Ratusan tahun silam—jauh sebelum menjadi satu
daerah otonom tunggal seperti saat ini—Gorontalo adalah wilayah yang terbagi ke
dalam kekuasaan beberapa pohalaa (kerajaan). Dua yang
terbesar, sekaligus saling bertetangga, adalah Hulonthalo (Gorontalo) dan
Limutu (Limboto). Sekalipun berkerabat dekat, namun para pemimpinnya terlibat
dalam keakraban hubungan politis yang pasang surut; akur kadang-kadang, namun
lebih banyak diwarnai persaingan politik dan dagang. 200 tahun kehidupan
bertetangga Hulonthalo dan Limutu bahkan dilingkupi oleh perang. Selain ego
Hulonthalo dan Limutu, kepentingan kerajaan-kerajaan besar yang menjadi patron
keduanya turut berkontribusi dalam merawat perseteruan itu. Hulonthalo pada
masa itu menjalin hubungan erat dengn Ternate, sementara Limutu berkoalisi
karib dengan Gowa. Baik Ternate maupun Gowa tengah berusaha memantapkan
kekuasaannya di Timur Nusantara.
Butuh 200 tahun, pada akhirnya, sebelum
perang tersebut dapat diakhiri melalui sebuah pertemuan di tepian danau
Limboto. Perubahan konfigurasi kekuatan di jazirah Gorontalo memaksa para
petinggi kerajaan untuk berunding dan menanggalkan perseteruan. Gowa dan
Ternate yang selama ini menjadi patron masing-masing telah tergeser oleh
kekuasaan maskapai pemonopoli pasar rempah milik Belanda, VOC. Yang disebut
belakangan ini pun semakin leluasa menjalankan kepentingan bisnisnya di
Gorontalo.
Pada saat itu, delegasi Hulonthalo dipimpin
oleh Eyato, sang Khatibidaa. Gelar ini menunjukkan posisinya
sebagai ulama sekaligus pimpinan tarekat sufistik yang disegani di kerajaan
Gorontalo. Eyato bahkan belakangan dipercaya sebagai raja baru. Sementara itu
perwakilan kerjaan Limboto diampu oleh Popa, seseorang yang juga berposisi
sebagai penasihat sekaligus panglima perang kerajaan Limutu.
Dengan perahu kecil, rombongan Eyato
menyeberangi danau Limboto ke wilayah kerajaan tetangganya. Di tempat yang
diperjanjikan, Eyato dan Popa berbalas tujai (pantun), lalu
mengangkat sumpah untuk menghentikan perang antara kedua kerajaan. Secara
simbolis, mereka turut mengikatkan diri dengan menyembelih kerbau dan melebur
dua buah cincin yang ditautkan satu sama lain. Kerbau yang mati, dikuras dan
dilebur lemaknya, sebagai pengingat bagi nasib mereka yang khianat. Adapun
cincin yang telah bertaut ditenggelamkan ke dasar danau Limboto. “Apabila
jalinan cincin ini terputus,” seru Popa dan Eyato, “maka persatuan di jazirah
Gorontalo akan berakhir.” Versi lain menyebut bahwa sumpah keduanya
menitiberatkan pada posisi dan kenampakan cincin tersebut; sepanjang kedua
cincin tenggelam di dasar danau, sepanjang itulah jazirah Gorontalo akan baik-baik
saja.
Sumpah ini mengawali sebuah tatanan
konstitusional baru bernama Duluwo Limo lo Pohalaa; menandai
peralihan Gorontalo ke dalam bentuk konfederasi pohalaa-pohalaa yang
tetap berdaulat. Hulonthalo dan Limutu tampil sebagai pemimpinnya, mengoordinir
tiga pohalaa lainnya, yaitu Suwawa, Bulango, dan Atinggola.
Mereka bersatu padu menahan gempuran VOC dan kerajaan Belanda, sekalipun
berujung pada kekalahan. Ketika Belanda semakin berkuasa, terjadi perubahan
tatanan sosio-legal di Gorontalo secara keseluruhan. Belanda memperkenalkan
institusi-institusi sosial baru untuk mengeliminasi pengaruh pohalaa-pohalaa tua.
Sampai saat ini, kedua cincin milik Popa dan
Eyato masih berada di dasar danau Limboto. Sayangnya dalam beberapa tahun
kedepan, sumpah Popa dan Eyato barangkali akan terlanggar oleh wajah dan
karakter fisik danau yang terus berubah. Sumpah Popa-Eyato kini mulai tampak
sebagai nubuat yang mengkhawatirkan. Cincin-cincin yang harusnya dibiarkan
bersemayam di dasar danau akan muncul ke permukaan, dan berarti, menandai
kehancuran jazirah Gorontalo sendiri.
Krisis Danau Limboto
Muasal masalah ini adalah fakta bahwa danau
Limboto mengalami pendangkalan serius dalam satu abad terakhir. Pada awal abad
1932, kedalaman danau Limboto pada titik tertentu dapat mencapai 30 meter. 40
tahun kemudian, pada pertengahan dekade 1970-an, kedalaman danau berkurang
setengahnya ke level 15 meter. Pada hari ini, nasib danau Limboto semakin
mengenaskan. Seseorang hanya perlu menyelam 1,5-2 meter untuk menjangkau titik
terdalam danau tersebut.
Perubahan kedalaman itu juga diikuti oleh
luas danau yang semakin menyusut; sesuatu yang dapat diamati secara kasat mata.
Dari 8.000 hektar pada tahun 1932, wilayah danau telah menyusut jauh hingga
2.500 hektar. Tepian-tepiannya yang mengering telah dialihfungsikan untuk
banyak keperluan. Di sisi Kota Gorontalo, bekas wilayah kerajaan Hulonthalo,
permukiman rakyat bertumbuh secara simultan. Sementara pesisir yang berbatasan
dengan wilayah Kabupaten Gorontalo kini dikapling sebagai area persawahan.
Permukiman dan persawahan itu sejatinya berbatasan langsung dengan wilayah
pasang surut danau Limboto. Pada musim-musim teduh, ketika hujan tumpah
berlebihan, permukiman dan sawah-sawah itu akan terendam banjir. Namun para
pemiliknya memilih bertahan.
Konsekuensi lanjutan dari krisis ekologis
tersebut adalah kekayaan hayati danau yang semakin terancam. Di masa
kanak-kanak saya, setiap pagi dan sore para pedagang ikan akan berkeliling
dengan sepeda di jalan poros kecamatan. Dengan suara yang bersahut-sahutan dari
terompet rakitan berbahan pompa angin, mereka menawarkan berbagai ikan air
tawar segar yang baru dirajang dari perahu-perahu. Beberapa diantaranya tak
pernah saya temukan di tempat lain: nila, tola, dumbaya, payangga,
hele, saribu, hingga manggabai yang endemik. Kini,
pedagang sejenis yang berlalu lalang dapat dihitung dengan jari. Harga seikat
ikan manggabai pun telah naik signifikan.
Ada banyak faktor yang brkontribusi pada
kerusakan besar-besaran danau Limboto tersebut. Sebagian besarnya, merujuk pada
identifikasi Alim Niode dan beberapa pakar lain, berakar pada perilaku manusia
terhadap danau Limboto itu sendiri. Masalah tersebut, baik secara figuratif
maupun harfiah, berlangsung dari hulu ke hilir. Alih fungsi lahan di pesisir
danau Limboto hanyalah salah satu contoh. Namun perubahan peruntukan lahan di
wilayah penyangga danau lainnya juga berefek sangat besar. Patut diingat bahwa
danau Limboto sejatinya adalah muara dari 15 sungai dan hanya memiliki satu sungai
sebagai saluran limpasan ke laut.
Di masa lalu, sungai-sungai itu semata
menjadi sumber air bagi danau Limboto. Namun kini, daerah hulu dan sempadan
aliran dari masing-masing sungai tersebut kini telah berubah dengan pengusahaan
konsesi perkebunan dan menjadi agen bagi pendangkalan danau. Selain melemahkan
kohesivitas tanah dan meningkatkan erosi, perubahan peruntukan daerah hulu dan
aliran sungai ini pun turut menyebarkan zat-zat kimia penyubur tanaman ke danau
Limboto. Akibatnya, air dan tanah danau Limboto menjadi medium subur bagi
pertumbuhan tanaman invasif seperti eceng gondok. Sekalipun dapat berfungsi
sebagai penyarin racun, namun eceng gondok yang mati dan tenggelam menciptakan
sedimen organik yang mempercepat kematian danau Limboto.
Para pakar memprediksi bahwa eksistensi danau
Limboto tak akan melampaui tahun 2030. Setelah tahun tersebut, kita hanya akan
dapat melihat danau Limboto dari foto-foto dan rekaman video di YouTube. Dalam
suatu perjalanan iseng, seseorang di masa depan mungkin akan menemukan
cincin-cincin Popa-Eyato, teronggok di dasar danau yang mengering. Jika
dibiarkan, rakyat Gorontalo sesungguhnya tengah menciptakan kiamatnya sendiri,
sebagaimana ramalan Popa-Eyato.
Sampai sejauh ini, skema penyelamatan danau
Limboto masih sangat bertumpu pada sektor lingkungan hidup dan infrastruktur.
Kementerian Lingkungan Hidup di masa lalu telah menetapkan danau Limboto
sebagai salah satu dari 15 danau berstatus kritis di Indonesia. Dengan dukungan
APBN, program penyelamatan danau Limboto secara fisik telah dijalankan melalui
tiga strategi utama, yaitu pengerukan, pembersihan eceng gondok, dan pembuatan
tanggul.
Di level daerah, pemerintah provinsi
Gorontalo juga telah mengambil langkah maju dengan menerbitkan Perda Nomor 9
Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Danau Limboto
(Perda Zonasi Danau). Ruang lingkup pengaturan perda ini, sebagaimana diuraikan
dalam Pasal 9, mencakup empat elemen strategis, yaitu pertama konservasi
sumber daya alam (SDA), kedua pengelolaan SDA secara
berkelanjutan, ketiga pembangunan dan peningkatan kualitas layanan
sarana dan prasarana, serta keempat pengendalian
kawasan lindung dan perencanaan mitigasi bencana.
Sayangnya, sebagaimana judulnya, perda
tersebut mengulang kesatudimensian dalam cara pandang terhadap danau Limboto.
Sebagai sebuah regeling atas subkategori penataan ruang
tertentu, maka perda tersebut terpaksa berangkat dari aspek fisik semata.
Akibatnya, aspek mental dan nonmaterial dari upaya penyelamatannya luput
diperhatikan dan diuraikan lebih jauh. Sebagai contoh, pendidikan dan
penyebaran atas kelestarian danau Limboto semata diatur di dalam satu klausul.
Pasal 11 huruf a menyatakan bahwa salah satu strategi yang digunakan untuk
menjamin keberlanjutan danau melalui peningkatan kesadaran dan kemandirian
masyarakat dalam pengelolaan danau. Adapun Pasal 16 huruf b mengamanatkan
penyediaan sarana edukasi dan pendukung pembelanjaran bagi masyarakat di
sekitar danau.
Masuknya aspek-aspek non-material di dalam
Perda Zonasi Danau tetaplah merupakan sebuah kenyataan yang perlu diapresiasi.
Namun demikian, hal tersebut juga perlu diimbangi, bahkan dikuatkan, dengan
pergeseran cara pandang dalam melihat danau Limboto. Alih-alih sekadar
ekosistem yang menciptakan hubungan mutual antara lingkungan biotik dan
abiotik, danau Limboto juga selayaknya dilihat sebagai sebuah situs kebudayaan.
Selain itu, perda tersebut juga perlu menguraikan lebih jauh mengenai tata cara
klausul-klausul kebudayaan di dalamnya dijalankan.
Danau Limboto sebagai Situs Kebudayaan
Perspektif kebudayaanlah yang masih absen
dalam retorika para pembentuk kebijakan dan produk hukum yang mereka hasilkan.
Konsiderans Perda Zonasi Danau sendiri secara gamblang menunjukkan
ketidakhadiran perspektif ini. Perda tersebut disusun tanpa merujuk pada
peraturan-peraturan lebih tinggi yang mengupayakan keberlanjutan situs dengan
orientasi kebudayaan.
Dalam agenda penyelamatan danau, paradigma kebudayaan
di balik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU Cagar
Budaya) dapat dipinjam sebagai contoh maupun diterapkan secara harfiah melalui
produk hukum daerah. Apabila mengacu pada definisi normatif UU Cagar Budaya,
maka danau Limboto sejatinya dapat dikategorikan sebagai sebuah cagar budaya.
Menurut undang-undang tersebut, sebuah benda cagar budaya adalah “benda alam
dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa
kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki
hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.” Sebagai
benda cagar budaya, ia tidak hanya memuat rekaman sejarah masyarakat Gorontalo.
Beberapa situs kebudayaan di Gorontalo pun pada kenyataannya dibangun sebagai
bentuk adaptasi terhadap danau itu sendiri, menciptakan sebuah jejaring
kebudayaan di sekitarnya.
Dengan kata lain, danau Limboto sejak lama
telah mendeterminasi sejarah masyarakat Gorontalo. Kapasitas historis ini
barangkali hanya dapat ditandingi oleh kawasan gunung Tilongkabila, yang
disekitarnya ditemukan artefak kebudayaan Gorontalo purba, dipercaya sebagai
tempat dewa-dewa masa lalu bersemayam, sekaligus menjadi tempat bertumbuh
kerajaan-kerajaan tertua di Gorontalo. Momentum penyatuan Hulonthalo dan Limutu
ke dalam konfederasi Duluwo Limo lo Pohalaa hanyalah salah
satu contoh dari ingatan dan legasi yang disimpan perut air danau Limboto. Bagi
komunitas yang lebih kecil seperti fam, danau Limboto juga
menyimpan banyak cerita.
Sejarah lisan keluarga besar Dai—klan Mama
saya—adalah salah sayu fragmen ingatan kolektif yang tak dapat dilepaskan
dari danau Limboto. Menurut kakek saya, nenek moyang keluarga ini berasal dari
tanah-tanah yang jauh di Selatan. Mereka memutuskan mengelana dengan kapal ke
arah Utara untuk menemukan tanah-tanah baru. Pelayaran tersebut berujung pada
danau Limboto, yang saat itu masih merupakan wilayah perairan air tawar yang
luas. Nenek moyang kami kemudian berdoa agar di wilayah tersebutlah jalan
rezekinya dapat terbuka. Doa tersebut dijawab dengan munculnya sebidang tanah
dari bawah permukaan air yang menjadi tanah tempat rumah pertama klan Mama saya
didirikan.
Ingatan-ingatan inilah yang sejatinya juga
penting untuk diselamatkan, seiring sejalan dengan agitasi berorientasi
lingkungan hidup. Keduanya bahkan harus dilihat sebagai dua elemen yang saling
melengkapi, mengingat tujuan akhirnya berbicara tentang eksistensi
berkelanjutan dari danau Limboto sendiri. Dengan demikian, strategi fisik dan
immaterial ini harus dijalankan secara simultan.
Di Indonesia sendiri, penerapan pendekatan kebudayaan
dalam penyelamatan ekosistem dengan nilai kesejarahan tinggi bukanlah hal yang
janggal. Sebagian besar situs dengan status Warisan Dunia (World Heritage
Site) di Indonesia pun adalah bentang-bentang alam, seperti jaringan hutan
hujan Sumatra, Sangiran, dan Taman Nasional Komodo. Dengan demikian, itikad
merawat ingatan dan nilai historis yang terkandung di dalam masing-masing situs
menjadi tanggung jawab bangsa, bahkan dunia.
Perspektif kebudayaan, semisal melalui
penerapan UU Cagar Budaya, dapat menawarkan setidaknya dua strategi alternatif
bagi penyelamatan danau Limboto. Pertama, berkaitan dengan
pendekatan penegakan hukum yang berbeda. UU Cagar Budaya, sebagai contoh, tidak
sekadar menekankan adanya perlindungan, namun juga membuka ruang bagi pengembangan
dan pemanfaatan bertanggung jawab atas cagar budaya. Dengan demikian,
intervensi nonmaterial dapat menjadi prioritas secara bersama-sama dengan aspek
fisik.
Semisal, guna mencari penyelesaian masalah
alih fungsi pesisir danau secara serampangan menjadi permukiman dan persawahan.
Intervensi terhadap fenomena ini tentu tidak dapat terjawab dengan pembangunan
infrastruktur atau skema pemindahan habitat semata. Diperlukan adanya
penelitian dan advokasi terhadap perilaku dan cara hidup masyarakat secara
menyeluruh, sebagai bagian dari skema penegakan hukum ekstra yudisial.
Pembeda kedua yang juga menarik untuk
dieksplorasi berkaitan pendanaan dan pergeseran politik anggaran dalam
penyelamatan danau Limboto. Sepanjang penyelamatan danau Limboto masih
beorientasi tunggal terhadap aspek fisiknya, maka elemen-elemen penyangga yang
sejatinya juga perlu dibenahi akan cenderung dinomorduakan dan tidak tercakup
dengan baik. Padahal elemen nonmaterial—seperti pendidikan kesejarahan,
kebudayaan, dan penyelenggaraan ekonomi berkelanjutan di danau Limboto bagi
masyarakat yang menjalin hubungan mutual dengannya—harus dijalankan secara
bersamaan. Amanat akan pendidikan masyarakat sekitar danau, sebagaimana
tercantum dalam Perda Zonasi Danau, sejatinya perlu ditunjang dengan anggaran
yang memadai. Jika masyarakat ditinggalkan, maka hasil intervensi infrastruktur
terhadap danau Limboto berpotensi gagal menjawab masalah secara utuh.
Untuk itu, anggaran kebudayaan dapat menjadi
alternatif bagi pendanaan program nonmaterial terkait danau Limboto. Ia
mencakup tindakan penelitian sosial dan komitmen untuk memasukkan pengetahuan historis
danau Limboto ke dalam kurikulum pendidikan lokal. Jika diperlukan,
sekolah-sekolah di berbagai jenjang di area zonasi danau Limboto dapat
diarahkan secara spesifik untuk mencetak generasi dengan kesadaran dan
pengetahuan lintas disiplin tentang danau Limboto.
Pengetahuan-pengetahun elementer dan teknis
yang berorientasi pada pemuliaan danau ini sekaligus dapat memiliki nilai
ekonomis jika diajarkan sejak dini. Kaum terpelajar hasil dari skema pendidikan
berorientasi kepada danau dapat diarahkan untuk mengambil profesi yang
bersinggungan dengan danau itu sendiri, dari nelayan hingga teknokrat-teknokrat
ekonomi, hukum, dan lingkungan. Akibatnya, kesadaran tersebut juga dapat
menunjang kebutuhan rumah tangga para penyandangnya. Dengan kooperasi yang baik
antar berbagai pemangku kepentingan, terutama masyarakat di sekitar danau
Limboto, sifat danau sebagai sebuah hub ekosistem ekonomi perairan
air tawar dapat dikembalikan, selayaknya apa yang dikerjakan nenek moyang kita
di masa lalu.
Penerapan orientasi kebudayaan dalam
penyelamatan danau Limboto, merupakan sebuah investasi yang layak
diperjuangkan. Bagaimanapun danau ini merupakan tempat bergantung bagi ribuan
rakyat Gorontalo; tidak hanya mereka yang tengah hidup dan menghidupinya,
melainkan juga generasi yang akan datang. Tidak dapat dibayangkan, danau
Limboto sebagai sumber air tawar sekaligus wadah ingatan rakyat Gorontalo
benar-benar kering. Peminjaman sudut pandang yang baru, seperti kebudayaan,
akan mendorong lebih banyak pihak untuk turut bertanggungjawab atas
penyelamatan danau Limboto. Dengan demikian, kiamat kecil di jazirah
Gorontalo—yang diramalkan Popa-Eyato apabila cincin-cincin mereka muncul ke
permukaan (atau ditemukan di atas dasar danau yang meranggas)—dapat ditunda.
(*)
P.S.: Versi asli dari artikel ini diterbitkan di Terakota.id, 1/3/2019 [Link]
P.S.: Versi asli dari artikel ini diterbitkan di Terakota.id, 1/3/2019 [Link]
0 komentar:
Posting Komentar