali ke sana suatu saat nanti.

      Hapus
  2. alam bukittinggi memang indah sekali

    BalasHapus
  3. Pas smu dulu, aku slalu nunggu2 pelajaran sastra krn kita dpt tugas membaca banyak karangan sastra lama termasuk buku hamka ini.. Walopun aku sama kayak kamu mas, membacanya hrs pelan2 , per paragraf supaya mudeng dan nyambung. Tp tetep, bacaan sastra seperti Hamka, marah rusli, nh dini begini, selalu sukaaa banget :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepaham, mba. Pengetahuan saya soal karya-karya sastra klasik nan indah juga saya dapatkan dari pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Dan sebagian besar perjalanan saya memang terinspirasi dari buku-buku yang saya baca, termasuk kali ini. Beruntunglah kita punya khazanah susastra yang luar biasa kaya.

      Hapus