Fiat Lux

Rabu, 31 Januari 2018

Bukittinggi: Kesan-kesan Pertama

06.52 Posted by Arasy Aziz , , , 3 comments
Saya mengecek ponsel pintar saya sebelum turun dari bus Bengkulu-Bukittinggi. Jam saya menunjukkan pukul 9 lebih sedikit. Sisa-sisa penumpang di dalam bus turun perlahan-lahan, memastikan diri tidak terjerembab ke aspal keras terminal. Sesekali kernet bus membantu orang-orang yang lebih tua dan renta, sebelum dimintai tolong mengambil barang di bagasi. Kerumunan telah berpindah dari lorong ke lambung kanan bus, memastikan barang bawaan mereka lengkap dan baik-baik saja.

Saya sendiri tak membawa bagasi. Bekal saya hanya satu tas ransel kuliah. Yang saya lakukan pertama kali ketika menjejak tanah adalah minum air sebanyak-banyaknya. Di hari-hari biasa, saya bisa menghabiskan air seliter dua dalam sehari. Dalam perjalanan 18 jam Bengkulu-Bukittinggi, kebiasaan itu terpaksa saya tinggalkan sejenak untuk memastikan agar tidak berkali-kali harus buang air kecil. Walaupun di dalam bus tersedia toilet, namun bolak-balik ke sana jelas merepotkan. Toilet itu terletak di pojok belakang badan bus, sementara saya kebagian kursi hanya dua baris di belakang pengemudi.

Setelah segala urusan dahaga dituntaskan, saya mulai merenggang-renggangkan badan yang terasa patah-patah. Rasanya, saya belum pernah duduk berkendara selama ini. Waktu tempuh kereta Matarmaja Malang-Jakarta pun sama panjangnya. Namun kereta api masih memungkinkan kita berjalan-jalan sesekali. Sementara di bus, kita dituntut untuk diam semata-mata.

Diam-diam, saya mulai membayangkan kasur yang empuk.

Saya bergegas membuka aplikasi penyedia jasa travel, dan mulai mencari-cari hotel.  Sejak semula, perjalanan ini saya rancang tanpa itenerary yang kaku. Semuanya saya biarkan dilakukan dengan spontan berdasarkan pikiran sepintas lalu. Tujuan-tujuan dan akomodasinya direncanakan dan dieksekusi dalam waktu yang bersamaan. Pada mulanya, model seperti ini tampak menawarkan keseruan-keseruan yang tak terduga. Apalagi perkembangan pesat teknologi digital hari ini semakin memudahkan perjalanan-perjalanan. Namun ada sisi-sisi pahit yang muncul kemudian, dana akan saya ceritakan pada bagian yang lain.

Aplikasi saya segera menunjukkan hotel murah bernama NZSW yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari terminal Aur Kuning. NZSW menyewakan ruangan berkasur tunggal, dengan kamar mandi berair panas dan kipas angin. Peranti yang disebut belakang rasanya tidak benar-benar diperlukan, mengingat dingin telah menyergap saya sejak menjejakkan kaki di kota ini. Hawa dingin mejadi identik dengan Bukittinggi karena letaknya yang menyempil di dataran tinggi Minangkabau, diapit gunung Singgalang dan Marapi, 909-941 meter di atas pemukaan laut. Tanpa ragu, saya mengambil tawaran NZSW itu.

Saya sempat mengalami disorientasi ketika mencoba menentukan arah mata angin dan nama jalan yang menjadi alamat NZSW dari titik mula saya. Saya hampir berbelok ke arah yang salah, sebelum seorang bapak yang tengah mengaso memperbaiki kekeliruan saya. Pencarian lokasi selebihnya  saya serahkan kepada asistensi Google Maps.

Tak kurang dari 10 menit, saya telah tiba di depan hotel itu. Dari luar, tidak ada identitas apapun yang menandai eksistensi NZSW. Papan namanya baru terpampang besar-besar di belakang meja resepsionis, segera setelah kita memasuki lobby hotel: NZSW, dengan tambahan anak nama “Khusus Sales”. Belakangan saya ketahui bahwa anak nama itu berarti harfiah. Hotel ini, termasuk sejumlah fasilitas pendukungnya, mulanya hanya disediakan khusus pedagang keliling yang tengah singgah di Bukittinggi. Termasuk motor rental yang tidak disewakan untuk tamu umum. Entah apa alasannya.

Yang juga cukup mengecewakan, hotel ini rupanya tidak membolehkan tamu untuk check in sebelum waktu yang ditentukan, yaitu pukul 14.00. Artinya, saya masih harus menunggu beberapa jam lagi untuk merebahkan diri.  Beruntung, mereka masih berbaik hati untuk meminjamkan toilet, sehingga saya bisa menunaikan hajat. Di lobby juga tersedia sejumlah port listrik yang bersebelahan dengan bangku-bangku jati. Saya memanfaatkannya untuk mengisi ulang baterai gawai-gawai yang hampir habis, sebelum memutuskan untuk langsung mengelilingi Bukittinggi terlebih dahulu.

Bukittinggi merupakan salah satu kota modern tertua di bumi Andalas. Sejarah keramaiannya telah dimulai sejak periode yang amat lampau, ketika orang-orang Minang yang permulaan menjadikannya pusat perdagangan. Lokasinya sangat strategis, terletak pada irisan-irisan Luhak Nan Tigo: Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh (Lima Puluah). Luhak nan Tigo sendiri menandai ruang-ruang hidup tertua dalam sejarah masyarakat Minang. Dari ketiganya, peradaban Minang dimulai dan menyebarluas ke wilayah yang lebih rendah. Saya mebayangkan, Bukittinggi pada masa itu menjadi wadah silaturahim antara saudara sesuku yang terpisah jarak.

Pecahnya perang Padri pada 1803 secara langsung semakin menguatkan fungsi Bukittinggi sebagai kota modern. Konstelasi perang yang dimulai oleh kaum padri (ulama) dan kaum adat itu segera berubah ketika Belanda mulai dilibatkan. Awalnya diundang untuk membantu kaum adat melawan kaum padri, Belanda justru menjelma menjadi musuh bersama. Seiring dengan persatuan masyarakat Minang di bawah panji bersama, Belanda mulai memindahkan pusat militernya ke tempat baru, yang menjadi kota Bukittinggi pada hari ini. Sebagian besar peninggalan dari era itu kini tersebar di penjuru kota, dan menjadi pusat-pusat perhatian pariwisata.

Saya mengarah ke tengaran (landmark) Bukittinggi yang paling terkenal: Jam Gadang. Resepsionis NZSW mengarahkan saya untuk menaiki angkot merah. Ia tak lupa mengingatkan bahwa salah satu provider ojek daring telah tersedia jasanya di kota ini. Saya memilih naik angkot.


Mulanya saya mengira bahwa Jam Gadang akan tampak begitu saja dari dalam angkot, sehingga saya akan segera tau harus turun di mana. Bangunan ini harusnya tampak mencolok dengan ketinggiannya. Namun bermenit-menit kemudian saya mulai meragukan keyakinan saya sendiri. Pada salah satu pusat keramaian, secara instingtif saya memutuskan bertanya ke salah satu penumpang. “Di mana harus turun kalau mau ke Jam Gadang, uni?” Ia menjawab bahwa saya harusnya turun di sini, sekarang juga, sembari meminta angkot menepi. Saya berterima kasih kepadanya, dan memberikan selembar lima ribuan kepada pengemudi angkot. Si pengemudi menyerahkan selembar dua ribu sebagai kembalian.

Pusat keramaian ini dikenal sebagai Pasar Ateh atau Pasar Atas. Di tengah-tengahnya, pada sebuah plaza yang cukup luas, berdiri Jam Gadang yang mahsyur itu.

Dibanding Pasar Ateh, usia Jam Gadang sesungguhnya relatif lebih muda. Pasar Ateh telah didirikan sejak 1858 oleh administrasi kolonial, seiring dengan pertumbuhan Bukittinggi pasca perang Padri. Adapun pembangunan Jam Gadang diselesaikan pada tahun 1926, sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, kontrolir Bukittinggi pada masanya.  Menariknya, menara ini dibangun tanpa adukan semen sama sekali. Strukturnya tersusun atas campuran pasir, batu, kapur dan putih telur. Mesin jamnya dipesan dari sebuah pabrik di Jerman.

Perubahan rezim yang terjadi di nusa antara sepanjang abad 20 turut berimbas pada rona-rona wajah Jam Gadang, terutama pada ornament yang melingkupi pucuknya. Pada mulanya, Jam Gadang mengenakan “topi” runcing dengan patung ayam jantan di puncaknya.  Ketika Jepang masuk dan menggantikan administrasi Hindia Belanda pada 1942, ornamen itu segera berganti dengan bentuk atap yang khas, terinspirasi dari kuil-kuil Shinto di Jepang. Barulah setalah Indonesia merdeka, pemerintah meletakkan atap bergonjong di puncaknya, meniru bentuk rumah adat Minangkabau.

Pada siang yang mulai menerik itu, plaza di seputaran Jam Gadang sedang ramai-ramainya. Ribuan manusia menyemut dalam sekali waktu. Namun suasana yang riuh tak melunturkan kharisma sang menara. Jam Gadang yang seputih pualam berdiri tegak, berpendar-pendar kontras memantulkan cahaya matahari.

Puas mengambil gambar, saya kemudian bergeser ke bagian dalam pasar, mengamati aktivitas jual beli yang berlangsung riuh. Sebagian besar pedagang di dalam memilih berjualan tanda mata khas Bukittinggi dalam beragam bentuk. Dari pernik dan aksesoris-aksesoris mini, tees dengan ungkapan-ungkapan jenaka dalam bahasa Minang, hingga miniatur Jam Gadang dalam beragam ukuran. Selain oleh-oleh, para pedagang yang lain juga menawarkan berbagai produk garmen untuk dikenakan di rumah. Mereka adalah pengungsi dari bagian Pasar Ateh yang terbakar setahun silam dan hingga kini belum direnovasi kembali. Beberapa pelancong tampak berhenti sejenak untuk melihat-lihat dan terlibat tawar menawar.

Alih-alih berbelanja, saya sendiri lebih tertarik untuk mencari makan siang. Salah satu segmen kawasan pasar Ateh memang dikenal sebagai pusat kulinari nasi kapau terbaik di Bukittinggi. Ketika saya menemukannya, puluhan lapak nasi kapau tampak berdiri berderet-deret, menguarkan bau ke udara yang langsung memancing produksi saliva. Saya memilih salah satu yang sudah sangat terkenal kelezatannya. Di papan namanya, tertulis nama “Nasi Kapau Uni Lis”. Mata saya setengah berbinar demi mengamati jejeran baskom-baskom berisi masakan kaya bumbu di dalamnya. Saya masuk dan memesan satu porsi dendeng lado ijo. Kesan tentangnya agaknya harus saya ceritakan di segmen berbeda, bersama ragam kulinari lain yang saya coba di bumi Minang.

Ketika urusan dengan logistik telah selesai, saya kembali mengayunkan langkah ke destinasi lain. Kali ini saya menuju ke Fort de Kock, di belahan kota yang lain. Kota Bukittinggi yang kecil memungkinkan perpindahan antara dua tujuan dijangkau dengan berjalan kaki. Tantangan terbesarnya adalah lanskap kota yang berbukit-bukit. Kadang saya dipaksa mendaki, sebelum menuruni jalan kembali.


Benteng Fort de Kock sendiri memiliki sejarah yang berkelindan erat dengan Bukittinggi tempatnya berdiri. Benteng ini didirikan di tengah periode perang Padri pada tahun 1825, atas inisiatif Kapten Bouer. Nama de Kock diambil dari nama belakang Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa itu, Hendrik Merkus de Kock. Keberadaannya menjadi monument bagi perluasan kekuasaan kolonial, yang memanfaatkan retakan-retakan oleh perang saudara di bumi Minang. Belakangan, nama, Fort de Kock justru diabadikan sebagai nama resmi dari Bukittinggi. Fakta ini seolah menggambarkan bahwa bukan Fort de Kock yang sejatinya menjadi basis pertahanan terkuat bagi bangsa Belanda, melainkan topografi Bukittinggi yang berlereng-lereng dan berbukit-bukit. Bukittinggi pun terlindungi oleh parit maha raksasa yang tak dapat dibangun oleh kekuatan manusia manapun. Pagar itu adalah ngarai Sianok, membentang sepanjang 15 kilometer di timur kota.

Dugaan ini tampak relevan apabila kita menengok struktur fisik Fort de Kock. Ia adalah sebuah bangunan persegi dengan tinggi sekitar 6 meter dari permukaan tanah. Puncak-puncaknya memberikan gambaran leluasa ke penjuru kota. Walaupun berat badan bertambah, saya berhasil naik ke sisi ini. Ia tampak berbeda apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk benteng yang pernah saya temui di sisi lain Nusantara. Tidak ada dinding tebal dari batu cadas atau bata yang berkeliling. Tidak ada bastion-bastion dengan moncong meriam tembaga mengarah ke luar. Fort de Kock lebih tampak sebagai menara jaga ke segala ada. Anehnya dengan struktur yang tampak ringkih itu, tiada satupun yang berhasil mengganggu gugat keberadaannya, setidaknya hingga Belanda menyerah ke tangan Jepang pada 1942.




Saya tak berlama-lama di atas Fort de Kock. Di kawasan yang sama juga terdapat suaka marga satwa mini serta taman budaya Minang. Uniknya, kedua sisi ini terletak berseberangan, terbagi dua oleh jurang yang di dasarnya terdapat jalan raya. Satu-satunya akses yang menghubungkan sisi-sisi ini adalah jembatan Limapeh. Dari tengah jembatan, kita dapat mengamati puncak Jam Gadang.

Ketika matahari semakin membakar, saya berjalan kaki sekali lagi untuk mencapai tujuan saya yang lain. Menziarahi masa kecil dia yang namanya hanya saya kenal dari buku-buku sejarah, dari masa lalu bangsa ini. Saya berlalu menuju Rumah Masa Kecil Bung Hatta. Sayangnya ketika saya tiba di sana, pagar rumah tampak terbelit rantai dengan gembok besar menggantung di sela-selanya. Tidak ada aktivitas yang tampak di dalam. Seorang pemilik warung disebelahnya segera member tahu bahwa sang penjaga sedang beristirahat siang. “Kembalilah sekitar jam 2 nanti.”

Saya menengok ponsel pintar saya. Jam digital di antar mukanya menunjukkan waktu yang belum jauh meninggalkan tengah hari. Ke mana saya harus menunggu? Saya iseng membuka browser HP saya, dan mencari kedai kopi menyenangkan di sekitaran Bukittiinggi. Di antara beberapa rekomendasi, saya memilih Taruko. Ia tampak menggoda dan tak biasa karena terletak di dasar ngarai Sianok. Saya beralih ke aplikasi ojek daring, menunggu beberapa detik, sebelum muncul notifikasi bahwa order saya diterima. Di layar tercantum nama Zulfadli. Sang empunya nama segera merapat sekejap kemudian, dan bersiap mengantar saya ke Taruko di dasar Sianok. Belakangan, dari Zulfadli saya mendapat cerita-cerita sederhana namun menarik dari ngarai yang spektakuler itu. (*)

Sekelumit tentang Pusat Kota Bukittinggi:
Selain menjadi tengaran, Jam Gadang juga berfungsi sebagai titik nol kilometer dan penanda pusat kota Bukitinggi. Tidak ada biaya yang dipungut untuk memasuki kawasan ini. Dari Jam Gadang, berbagai destinasi wisata lain relatif dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Semisal Fort de Kock yang hanya berjarak lima menit. Untuk memasuki kawasan Fort de Kock yang merangkap Taman Margasatwa Kinantan, pengunjung harus membeli tiket seharga Rp15.000. Pengunjung akan kembali dipungut tiket seharga Rp10.000 apabila hendak memasuki Rumah Adat Baanjuang.

Saya memilih hotel NZSW untuk menginap di Bukittinggi. Apabila memesan melalui biro perjalanan daring, tarif menginap berkisar Rp150.000. Harga tersebut mencakup fasilitas yang relatif lengkap, yaitu kasur tunggal, kamar mandi dengan air panas, kipas angin, WiFi, televisi, dan air isi ulang bersama. Selain NZSW, tersebar juga beragam penginapan lain dengan harga bervariasi.

3 komentar:

  1. Yg aku paling suka dr bukitinggi sbnrnya makanannya :p. Perasaan ga ada kuliner yg ga enak di sana. Semuanya enak2, dan bikin kolesterol naik sih hahahaha.. Wisatanya jg bagus2 ya mas. Air terjun lembah anai tuh yg ak sukaaa banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari dulu saya emang selalu penasaran gimana rasanya masakan Padang kalau disantap di daerah asalnya. Ternyata emang luar biasa menggoyang lidah. Rasanya kalau harus menumpuk kolesterol karenanya bukan masalah buat saya, ahaha. Berkunjung ke Minang emang suplemen terbaik buat semua indra.

      Anyway, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya, Mba :)

      Hapus
  2. Agen BOLAVITA ingin mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa bagi yang menjalankan �� .

    Dalam bulan ini kami menyediakan BONUS yang cukup menarik untuk Anda baik member baru maupun member setia BOLAVITA.
    �� Bonus Welcome Back Rp 200.000
    �� Bonus 10% untuk new member (SPORTSBOOK & SABUNG AYAM)
    �� Bonus 5% Deposit Harian (SPORTSBOOK & SABUNG AYAM)
    �� Bonus Deposit Harian 10% untuk permainan BOLA TANGKAS
    �� Bonus Referral 7% + 2%
    �� Bonus Rollingan 0.5% + 0.7%
    �� Diskon Togel KLIK4D & ISIN4D up to 66%
    �� Bonus Cashback 5% - 10%
    �� Bonus Cashback Bola Tangkas 10%
    �� Bonus Flash Deposit Setiap Jumat 10%
    �� Bonus Extra BIG MATCH 20%

    Dengan minimal Deposit hanya Rp 50.000 sudah dapat memainkan permainan yang kami sediakan. .

    Daftar sekarang juga di www.bolavita.ltd.

    Untuk info selanjutnya, bisa hubungi kami VIA:
    BBM : BOLAVITA / D8C363CA
    Whatsapp : +62812-2222-995
    Livechat 24 Jam

    BalasHapus