Fiat Lux

Rabu, 20 Februari 2019

Konstitusi Pendidikan, Pendidikan Konstitusi

23.37 Posted by Arasy Aziz , No comments
Sumber: SekolahDasar.net

Konstitusi Pendidikan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dibangun di atas kemewahan pendidikan. Untuk itu, kita harus sedikit berterima kasih pada arus balik politik hukum, kebijakan, dan pendekatan administrasi kolonialisme Belanda terhadap penduduk Nusantara jelang akhir abad ke-19. Sebelumnya, selama berabad-abad, administrasi kolonial berorientasi sepenuh-penuhnya pada upaya eksploitasi terhadap kekayaan alam Nusantara. Pada setiap masanya, eksploitasi diarahkan pada pemenuhan permintaan pasar Eropa. Pada periode awal, rempah-rempah sempat menjadi komoditas pionir untuk melawan musim dingin yang keji. Namun belakangan, ladang-ladang baru dibuka untuk memenuhi permintaan yang bergeser pada gula dan kopi.

Selama periode itu, yang sedang mengalami perambahan sesungguhnya bukan saja lanskap dan alam raya Indonesia. Setiap tatanan kolonialisme, mau tidak mau, juga berarti eksploitasi terhadap sumber daya manusianya. Sebagai warga kelas tiga, kaum pribumi sengaja dikondisikan sebagai pekerja tuna aksara bagi kekayaan bangsa Eropa. Melalui kebijakan yang sistematis, tatanan masyarakat direkayasa demi melanggengkan kolonialisme. Mereka harus dijauhkan dari pendidikan agar tetap menanam komoditas yang laku di pasaran Eropa, tidak banyak bertanya, dan akhirnya tidak mengenal kata “perlawanan”. Satu-satunya pembelajaran informal yang mereka dapatkan adalah tentang mengubah kultur pertanian dari sawah-sawah petak menjadi perkebunan skala raksasa; Dari penanam padi menjadi penanam tebu. Pengajaran itu berkontribusi pada perubahan petani pribumi dari pemilik lahan menjadi pekerja untuk perkebunan kolonial.

Beruntung, jelang akhir abad ke-19, kolonialisme Eropa mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi golongan pribumi. Sekalipun, kesadaran ini lahir justru dari motif untuk mempertahankan kekuasaan Eropa di Nusantara selama mungkin. Sebuah esai berjudul Eereschuld  (Utang Budi) gubahan van Deventer memicu arus balik tersebut, yang kemudian berkembang menjadi sebuah cetak biru politik hukum bernama “Politik Etis”. Politik Etis mengedepankan pengajaran bagi pribumi, selain irigasi dan emigrasi, sebagai program utamanya.

Generasi awal yang menikmati kemewahan pendidikan inilah, baik di dalam maupun di luar Hindia, yang kelak menjadi para penggerak kemerdekaan Indonesia. Beberapa nama yang terkenal adalah Muhammad Hatta dan Soepomo. Sedangkan di sekitaran sekolah-sekolah tinggi bentukan Belanda di dalam negeri untuk pribumi, lahir organisasi-organisasi pergerakan nasional. Di STOVIA, sekelompok calon dokter dari kalangan priyayi Jawa berhasil menginisiasi Boedi Oetomo. Sementara THS Bandung, yang menjdi cikal bakal ITB, menjadi tempat menimba ilmu calon pemimpin Indonesia pertama, Soekarno.

Narasi tersebut menunjukkan pentingnya peran pendidikan bagi bangsa Indonesia. Tak ayal, UUD 1945 menetapkan proyek “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai tujuan pertama pembentukan negara Indonesia. Pendidikan adalah sebuah modalitas dasar yang perlu dijamin pemenuhannya, sebelum membangun fondasi-fondasi kemasyarakatan yang lain. Mustahil suatu bangsa dapat berbicara mengenai hukum, ekonomi, infrastruktur, dan aspek elementer kesejahteraan lain, jika mereka sendiri tidak terdidik, tidak mengenal struktur nalar untuk menyampaikan gagasannya. Selain itu, hanya melalui pendidikan pula, nilai-nilai dasar kebangsaan Indonesia dirawat dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Lebih lanjut, berbagai pasal di dalam konstitusi kemudian disusun untuk menguatkan upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” tersebut. Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “(s)etiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Dalam rumusan pasal tersebut, hak atas pendidikan dirumuskan dalam satu nafas dengab kebutuhan dasar, peningkatan kualitas hidup, dan kesejahteraan umat. Dengan demikian, UUD NRI 1945 memahami pendidikan sebagi sebuah institusi dengan dua wajah sekaligus, yaitu ke dalam dan ke luar. Artinya, manfaat pendidikan tidak hanya dinikmati oleh individu per individu, namun juga masyarakat bangsa secara umum. Institusi pendidikan akibatnya tak boleh dirancang secara legal-formal semata untuk memenuhi kebutuhan ekonomis (oikos), terutama wahana reproduksi tenaga kerja, melainkan juga harus berdimensi sosial (deimos) secara langsung.

UUD NRI 1945 juga menggeser pendidikan ke dalam posisi sebagai hak dan kewajiban sekaligus. Kategori pendidikan sebagai hak berarti menempatkan pemenuhannya secara manasuka kepada peyandangnya. Dengan kata lain, si orang dapat memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak tersebut. Namun Pasal 31 ayat (2) kemudian menegaskan bahwa pendidikan di aras dasar juga berdimensi kewajiban. Artinya, ia menjadi sebuah institusi yang memaksa dan imperatif. Terdapat konsekuensi legal-formal apabila ia tidak dijalankan. Untuk mengimbanginya, konstitusi juga mewajibkan pemerintah membiayai pendidikan di level tersebut. Setidaknya 20 persen anggaran negara harus diinvestasikan ke dalam sektor ini, sesuai amanat konstitusi. Dengan demikian, pendidikan menjadi sektor dengan presentase anggaran terbesar di dalam APBN dibandingkan sektor-sektor lainnya. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa 20 persen tersebut juga menghitung belanja Aparatur Sipil Negara di sektor pendidikan.

Dengan menetapkan “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai tujuan bernegara, ditambah operasionalisasinya di dalam pasal-pasal, UUD 1945 (baik sebelum maupun sesudah amandemen) tak lagi dapat dipandang sebagai sebuah konstitusi politik semata. Lebih dari itu, UUD 1945 juga telah menjelma menjadi sebuah konstitusi pendidikan. Sebagai sebuah konstitusi pendidikan, maka seluruh peraturan dan kebijakan mengenai pendidikan di Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.


Pendidikan Konstitusi
Salah satu fungsi utama pendidikan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, adalah berkaitan dengan upaya merawat dan mewariskan nilai-nilai luhur kebangsaan dari satu generasi ke generasi. Dalam perspektif hukum, nilai-nilai tersebut sejatinya telah mengalami kristalisasi di dalam bentuk konstitusi. Hal ini tentu tanpa mengabaikan nilai-nilai dan aturan-aturan tidak tertulis yang masih hidup di dalam masyarakat.

Konstitusi sejatinya tidak dapat dipandang semata-mata sebagai sebuah dokumen politik atau sumber dari segala sumber hukum. Konstitusi juga memiliki signifikansi lain sebagai sebuah hasil kesepakatan luhur antar bangsa Indonesia, baik melalui keterlibatan langsung atau tak langsung dalam proses pembentukannya. Dalam kajian Rosseauian tentang kontrak sosial, konstitusi merupakan hasil negosiasi antar berbagai kepentingan di dalam masyarakat. Melalui konstitusi, masyarakat mempercayakan sebagian haknya kepada negara untuk dirawat dan dilindungi.

Bagi bangsa Indonesia yang majemuk, peran konstitusi pun menjadi semakin penting untuk menjadi pengikat kebangsaan Indonesia. Sebagai sebuah hasil kesepakatan luhur, konstitusi harus diposisikan tidak memihak dan berdiri di atas semua golongan. Sebuah konstitusi harus mampu memoderasi kepentingan beragam suku, bangsa, agama, dan ribuan kategori identitas lainnya. Komitmen ini sejatinya telah tercermin oleh golongan-golongan yang berseteru dalam proses perumusan UUD 1945. Namun atas kebijaksanaan mereka, UUD 1945 dan negara Indonesia dapat dilahirkan dengan selamat sentosa. Dengan kebijaksanaan sejenis, negara konstitusional dapat melindungi kesemuanya tanpa terkecuali.

Oleh karena itu, pendidikan khusus mengenai konstitusi sejatinya sangat penting dimulai sejak jenjang terendah. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (5) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Sejak semula, persatuan bangsa telah menjadi nilai konstitusional utama dalam sistem pendidikan nasional.

Selama ini, kurikulum mata pelajaran Kewarganegaraan telah berupaya mengakomodasi hal-hal tersebut. Di jenjang SD, siswa umumnya masih diajarkan mengenai nilai-nilai dan moralitas yang baik. Konten mata pelajaran Kewarganegaraan pun berkembang semakin kompleks seiring dengan perkembangan waktu. Namun sayangnya, durasi pelajarannya tergolong sangat singkat. Di satu sisi, sekolah umumnya hanya menganggarkan satu jam pelajaran untuk pelajaran ini. Sementara di sisi lain, Kewarganegaraan juga terlanjur memperoleh cap sebagai mata pelajaran membosankan. Akibatnya, transfer nilai-nilai kebangsaan menjadi tidak maksimal.

Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penanggungjawab tertinggi administrasi pendidikan Indonesia perlu mempertimbangkan untuk menambah jam pelajarannya. Selain itu, mata pelajaran Kewarganegaraan juga perlu membedah secara eksplisit materi muatan UUD 1945, terutama nilai-nilai dasar yang tengah diperjuangkannya. Kata kuncinya adalah penghormatan terhadap keberagaman. Di tengah pasang naik gerakan politik yang memiliki tendensi untuk mengubah nilai dasar ketatanegaraan Indonesia ini, integrasi nilai-nilai keberagaman dan toleransi penting untuk mendapat porsi besar di dalam sistem pendidikan nasional.

Untuk menjauhkan Kewarganegaraan dari kesan membosankan, aspek normatifnya juga perlu diimbangi dengan kedekatan empiris terhadap realitas di dalam masyarakat. Para siswa perlu diajak untuk banyak bertamasya, mendengar dan melihat sudut pandang orang-orang dengan latar belakang berbeda. Soe Hok Gie pernah mendalilkan bahwa “untuk mengenal Indonesia, kamu harus mengenal masyarakatnya,” sehingga perjalanan dan tamasya ke beragam kantong-kantong sosial sangat penting untuk membangun perspektif kebangsaan Indonesia yang majemuk.


Dengan pendekatan yang tepat, pendidikan konstitusi dapat menjadi investasi yang besar bagi keutuhan bangsa Indonesia di masa mendatang. Hal ini sesuai dengan prinsip “Revolusi Mental” yang menjadi platform dasar bagi Nawacita di era pemerintahan kiwari, yang juga telah diformalisasi melakui Peraturan Presiden tentang RPJMN 2015-2020. Di dalam Nawacita, telah ditegaskan bahwa revolusi karakter bangsa setidaknya mencakup tiga aspek, yaitu pertama, membangun pendidikan kewarganegaraan, kedua, menghilangkan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, dan ketiga, jaminan hidup yang memadai bagi para guru terutama bagi guru yang ditugaskan di daerah terpencil. Dengan demikian, salah satu puwarupanya dapat dimulai dari hal-hal yang kecil, yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, yaitu pendidikan konstitusi bagi anak-anak kita. (*)

P.S.: Versi asli dari artikel ini diterbitkan di laman Hukum Online, 18/2/2019 [Link]

0 komentar:

Posting Komentar