Sumber: Suara Pembaruan |
Pada tahun 2014 silam, melalui Putusan No.
14/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa pemilihan umum (pemilu)
Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan setelah pemilu DPR bertentangan
dengan konstitusi. Sebelumnya, undang-undang pemilu yang menjadi obyek Putusan
No. 14/PUU-XI/2013 mengatur bahwa untuk dapat mencalonkan Presiden dan Wakil
Presiden, partai atau gabungan partai politik harus memperoleh minimal 20
persen suara dalam pemilu DPR. Mengingat sulitnya satu partai dapat menjadi
mayoritas dalam sistem multipartai yang dianut Indonesia, maka koalisi antar
partai menjadi niscaya demi dapat memajukan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Praktik inilah yang dituding sebagai lahan basah bagi politik transaksional.
Ada harga yang harus dibayar untuk selembar kertas rekomendasi pencalonan
Presiden.
MK pada saat itu tampak sepaham dengan
argumentasi pemohon, bahwa keniscayaan transaksional ini akan berujung pada
kegagalan pemerintahan berjalan secara efektif. Selain menjadi pemegang
prasyarat utama pencalonan, partai-partai yang berhasil melenggang ke Senayan
juga memiliki daya tawar lain berupa jumlah kursi yang mereka miliki di dalam
DPR.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca
Reformasi, posisi DPR RI memang mengalami penguatan yang signifikan. Beberapa
pakar bahkan tak ragu menyebut fenomena ini sebagai sebagai legislative
heaviness. Banyak kategori wewenang yang harusnya menjadi hak prerogatif
Presiden kini harus dijalankan atas persetujuan dari DPR. Sebagai contoh, Pasal
11 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa dalam menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian internasional, Presiden harus memperoleh persetujuan
DPR. Pertimbangan DPR juga perlu didengarkan dalam hal pengangkatan duta besar
dan konsul, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UUD 1945.
Dengan demikian, semakin besar jumlah kursi yang
dimiliki partai politik di dalam DPR, maka semakin besar pula pengaruh mereka
dalam proses pembentukan undang-undang strategis atau pengambilan
keputusan-keputusan administrasi negara yang harus mendapat persetujuan DPR.
Presiden terpilih nantinya, mau tidak mau, harus memastikan agar kepentingan
setiap partai pendukungnya dapat terakomodasi dengan baik. Komposisi menteri di
dalam kabinet, di tambah lembaga-lambaga negara tambahan (state auxilliary
organ) yang bertanggung jawab kepada Presiden akan diisi oleh elit-elit
partai. Jika tidak, ancaman kebuntuan pemerintahan dapat terjadi sewaktu-waktu.
Dalam konfigurasi ini, fungsi utama pemilu
DPR akhirnya hanya sebagai pemilu pendahuluan (preliminary election)
bagi pemilu Presiden. Pemilu DPR semata dilaksanakan untuk menyeleksi partai
mana saja yang berhak untuk mencalonkan Presiden dan mana yang tidak. Ini
menjadi penanda lainnya bagi karakter unik presidensialisme Indonesia. Di satu
sisi, skema ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) ini
sejatinya lebih umum dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer multipartai.
Namun di sisi lain, posisi pemilu DPR sebagai preliminary election menunjukkan
bahwa partai politik di Indonesia umumnya secara sadar bersepakat bahwa lembaga
Kepresidenan jauh lebih penting daripada DPR itu sendiri. Kepesertaan di dalam
pemilu DPR hanyalah jalan untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu
menguasai sistem birokrasi dan administrasi negara beserta anggarannya, yang
tidak mungkin dilakukan secara utuh dari lembaga legislatif. Dengan demikian,
posisi eksekutif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tetap seronok dan powerful, sebagaimana
jamaknya sistem presidensial murni di negara lain.
Dengan demikian, Putusan No. 14/PUU-XI/2013
patut dirayakan tidak hanya dari optik penguatan lembaga Presiden. Putusan ini
pun sejatinya memiliki imbas positif bagi penguatan posisi tawar faktual DPR.
Dengan amanat pelaksanaan pemilu Presiden-Wakil Presiden dan DPR secara
serentak, partai politik kini dituntut untuk lebih berfokus untuk memenangkan
pemilu DPR. Terbuka kemungkinan bahwa partai yang memperoleh suara terbanyak di
dalam pemilu DPR nantinya bukanlah bagian dari koalisi partai pendukung
Presiden-Wakil Presiden terpilih. Akibatnya, DPR nantinya dapat memaksimalkan
fungsi-fungsi check and balances terhadap pemerintah, baik
dalam segi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dan bahkan jika
diperlukan, bersikap lebih galak terhadap pemerintah.
Statistik kepemiluan Indonesia pasca pemilu
Presiden langsung diperkenalkan pada tahun 2004 masih menunjukkan keberpihakan
bagi pemilu DPR. Apabila dilihat dari jumlah partisipasi pemilih dalam pemilu,
proporsi antara pemilih pemilu DPR dan pemilu Presiden selalu berada pada
posisi fluktuatif, dengan pemilu DPR unggul 2-1 atas pemilu Presiden. Pada
tahun 2004, angka pemilih aktif pada pemilu DPR sejumlah 124.420.339 orang.
Sementara pemilih Presiden (putaran pertama) pada tahun yang sama berjumlah
122.293.844 orang. Proporsi pemilih aktif pada pemilu Presiden kemudian
meninggalkan pemilu DPR pada tahun 2009. Para pemilih yang aktif datang ke
Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pemilu DPR 2009 sejumlah 121.588.366 orang.
Sementara pemilu Presiden 2009 berhasil menarik 127.983.655 orang untuk datang
ke TPS. Akhirnya, pada tahun 2014, jumlah pemilih aktif pemilu DPR mencapai
139.573.927 orang. Adapun pemilih dalam pemilu Presiden hanya mencapai jumlah
134.953.967 orang.
Angka-angka tersebut setidaknya menunjukkan
bahwa masyarakat pada umumnya masih menaruh minat besar pada pemilu DPR. Sekalipun
di saat yang sama, prestasi DPR tidak pernah memuaskan. Sebagai contoh, pada
tahun-tahun pemilu (2009 dan 2014), Indeks Korupsi Birokrasi rilisan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup.
Contoh lainnya berkaitan dengan fungsi legislasi, di mana dari 50 rancangan
undang-undang yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) pada tahun
2018, DPR hanya mampu mengesahkan lima diantaranya. Pemilu 2019, dengan
demikian, dapat dilihat secara optimistik (sekaligus naif) sebagai momentum
bagi perbaikan kinerja DPR. Siapa tau pasca pemilu 2019, DPR yang baru dapat
meningkatkan kinerjanya yang meleset jauh pada tahun-tahun silam.
Masalah Legitimasi Pemilu DPR
Namun demikian, skema pemilu 2019 yang
menjalankan Putusan No. 14/PUU-XI/2013 membawa konsekuensi lain yang dapat kita
amati dengan mata telanjang. Karena pemilu Presiden-Wakil Presiden dilaksanakan
secara serentak dengan pemilu DPR, maka percakapan tentang kategori pemilu yang
disebut belakangan cenderung tenggelam dari ruang publik. Statistik-statistik
pembanding pemilu DPR dan pemilu Presiden pun tak lagi relevan, karena
konstituen keduanya secara otomatis beririsan. Masyarakat menjadi lupa bahwa
selain harus memilih Presiden pada 17 April mendatang, mereka juga masih harus
memilih anggota-anggota DPR yang akan mewakili mereka di Senayan. Publik lebih
mudah mengidentifikasi diri mereka dan orang lain secara hitam-putih dengan
kandidat Presiden, alih-alih partai politik yang rupa-rupa warnanya. Sebutan
Cebong atau Kampret terdengar lebih karib dibanding banteng, kepala garuda,
beringin, bola bumi, kabah, dan sebagainya. Bahkan lembaga survey pun lebih
asyik memprediksi hasil pemilu Presiden.
Hilangnya percakapan mengenai pemilu DPR di
ruang publik menjadi pekerjaan rumah besar bagi partai politik. Kecuali mereka
menerima imbas ekor jas dari pemilihan Presiden-Wakil Presiden, partai-partai
harus berusaha keras untuk menembus parliamentary threshold yang
ditetapkan sebesar 4 persen. Dengan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap
pemilu 2019 yang mencapai 192.828.520 orang, maka sebuah partai setidaknya
harus mengumpulkan 7.713.141 suara sah di seluruh Indonesia.
Parliamentary threshold sendiri adalah presentase minimum dari jumlah
seluruh suara sah nasional yang harus diperoleh sebuah partai politik agar
diikutkan dalam konversi suara ke dalam kursi DPR. Ibarat seleksi CPNS, ini
adalah passing grade yang harus diperoleh seseorang dalam Tes
Kompetensi Dasar (TKP) agar dapat mengikuti tahapan tes selanjutnya. Apabila
salah satunya tidak terpenuhi (semisal ia hanya memperoleh nilai 138 dari
standar 143 untuk Tes Karakteristik Pribadi), maka si peserta secara otomatis
dianggap gugur.
Dengan tidak lolos parliamentary
threshold, sebuah partai akan dianggap tidak pernah ikut pemilu DPR
dan semua suara yang diperolehnya dianggap hangus. Aturan ini, untungnya, hanya
berlaku bagi pemilu DPR. Sementara di level DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota berlaku prinsip tarung bebas, sesuai dengan Pasal 414 ayat (2)
UU Pemilu. Semua partai politik, dengan demikian, diikutkan dalam perhitungan
suara dan konversi kursi di level DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Masalahnya, survei-survei dari berbagai
lembaga menunjukkan hanya 5 atau 6 dari 16 partai politik peserta pemilu yang
diprediksi dapat menembus 4 persen parliamentary threshold tersebut.
Mengacu pada hasil survei unit penelitian salah satu media (Litbang Kompas),
total presentase dari suara prediktif kelima partai tersebut mencapai 63,2
persen. Artinya, akan ada 36,8 persen sisanya, atau 70.960.896 suara, yang akan
hangus sia-sia dan sama sekali tidak diperhitungkan.
Apabila realitas nantinya sejalan dengan
prediksi-prediksi tersebut, maka pemilu 2019 akan dicatat sejarah Indonesia
pasca Reformasi sebagai pemilu DPR paling tidak representatif, sekaligus paling
tidak legitim. Dengan alam sosial Indonesia yang mejemuk, situasi ini jauh dari
kata ideal dan dapat mencerabut hak representasi politik dari kelompok-kelompok
masyarakat yang spesifik. Masing-masing daerah cenderung memiliki karakter
masyarakat yang berbeda dan memungkinkannya menjadi basis suara bagi partai
dengan karakter yang selaras. Kebijakan parliamentary threshold yang
tinggi ini pada akhirnya akan menyebabkan suara-suara yang spesifik itu menjadi
tidak terwakili.
Dalam kurun waktu yang tersisa jelang pemilu
DPR ini, pemerataan presentase suara sejatinya menjadi target paling realistis
bagi partai politik. Selain berfokus pada pilpres, partai politik seharusnya
bahu membahu demi tujuan ini dan menjaga iklim demokrasi Indonesia agar tetap
sehat.
Lebih lanjut, fenomena ini barangkali akan
memantik kita untuk mempertanyakan lebih lanjut pilihan-pilihan ketatanegaraan
yang telah kita ambil, seperti mengenai sistem pemilu dan bentuk pemerintahan.
Pada periode Reformasi memang telah lahir kesepakatan untuk memperkuat sistem
presidensial, dan penerapan parliamentary threshold yang ketat
adalah salah satu bentuk implementasinya. Dengan semakin sedikitnya jumlah
partai yang lolos ke DPR, maka lawan negosiasi yang harus dihadapi pemerintah
dalam proses pengambilan keputusan semakin sedikit pula. Presiden akhirnya akan
memilih meninggalkan partai-partai pendukungnya yang gagal lolos parliamentary
threshold dalam proses penyusunan kabinet, terutama setelah reshuffle dilaksanakan.
Namun, 70.960.896 suara tetaplah
jumlah yang terlalu mencolok untuk berakhir sebagai abu dan asap, tanpa pernah
dihitung sama sekali. Jika dibiarkan, DPR akan gagal merepresentasikan realitas
politik yang sebenarnya di dalam masyarakat, dan dengan demikian, kehilangan
legitimasinya. Partai-partai dalam jangka panjang kemudian akan semakin
berjarak dari kemajemukan masyarakat Indonesia. Yang diuntungkan adalah oligark
yang menjadikan kemenangan di pemilu sebagai pusat kehidupan ekonominya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar