Sumber: SekolahDasar.net |
Konstitusi
Pendidikan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dibangun
di atas kemewahan pendidikan. Untuk itu, kita harus sedikit berterima kasih
pada arus balik politik hukum, kebijakan, dan pendekatan administrasi
kolonialisme Belanda terhadap penduduk Nusantara jelang akhir abad ke-19.
Sebelumnya, selama berabad-abad, administrasi kolonial berorientasi
sepenuh-penuhnya pada upaya eksploitasi terhadap kekayaan alam Nusantara. Pada
setiap masanya, eksploitasi diarahkan pada pemenuhan permintaan pasar Eropa.
Pada periode awal, rempah-rempah sempat menjadi komoditas pionir untuk melawan
musim dingin yang keji. Namun belakangan, ladang-ladang baru dibuka untuk
memenuhi permintaan yang bergeser pada gula dan kopi.
Selama periode itu, yang sedang mengalami
perambahan sesungguhnya bukan saja lanskap dan alam raya Indonesia. Setiap
tatanan kolonialisme, mau tidak mau, juga berarti eksploitasi terhadap sumber
daya manusianya. Sebagai warga kelas tiga, kaum pribumi sengaja dikondisikan
sebagai pekerja tuna aksara bagi kekayaan bangsa Eropa. Melalui kebijakan yang
sistematis, tatanan masyarakat direkayasa demi melanggengkan kolonialisme.
Mereka harus dijauhkan dari pendidikan agar tetap menanam komoditas yang laku
di pasaran Eropa, tidak banyak bertanya, dan akhirnya tidak mengenal kata
“perlawanan”. Satu-satunya pembelajaran informal yang mereka dapatkan adalah
tentang mengubah kultur pertanian dari sawah-sawah petak menjadi perkebunan
skala raksasa; Dari penanam padi menjadi penanam tebu. Pengajaran itu berkontribusi
pada perubahan petani pribumi dari pemilik lahan menjadi pekerja untuk
perkebunan kolonial.
Beruntung, jelang akhir abad ke-19,
kolonialisme Eropa mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi golongan pribumi.
Sekalipun, kesadaran ini lahir justru dari motif untuk mempertahankan kekuasaan
Eropa di Nusantara selama mungkin. Sebuah esai berjudul Eereschuld (Utang
Budi) gubahan van Deventer memicu arus balik tersebut, yang kemudian berkembang
menjadi sebuah cetak biru politik hukum bernama “Politik Etis”. Politik Etis
mengedepankan pengajaran bagi pribumi, selain irigasi dan emigrasi, sebagai
program utamanya.
Generasi awal yang menikmati kemewahan
pendidikan inilah, baik di dalam maupun di luar Hindia, yang kelak menjadi para
penggerak kemerdekaan Indonesia. Beberapa nama yang terkenal adalah Muhammad
Hatta dan Soepomo. Sedangkan di sekitaran sekolah-sekolah tinggi bentukan
Belanda di dalam negeri untuk pribumi, lahir organisasi-organisasi pergerakan
nasional. Di STOVIA, sekelompok calon dokter dari kalangan priyayi Jawa
berhasil menginisiasi Boedi Oetomo. Sementara THS Bandung, yang menjdi cikal
bakal ITB, menjadi tempat menimba ilmu calon pemimpin Indonesia pertama,
Soekarno.
Narasi tersebut menunjukkan pentingnya peran
pendidikan bagi bangsa Indonesia. Tak ayal, UUD 1945 menetapkan proyek “mencerdaskan
kehidupan bangsa” sebagai tujuan pertama pembentukan negara Indonesia.
Pendidikan adalah sebuah modalitas dasar yang perlu dijamin pemenuhannya,
sebelum membangun fondasi-fondasi kemasyarakatan yang lain. Mustahil suatu
bangsa dapat berbicara mengenai hukum, ekonomi, infrastruktur, dan aspek
elementer kesejahteraan lain, jika mereka sendiri tidak terdidik, tidak
mengenal struktur nalar untuk menyampaikan gagasannya. Selain itu, hanya
melalui pendidikan pula, nilai-nilai dasar kebangsaan Indonesia dirawat dan
diwariskan dari generasi ke generasi.
Lebih lanjut, berbagai pasal di dalam
konstitusi kemudian disusun untuk menguatkan upaya “mencerdaskan kehidupan
bangsa” tersebut. Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “(s)etiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia.” Dalam rumusan pasal tersebut, hak atas pendidikan dirumuskan
dalam satu nafas dengab kebutuhan dasar, peningkatan kualitas hidup, dan
kesejahteraan umat. Dengan demikian, UUD NRI 1945 memahami pendidikan sebagi
sebuah institusi dengan dua wajah sekaligus, yaitu ke dalam dan ke luar.
Artinya, manfaat pendidikan tidak hanya dinikmati oleh individu per individu,
namun juga masyarakat bangsa secara umum. Institusi pendidikan akibatnya tak
boleh dirancang secara legal-formal semata untuk memenuhi kebutuhan ekonomis (oikos), terutama wahana reproduksi
tenaga kerja, melainkan juga harus berdimensi sosial (deimos) secara langsung.
UUD NRI 1945 juga menggeser pendidikan ke
dalam posisi sebagai hak dan kewajiban sekaligus. Kategori pendidikan sebagai
hak berarti menempatkan pemenuhannya secara manasuka kepada peyandangnya.
Dengan kata lain, si orang dapat memilih untuk menggunakan atau tidak
menggunakan hak tersebut. Namun Pasal 31 ayat (2) kemudian menegaskan bahwa
pendidikan di aras dasar juga berdimensi kewajiban. Artinya, ia menjadi sebuah
institusi yang memaksa dan imperatif. Terdapat konsekuensi legal-formal apabila
ia tidak dijalankan. Untuk mengimbanginya, konstitusi juga mewajibkan
pemerintah membiayai pendidikan di level tersebut. Setidaknya 20 persen
anggaran negara harus diinvestasikan ke dalam sektor ini, sesuai amanat
konstitusi. Dengan demikian, pendidikan menjadi sektor dengan presentase
anggaran terbesar di dalam APBN dibandingkan sektor-sektor lainnya. Hal ini
terlepas dari kenyataan bahwa 20 persen tersebut juga menghitung belanja Aparatur
Sipil Negara di sektor pendidikan.
Dengan menetapkan “mencerdaskan kehidupan
bangsa” sebagai tujuan bernegara, ditambah operasionalisasinya di dalam
pasal-pasal, UUD 1945 (baik sebelum maupun sesudah amandemen) tak lagi dapat
dipandang sebagai sebuah konstitusi politik semata. Lebih dari itu, UUD 1945
juga telah menjelma menjadi sebuah konstitusi pendidikan. Sebagai sebuah
konstitusi pendidikan, maka seluruh peraturan dan kebijakan mengenai pendidikan
di Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Pendidikan Konstitusi
Salah satu fungsi utama pendidikan,
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, adalah berkaitan dengan upaya merawat
dan mewariskan nilai-nilai luhur kebangsaan dari satu generasi ke generasi.
Dalam perspektif hukum, nilai-nilai tersebut sejatinya telah mengalami
kristalisasi di dalam bentuk konstitusi. Hal ini tentu tanpa mengabaikan
nilai-nilai dan aturan-aturan tidak tertulis yang masih hidup di dalam
masyarakat.
Konstitusi sejatinya tidak dapat dipandang
semata-mata sebagai sebuah dokumen politik atau sumber dari segala sumber
hukum. Konstitusi juga memiliki signifikansi lain sebagai sebuah hasil
kesepakatan luhur antar bangsa Indonesia, baik melalui keterlibatan langsung
atau tak langsung dalam proses pembentukannya. Dalam kajian Rosseauian tentang
kontrak sosial, konstitusi merupakan hasil negosiasi antar berbagai kepentingan
di dalam masyarakat. Melalui konstitusi, masyarakat mempercayakan sebagian
haknya kepada negara untuk dirawat dan dilindungi.
Bagi bangsa Indonesia yang majemuk, peran
konstitusi pun menjadi semakin penting untuk menjadi pengikat kebangsaan
Indonesia. Sebagai sebuah hasil kesepakatan luhur, konstitusi harus diposisikan
tidak memihak dan berdiri di atas semua golongan. Sebuah konstitusi harus mampu
memoderasi kepentingan beragam suku, bangsa, agama, dan ribuan kategori
identitas lainnya. Komitmen ini sejatinya telah tercermin oleh
golongan-golongan yang berseteru dalam proses perumusan UUD 1945. Namun atas
kebijaksanaan mereka, UUD 1945 dan negara Indonesia dapat dilahirkan dengan
selamat sentosa. Dengan kebijaksanaan sejenis, negara konstitusional dapat
melindungi kesemuanya tanpa terkecuali.
Oleh karena itu, pendidikan khusus mengenai
konstitusi sejatinya sangat penting dimulai sejak jenjang terendah. Hal ini
sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (5) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa
“Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.” Sejak semula, persatuan bangsa telah menjadi nilai
konstitusional utama dalam sistem pendidikan nasional.
Selama ini, kurikulum mata pelajaran
Kewarganegaraan telah berupaya mengakomodasi hal-hal tersebut. Di jenjang SD,
siswa umumnya masih diajarkan mengenai nilai-nilai dan moralitas yang baik.
Konten mata pelajaran Kewarganegaraan pun berkembang semakin kompleks seiring
dengan perkembangan waktu. Namun sayangnya, durasi pelajarannya tergolong
sangat singkat. Di satu sisi, sekolah umumnya hanya menganggarkan satu jam
pelajaran untuk pelajaran ini. Sementara di sisi lain, Kewarganegaraan juga
terlanjur memperoleh cap sebagai mata pelajaran membosankan. Akibatnya,
transfer nilai-nilai kebangsaan menjadi tidak maksimal.
Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai penanggungjawab tertinggi administrasi pendidikan Indonesia
perlu mempertimbangkan untuk menambah jam pelajarannya. Selain itu, mata
pelajaran Kewarganegaraan juga perlu membedah secara eksplisit materi muatan
UUD 1945, terutama nilai-nilai dasar yang tengah diperjuangkannya. Kata
kuncinya adalah penghormatan terhadap keberagaman. Di tengah pasang naik
gerakan politik yang memiliki tendensi untuk mengubah nilai dasar
ketatanegaraan Indonesia ini, integrasi nilai-nilai keberagaman dan toleransi
penting untuk mendapat porsi besar di dalam sistem pendidikan nasional.
Untuk menjauhkan Kewarganegaraan dari kesan
membosankan, aspek normatifnya juga perlu diimbangi dengan kedekatan empiris
terhadap realitas di dalam masyarakat. Para siswa perlu diajak untuk banyak
bertamasya, mendengar dan melihat sudut pandang orang-orang dengan latar
belakang berbeda. Soe Hok Gie pernah mendalilkan bahwa “untuk mengenal
Indonesia, kamu harus mengenal masyarakatnya,” sehingga perjalanan dan tamasya
ke beragam kantong-kantong sosial sangat penting untuk membangun perspektif
kebangsaan Indonesia yang majemuk.
Dengan pendekatan yang tepat, pendidikan
konstitusi dapat menjadi investasi yang besar bagi keutuhan bangsa Indonesia di
masa mendatang. Hal ini sesuai dengan prinsip “Revolusi Mental” yang
menjadi platform dasar bagi Nawacita di era pemerintahan
kiwari, yang juga telah diformalisasi melakui Peraturan Presiden tentang RPJMN
2015-2020. Di dalam Nawacita, telah ditegaskan bahwa revolusi karakter bangsa
setidaknya mencakup tiga aspek, yaitu pertama, membangun
pendidikan kewarganegaraan, kedua, menghilangkan model penyeragaman
dalam sistem pendidikan nasional, dan ketiga, jaminan hidup
yang memadai bagi para guru terutama bagi guru yang ditugaskan di daerah
terpencil. Dengan demikian, salah satu puwarupanya dapat dimulai dari hal-hal
yang kecil, yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, yaitu pendidikan
konstitusi bagi anak-anak kita. (*)
P.S.: Versi asli dari artikel ini diterbitkan di laman Hukum Online, 18/2/2019 [Link]
0 komentar:
Posting Komentar