Fiat Lux

Senin, 04 Maret 2019

Menyelamatkan Danau Limboto Melalui Pendekatan Kebudayaan

01.22 Posted by Arasy Aziz , , No comments
Sumber: pesona.travel

Ratusan tahun silam—jauh sebelum menjadi satu daerah otonom tunggal seperti saat ini—Gorontalo adalah wilayah yang terbagi ke dalam kekuasaan beberapa pohalaa (kerajaan). Dua yang terbesar, sekaligus saling bertetangga, adalah Hulonthalo (Gorontalo) dan Limutu (Limboto). Sekalipun berkerabat dekat, namun para pemimpinnya terlibat dalam keakraban hubungan politis yang pasang surut; akur kadang-kadang, namun lebih banyak diwarnai persaingan politik dan dagang. 200 tahun kehidupan bertetangga Hulonthalo dan Limutu bahkan dilingkupi oleh perang. Selain ego Hulonthalo dan Limutu, kepentingan kerajaan-kerajaan besar yang menjadi patron keduanya turut berkontribusi dalam merawat perseteruan itu. Hulonthalo pada masa itu menjalin hubungan erat dengn Ternate, sementara Limutu berkoalisi karib dengan Gowa. Baik Ternate maupun Gowa tengah berusaha memantapkan kekuasaannya di Timur Nusantara.

Butuh 200 tahun, pada akhirnya, sebelum perang tersebut dapat diakhiri melalui sebuah pertemuan di tepian danau Limboto. Perubahan konfigurasi kekuatan di jazirah Gorontalo memaksa para petinggi kerajaan untuk berunding dan menanggalkan perseteruan. Gowa dan Ternate yang selama ini menjadi patron masing-masing telah tergeser oleh kekuasaan maskapai pemonopoli pasar rempah milik Belanda, VOC. Yang disebut belakangan ini pun semakin leluasa menjalankan kepentingan bisnisnya di Gorontalo.

Pada saat itu, delegasi Hulonthalo dipimpin oleh Eyato, sang Khatibidaa. Gelar ini menunjukkan posisinya sebagai ulama sekaligus pimpinan tarekat sufistik yang disegani di kerajaan Gorontalo. Eyato bahkan belakangan dipercaya sebagai raja baru. Sementara itu perwakilan kerjaan Limboto diampu oleh Popa, seseorang yang juga berposisi sebagai penasihat sekaligus panglima perang kerajaan Limutu.

Dengan perahu kecil, rombongan Eyato menyeberangi danau Limboto ke wilayah kerajaan tetangganya. Di tempat yang diperjanjikan, Eyato dan Popa berbalas tujai (pantun), lalu mengangkat sumpah untuk menghentikan perang antara kedua kerajaan. Secara simbolis, mereka turut mengikatkan diri dengan menyembelih kerbau dan melebur dua buah cincin yang ditautkan satu sama lain. Kerbau yang mati, dikuras dan dilebur lemaknya, sebagai pengingat bagi nasib mereka yang khianat. Adapun cincin yang telah bertaut ditenggelamkan ke dasar danau Limboto. “Apabila jalinan cincin ini terputus,” seru Popa dan Eyato, “maka persatuan di jazirah Gorontalo akan berakhir.” Versi lain menyebut bahwa sumpah keduanya menitiberatkan pada posisi dan kenampakan cincin tersebut; sepanjang kedua cincin tenggelam di dasar danau, sepanjang itulah jazirah Gorontalo akan baik-baik saja.

Sumpah ini mengawali sebuah tatanan konstitusional baru bernama Duluwo Limo lo Pohalaa; menandai peralihan Gorontalo ke dalam bentuk konfederasi pohalaa-pohalaa yang tetap berdaulat. Hulonthalo dan Limutu tampil sebagai pemimpinnya, mengoordinir tiga pohalaa lainnya, yaitu Suwawa, Bulango, dan Atinggola. Mereka bersatu padu menahan gempuran VOC dan kerajaan Belanda, sekalipun berujung pada kekalahan. Ketika Belanda semakin berkuasa, terjadi perubahan tatanan sosio-legal di Gorontalo secara keseluruhan. Belanda memperkenalkan institusi-institusi sosial baru untuk mengeliminasi pengaruh pohalaa-pohalaa tua.

Sampai saat ini, kedua cincin milik Popa dan Eyato masih berada di dasar danau Limboto. Sayangnya dalam beberapa tahun kedepan, sumpah Popa dan Eyato barangkali akan terlanggar oleh wajah dan karakter fisik danau yang terus berubah. Sumpah Popa-Eyato kini mulai tampak sebagai nubuat yang mengkhawatirkan. Cincin-cincin yang harusnya dibiarkan bersemayam di dasar danau akan muncul ke permukaan, dan berarti, menandai kehancuran jazirah Gorontalo sendiri. 


Krisis Danau Limboto
Muasal masalah ini adalah fakta bahwa danau Limboto mengalami pendangkalan serius dalam satu abad terakhir. Pada awal abad 1932, kedalaman danau Limboto pada titik tertentu dapat mencapai 30 meter. 40 tahun kemudian, pada pertengahan dekade 1970-an, kedalaman danau berkurang setengahnya ke level 15 meter. Pada hari ini, nasib danau Limboto semakin mengenaskan. Seseorang hanya perlu menyelam 1,5-2 meter untuk menjangkau titik terdalam danau tersebut.

Perubahan kedalaman itu juga diikuti oleh luas danau yang semakin menyusut; sesuatu yang dapat diamati secara kasat mata. Dari 8.000 hektar pada tahun 1932, wilayah danau telah menyusut jauh hingga 2.500 hektar. Tepian-tepiannya yang mengering telah dialihfungsikan untuk banyak keperluan. Di sisi Kota Gorontalo, bekas wilayah kerajaan Hulonthalo, permukiman rakyat bertumbuh secara simultan. Sementara pesisir yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Gorontalo kini dikapling sebagai area persawahan. Permukiman dan persawahan itu sejatinya berbatasan langsung dengan wilayah pasang surut danau Limboto. Pada musim-musim teduh, ketika hujan tumpah berlebihan, permukiman dan sawah-sawah itu akan terendam banjir. Namun para pemiliknya memilih bertahan.

Konsekuensi lanjutan dari krisis ekologis tersebut adalah kekayaan hayati danau yang semakin terancam. Di masa kanak-kanak saya, setiap pagi dan sore para pedagang ikan akan berkeliling dengan sepeda di jalan poros kecamatan. Dengan suara yang bersahut-sahutan dari terompet rakitan berbahan pompa angin, mereka menawarkan berbagai ikan air tawar segar yang baru dirajang dari perahu-perahu. Beberapa diantaranya tak pernah saya temukan di tempat lain: nila, tola, dumbaya, payangga, hele, saribu, hingga manggabai yang endemik. Kini, pedagang sejenis yang berlalu lalang dapat dihitung dengan jari. Harga seikat ikan manggabai pun telah naik signifikan.

Ada banyak faktor yang brkontribusi pada kerusakan besar-besaran danau Limboto tersebut. Sebagian besarnya, merujuk pada identifikasi Alim Niode dan beberapa pakar lain, berakar pada perilaku manusia terhadap danau Limboto itu sendiri. Masalah tersebut, baik secara figuratif maupun harfiah, berlangsung dari hulu ke hilir. Alih fungsi lahan di pesisir danau Limboto hanyalah salah satu contoh. Namun perubahan peruntukan lahan di wilayah penyangga danau lainnya juga berefek sangat besar. Patut diingat bahwa danau Limboto sejatinya adalah muara dari 15 sungai dan hanya memiliki satu sungai sebagai saluran limpasan ke laut. 

Di masa lalu, sungai-sungai itu semata menjadi sumber air bagi danau Limboto. Namun kini, daerah hulu dan sempadan aliran dari masing-masing sungai tersebut kini telah berubah dengan pengusahaan konsesi perkebunan dan menjadi agen bagi pendangkalan danau. Selain melemahkan kohesivitas tanah dan meningkatkan erosi, perubahan peruntukan daerah hulu dan aliran sungai ini pun turut menyebarkan zat-zat kimia penyubur tanaman ke danau Limboto. Akibatnya, air dan tanah danau Limboto menjadi medium subur bagi pertumbuhan tanaman invasif seperti eceng gondok. Sekalipun dapat berfungsi sebagai penyarin racun, namun eceng gondok yang mati dan tenggelam menciptakan sedimen organik yang mempercepat kematian danau Limboto.

Para pakar memprediksi bahwa eksistensi danau Limboto tak akan melampaui tahun 2030. Setelah tahun tersebut, kita hanya akan dapat melihat danau Limboto dari foto-foto dan rekaman video di YouTube. Dalam suatu perjalanan iseng, seseorang di masa depan mungkin akan menemukan cincin-cincin Popa-Eyato, teronggok di dasar danau yang mengering. Jika dibiarkan, rakyat Gorontalo sesungguhnya tengah menciptakan kiamatnya sendiri, sebagaimana ramalan Popa-Eyato.

Sampai sejauh ini, skema penyelamatan danau Limboto masih sangat bertumpu pada sektor lingkungan hidup dan infrastruktur. Kementerian Lingkungan Hidup di masa lalu telah menetapkan danau Limboto sebagai salah satu dari 15 danau berstatus kritis di Indonesia. Dengan dukungan APBN, program penyelamatan danau Limboto secara fisik telah dijalankan melalui tiga strategi utama, yaitu pengerukan, pembersihan eceng gondok, dan pembuatan tanggul.

Di level daerah, pemerintah provinsi Gorontalo juga telah mengambil langkah maju dengan menerbitkan Perda Nomor 9 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Danau Limboto (Perda Zonasi Danau). Ruang lingkup pengaturan perda ini, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9, mencakup empat elemen strategis, yaitu pertama  konservasi sumber daya alam (SDA), kedua pengelolaan SDA secara berkelanjutan, ketiga pembangunan dan peningkatan kualitas layanan sarana dan prasaranaserta keempat pengendalian kawasan lindung dan perencanaan mitigasi bencana. 

Sayangnya, sebagaimana judulnya, perda tersebut mengulang kesatudimensian dalam cara pandang terhadap danau Limboto. Sebagai sebuah regeling atas subkategori penataan ruang tertentu, maka perda tersebut terpaksa berangkat dari aspek fisik semata. Akibatnya, aspek mental dan nonmaterial dari upaya penyelamatannya luput diperhatikan dan diuraikan lebih jauh. Sebagai contoh, pendidikan dan penyebaran atas kelestarian danau Limboto semata diatur di dalam satu klausul. Pasal 11 huruf a menyatakan bahwa salah satu strategi yang digunakan untuk menjamin keberlanjutan danau melalui peningkatan kesadaran dan kemandirian masyarakat dalam pengelolaan danau. Adapun Pasal 16 huruf b mengamanatkan penyediaan sarana edukasi dan pendukung pembelanjaran bagi masyarakat di sekitar danau.

Masuknya aspek-aspek non-material di dalam Perda Zonasi Danau tetaplah merupakan sebuah kenyataan yang perlu diapresiasi. Namun demikian, hal tersebut juga perlu diimbangi, bahkan dikuatkan, dengan pergeseran cara pandang dalam melihat danau Limboto. Alih-alih sekadar ekosistem yang menciptakan hubungan mutual antara lingkungan biotik dan abiotik, danau Limboto juga selayaknya dilihat sebagai sebuah situs kebudayaan. Selain itu, perda tersebut juga perlu menguraikan lebih jauh mengenai tata cara klausul-klausul kebudayaan di dalamnya dijalankan. 


Danau Limboto sebagai Situs Kebudayaan
Perspektif kebudayaanlah yang masih absen dalam retorika para pembentuk kebijakan dan produk hukum yang mereka hasilkan. Konsiderans Perda Zonasi Danau sendiri secara gamblang menunjukkan ketidakhadiran perspektif ini. Perda tersebut disusun tanpa merujuk pada peraturan-peraturan lebih tinggi yang mengupayakan keberlanjutan situs dengan orientasi kebudayaan.

Dalam agenda penyelamatan danau, paradigma kebudayaan di balik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU Cagar Budaya) dapat dipinjam sebagai contoh maupun diterapkan secara harfiah melalui produk hukum daerah. Apabila mengacu pada definisi normatif UU Cagar Budaya, maka danau Limboto sejatinya dapat dikategorikan sebagai sebuah cagar budaya. Menurut undang-undang tersebut, sebuah benda cagar budaya adalah “benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.” Sebagai benda cagar budaya, ia tidak hanya memuat rekaman sejarah masyarakat Gorontalo. Beberapa situs kebudayaan di Gorontalo pun pada kenyataannya dibangun sebagai bentuk adaptasi terhadap danau itu sendiri, menciptakan sebuah jejaring kebudayaan di sekitarnya. 

Dengan kata lain, danau Limboto sejak lama telah mendeterminasi sejarah masyarakat Gorontalo. Kapasitas historis ini barangkali hanya dapat ditandingi oleh kawasan gunung Tilongkabila, yang disekitarnya ditemukan artefak kebudayaan Gorontalo purba, dipercaya sebagai tempat dewa-dewa masa lalu bersemayam, sekaligus menjadi tempat bertumbuh kerajaan-kerajaan tertua di Gorontalo. Momentum penyatuan Hulonthalo dan Limutu ke dalam konfederasi Duluwo Limo lo Pohalaa hanyalah salah satu contoh dari ingatan dan legasi yang disimpan perut air danau Limboto. Bagi komunitas yang lebih kecil seperti fam, danau Limboto juga menyimpan banyak cerita.

Sejarah lisan keluarga besar Dai—klan Mama saya—adalah salah sayu fragmen ingatan  kolektif yang tak dapat dilepaskan dari danau Limboto. Menurut kakek saya, nenek moyang keluarga ini berasal dari tanah-tanah yang jauh di Selatan. Mereka memutuskan mengelana dengan kapal ke arah Utara untuk menemukan tanah-tanah baru. Pelayaran tersebut berujung pada danau Limboto, yang saat itu masih merupakan wilayah perairan air tawar yang luas. Nenek moyang kami kemudian berdoa agar di wilayah tersebutlah jalan rezekinya dapat terbuka. Doa tersebut dijawab dengan munculnya sebidang tanah dari bawah permukaan air yang menjadi tanah tempat rumah pertama klan Mama saya didirikan.

Ingatan-ingatan inilah yang sejatinya juga penting untuk diselamatkan, seiring sejalan dengan agitasi berorientasi lingkungan hidup. Keduanya bahkan harus dilihat sebagai dua elemen yang saling melengkapi, mengingat tujuan akhirnya berbicara tentang eksistensi berkelanjutan dari danau Limboto sendiri. Dengan demikian, strategi fisik dan immaterial ini harus dijalankan secara simultan.

Di Indonesia sendiri, penerapan pendekatan kebudayaan dalam penyelamatan ekosistem dengan nilai kesejarahan tinggi bukanlah hal yang janggal. Sebagian besar situs dengan status Warisan Dunia (World Heritage Site) di Indonesia pun adalah bentang-bentang alam, seperti jaringan hutan hujan Sumatra, Sangiran, dan Taman Nasional Komodo. Dengan demikian, itikad merawat ingatan dan nilai historis yang terkandung di dalam masing-masing situs menjadi tanggung jawab bangsa, bahkan dunia.

Perspektif kebudayaan, semisal melalui penerapan UU Cagar Budaya, dapat menawarkan setidaknya dua strategi alternatif bagi penyelamatan danau Limboto. Pertama, berkaitan dengan pendekatan penegakan hukum yang berbeda. UU Cagar Budaya, sebagai contoh, tidak sekadar menekankan adanya perlindungan, namun juga membuka ruang bagi pengembangan dan pemanfaatan bertanggung jawab atas cagar budaya. Dengan demikian, intervensi nonmaterial dapat menjadi prioritas secara bersama-sama dengan aspek fisik. 

Semisal, guna mencari penyelesaian masalah alih fungsi pesisir danau secara serampangan menjadi permukiman dan persawahan. Intervensi terhadap fenomena ini tentu tidak dapat terjawab dengan pembangunan infrastruktur atau skema pemindahan habitat semata. Diperlukan adanya penelitian dan advokasi terhadap perilaku dan cara hidup masyarakat secara menyeluruh, sebagai bagian dari skema penegakan hukum ekstra yudisial. 

Pembeda kedua yang juga menarik untuk dieksplorasi berkaitan pendanaan dan pergeseran politik anggaran dalam penyelamatan danau Limboto. Sepanjang penyelamatan danau Limboto masih beorientasi tunggal terhadap aspek fisiknya, maka elemen-elemen penyangga yang sejatinya juga perlu dibenahi akan cenderung dinomorduakan dan tidak tercakup dengan baik. Padahal elemen nonmaterial—seperti pendidikan kesejarahan, kebudayaan, dan penyelenggaraan ekonomi berkelanjutan di danau Limboto bagi masyarakat yang menjalin hubungan mutual dengannya—harus dijalankan secara bersamaan. Amanat akan pendidikan masyarakat sekitar danau, sebagaimana tercantum dalam Perda Zonasi Danau, sejatinya perlu ditunjang dengan anggaran yang memadai. Jika masyarakat ditinggalkan, maka hasil intervensi infrastruktur terhadap danau Limboto berpotensi gagal menjawab masalah secara utuh. 

Untuk itu, anggaran kebudayaan dapat menjadi alternatif bagi pendanaan program nonmaterial terkait danau Limboto. Ia mencakup tindakan penelitian sosial dan komitmen untuk memasukkan pengetahuan historis danau Limboto ke dalam kurikulum pendidikan lokal. Jika diperlukan, sekolah-sekolah di berbagai jenjang di area zonasi danau Limboto dapat diarahkan secara spesifik untuk mencetak generasi dengan kesadaran dan pengetahuan lintas disiplin tentang danau Limboto. 

Pengetahuan-pengetahun elementer dan teknis yang berorientasi pada pemuliaan danau ini sekaligus dapat memiliki nilai ekonomis jika diajarkan sejak dini. Kaum terpelajar hasil dari skema pendidikan berorientasi kepada danau dapat diarahkan untuk mengambil profesi yang bersinggungan dengan danau itu sendiri, dari nelayan hingga teknokrat-teknokrat ekonomi, hukum, dan lingkungan. Akibatnya, kesadaran tersebut juga dapat menunjang kebutuhan rumah tangga para penyandangnya. Dengan kooperasi yang baik antar berbagai pemangku kepentingan, terutama masyarakat di sekitar danau Limboto, sifat danau sebagai sebuah hub ekosistem ekonomi perairan air tawar dapat dikembalikan, selayaknya apa yang dikerjakan nenek moyang kita di masa lalu.


Penerapan orientasi kebudayaan dalam penyelamatan danau Limboto, merupakan sebuah investasi yang layak diperjuangkan. Bagaimanapun danau ini merupakan tempat bergantung bagi ribuan rakyat Gorontalo; tidak hanya mereka yang tengah hidup dan menghidupinya, melainkan juga generasi yang akan datang. Tidak dapat dibayangkan, danau Limboto sebagai sumber air tawar sekaligus wadah ingatan rakyat Gorontalo benar-benar kering. Peminjaman sudut pandang yang baru, seperti kebudayaan, akan mendorong lebih banyak pihak untuk turut bertanggungjawab atas penyelamatan danau Limboto. Dengan demikian, kiamat kecil di jazirah Gorontalo—yang diramalkan Popa-Eyato apabila cincin-cincin mereka muncul ke permukaan (atau ditemukan di atas dasar danau yang meranggas)—dapat ditunda. (*)

P.S.: Versi asli dari artikel ini diterbitkan di Terakota.id, 1/3/2019 [Link]

0 komentar:

Posting Komentar