Fiat Lux

Rabu, 06 Februari 2019

DPR yang Kuat, DPR yang Ilegitim

22.53 Posted by Arasy Aziz No comments
Sumber: Suara Pembaruan

Pada tahun 2014 silam, melalui Putusan No. 14/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa pemilihan umum (pemilu) Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan setelah pemilu DPR bertentangan dengan konstitusi. Sebelumnya, undang-undang pemilu yang menjadi obyek Putusan No. 14/PUU-XI/2013 mengatur bahwa untuk dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, partai atau gabungan partai politik harus memperoleh minimal 20 persen suara dalam pemilu DPR. Mengingat sulitnya satu partai dapat menjadi mayoritas dalam sistem multipartai yang dianut Indonesia, maka koalisi antar partai menjadi niscaya demi dapat memajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Praktik inilah yang dituding sebagai lahan basah bagi politik transaksional. Ada harga yang harus dibayar untuk selembar kertas rekomendasi pencalonan Presiden.

MK pada saat itu tampak sepaham dengan argumentasi pemohon, bahwa keniscayaan transaksional ini akan berujung pada kegagalan pemerintahan berjalan secara efektif. Selain menjadi pemegang prasyarat utama pencalonan, partai-partai yang berhasil melenggang ke Senayan juga memiliki daya tawar lain berupa jumlah kursi yang mereka miliki di dalam DPR. 

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca Reformasi, posisi DPR RI memang mengalami penguatan yang signifikan. Beberapa pakar bahkan tak ragu menyebut fenomena ini sebagai sebagai legislative heaviness. Banyak kategori wewenang yang harusnya menjadi hak prerogatif Presiden kini harus dijalankan atas persetujuan dari DPR. Sebagai contoh, Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa dalam menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian internasional, Presiden harus memperoleh persetujuan DPR. Pertimbangan DPR juga perlu didengarkan dalam hal pengangkatan duta besar dan konsul, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UUD 1945.

Dengan demikian, semakin besar jumlah kursi yang dimiliki partai politik di dalam DPR, maka semakin besar pula pengaruh mereka dalam proses pembentukan undang-undang strategis atau pengambilan keputusan-keputusan administrasi negara yang harus mendapat persetujuan DPR. Presiden terpilih nantinya, mau tidak mau, harus memastikan agar kepentingan setiap partai pendukungnya dapat terakomodasi dengan baik. Komposisi menteri di dalam kabinet, di tambah lembaga-lambaga negara tambahan (state auxilliary organ) yang bertanggung jawab kepada Presiden akan diisi oleh elit-elit partai. Jika tidak, ancaman kebuntuan pemerintahan dapat terjadi sewaktu-waktu.

Dalam konfigurasi ini, fungsi utama pemilu DPR akhirnya hanya sebagai pemilu pendahuluan (preliminary election) bagi pemilu Presiden. Pemilu DPR semata dilaksanakan untuk menyeleksi partai mana saja yang berhak untuk mencalonkan Presiden dan mana yang tidak. Ini menjadi penanda lainnya bagi karakter unik presidensialisme Indonesia. Di satu sisi, skema ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) ini sejatinya lebih umum dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer multipartai. Namun di sisi lain, posisi pemilu DPR sebagai preliminary election menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia umumnya secara sadar bersepakat bahwa lembaga Kepresidenan jauh lebih penting daripada DPR itu sendiri. Kepesertaan di dalam pemilu DPR hanyalah jalan untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu menguasai sistem birokrasi dan administrasi negara beserta anggarannya, yang tidak mungkin dilakukan secara utuh dari lembaga legislatif. Dengan demikian, posisi eksekutif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tetap seronok dan powerful, sebagaimana jamaknya sistem presidensial murni di negara lain.

Dengan demikian, Putusan No. 14/PUU-XI/2013 patut dirayakan tidak hanya dari optik penguatan lembaga Presiden. Putusan ini pun sejatinya memiliki imbas positif bagi penguatan posisi tawar faktual DPR. Dengan amanat pelaksanaan pemilu Presiden-Wakil Presiden dan DPR secara serentak, partai politik kini dituntut untuk lebih berfokus untuk memenangkan pemilu DPR. Terbuka kemungkinan bahwa partai yang memperoleh suara terbanyak di dalam pemilu DPR nantinya bukanlah bagian dari koalisi partai pendukung Presiden-Wakil Presiden terpilih. Akibatnya, DPR nantinya dapat memaksimalkan fungsi-fungsi check and balances terhadap pemerintah, baik dalam segi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dan bahkan jika diperlukan,  bersikap lebih galak terhadap pemerintah.

Statistik kepemiluan Indonesia pasca pemilu Presiden langsung diperkenalkan pada tahun 2004 masih menunjukkan keberpihakan bagi pemilu DPR. Apabila dilihat dari jumlah partisipasi pemilih dalam pemilu, proporsi antara pemilih pemilu DPR dan pemilu Presiden selalu berada pada posisi fluktuatif, dengan pemilu DPR unggul 2-1 atas pemilu Presiden. Pada tahun 2004, angka pemilih aktif pada pemilu DPR sejumlah 124.420.339 orang. Sementara pemilih Presiden (putaran pertama) pada tahun yang sama berjumlah 122.293.844 orang. Proporsi pemilih aktif pada pemilu Presiden kemudian meninggalkan pemilu DPR pada tahun 2009. Para pemilih yang aktif datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pemilu DPR 2009 sejumlah 121.588.366 orang. Sementara pemilu Presiden 2009 berhasil menarik 127.983.655 orang untuk datang ke TPS. Akhirnya, pada tahun 2014, jumlah pemilih aktif pemilu DPR mencapai 139.573.927 orang. Adapun pemilih dalam pemilu Presiden hanya mencapai jumlah 134.953.967 orang. 

Angka-angka tersebut setidaknya menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya masih menaruh minat besar pada pemilu DPR. Sekalipun di saat yang sama, prestasi DPR tidak pernah memuaskan. Sebagai contoh, pada tahun-tahun pemilu (2009 dan 2014), Indeks Korupsi Birokrasi rilisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Contoh lainnya berkaitan dengan fungsi legislasi, di mana dari 50 rancangan undang-undang yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) pada tahun 2018, DPR hanya mampu mengesahkan lima diantaranya. Pemilu 2019, dengan demikian, dapat dilihat secara optimistik (sekaligus naif) sebagai momentum bagi perbaikan kinerja DPR. Siapa tau pasca pemilu 2019, DPR yang baru dapat meningkatkan kinerjanya yang meleset jauh pada tahun-tahun silam.

Masalah Legitimasi Pemilu DPR
Namun demikian, skema pemilu 2019 yang menjalankan Putusan No. 14/PUU-XI/2013 membawa konsekuensi lain yang dapat kita amati dengan mata telanjang. Karena pemilu Presiden-Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak dengan pemilu DPR, maka percakapan tentang kategori pemilu yang disebut belakangan cenderung tenggelam dari ruang publik. Statistik-statistik pembanding pemilu DPR dan pemilu Presiden pun tak lagi relevan, karena konstituen keduanya secara otomatis beririsan. Masyarakat menjadi lupa bahwa selain harus memilih Presiden pada 17 April mendatang, mereka juga masih harus memilih anggota-anggota DPR yang akan mewakili mereka di Senayan. Publik lebih mudah mengidentifikasi diri mereka dan orang lain secara hitam-putih dengan kandidat Presiden, alih-alih partai politik yang rupa-rupa warnanya. Sebutan Cebong atau Kampret terdengar lebih karib dibanding banteng, kepala garuda, beringin, bola bumi, kabah, dan sebagainya. Bahkan lembaga survey pun lebih asyik memprediksi hasil pemilu Presiden.

Hilangnya percakapan mengenai pemilu DPR di ruang publik menjadi pekerjaan rumah besar bagi partai politik. Kecuali mereka menerima imbas ekor jas dari pemilihan Presiden-Wakil Presiden, partai-partai harus berusaha keras untuk menembus parliamentary threshold yang ditetapkan sebesar 4 persen. Dengan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap pemilu 2019 yang mencapai 192.828.520 orang, maka sebuah partai setidaknya harus mengumpulkan 7.713.141 suara sah di seluruh Indonesia.

Parliamentary threshold sendiri adalah presentase minimum dari jumlah seluruh suara sah nasional yang harus diperoleh sebuah partai politik agar diikutkan dalam konversi suara ke dalam kursi DPR. Ibarat seleksi CPNS, ini adalah passing grade yang harus diperoleh seseorang dalam Tes Kompetensi Dasar (TKP) agar dapat mengikuti tahapan tes selanjutnya. Apabila salah satunya tidak terpenuhi (semisal ia hanya memperoleh nilai 138 dari standar 143 untuk Tes Karakteristik Pribadi), maka si peserta secara otomatis dianggap gugur.

Dengan tidak lolos parliamentary threshold, sebuah partai akan dianggap tidak pernah ikut pemilu DPR dan semua suara yang diperolehnya dianggap hangus. Aturan ini, untungnya, hanya berlaku bagi pemilu DPR. Sementara di level DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota berlaku prinsip tarung bebas, sesuai dengan Pasal 414 ayat (2) UU Pemilu. Semua partai politik, dengan demikian, diikutkan dalam perhitungan suara dan konversi kursi di level DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Masalahnya, survei-survei dari berbagai lembaga menunjukkan hanya 5 atau 6 dari 16 partai politik peserta pemilu yang diprediksi dapat menembus 4 persen parliamentary threshold tersebut. Mengacu pada hasil survei unit penelitian salah satu media (Litbang Kompas), total presentase dari suara prediktif kelima partai tersebut mencapai 63,2 persen. Artinya, akan ada 36,8 persen sisanya, atau 70.960.896 suara, yang akan hangus sia-sia dan sama sekali tidak diperhitungkan.

Apabila realitas nantinya sejalan dengan prediksi-prediksi tersebut, maka pemilu 2019 akan dicatat sejarah Indonesia pasca Reformasi sebagai pemilu DPR paling tidak representatif, sekaligus paling tidak legitim. Dengan alam sosial Indonesia yang mejemuk, situasi ini jauh dari kata ideal dan dapat mencerabut hak representasi politik dari kelompok-kelompok masyarakat yang spesifik. Masing-masing daerah cenderung memiliki karakter masyarakat yang berbeda dan memungkinkannya menjadi basis suara bagi partai dengan karakter yang selaras. Kebijakan parliamentary threshold yang tinggi ini pada akhirnya akan menyebabkan suara-suara yang spesifik itu menjadi tidak terwakili.

Dalam kurun waktu yang tersisa jelang pemilu DPR ini, pemerataan presentase suara sejatinya menjadi target paling realistis bagi partai politik. Selain berfokus pada pilpres, partai politik seharusnya bahu membahu demi tujuan ini dan menjaga iklim demokrasi Indonesia agar tetap sehat.

Lebih lanjut, fenomena ini barangkali akan memantik kita untuk mempertanyakan lebih lanjut pilihan-pilihan ketatanegaraan yang telah kita ambil, seperti mengenai sistem pemilu dan bentuk pemerintahan. Pada periode Reformasi memang telah lahir kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial, dan penerapan parliamentary threshold yang ketat adalah salah satu bentuk implementasinya. Dengan semakin sedikitnya jumlah partai yang lolos ke DPR, maka lawan negosiasi yang harus dihadapi pemerintah dalam proses pengambilan keputusan semakin sedikit pula. Presiden akhirnya akan memilih meninggalkan partai-partai pendukungnya yang gagal lolos parliamentary threshold dalam proses penyusunan kabinet, terutama setelah reshuffle dilaksanakan.

Namun, 70.960.896 suara tetaplah jumlah yang terlalu mencolok untuk berakhir sebagai abu dan asap, tanpa pernah dihitung sama sekali. Jika dibiarkan, DPR akan gagal merepresentasikan realitas politik yang sebenarnya di dalam masyarakat, dan dengan demikian, kehilangan legitimasinya. Partai-partai dalam jangka panjang kemudian akan semakin berjarak dari kemajemukan masyarakat Indonesia. Yang diuntungkan adalah oligark yang menjadikan kemenangan di pemilu sebagai pusat kehidupan ekonominya. (*)

0 komentar:

Posting Komentar