Akhir 2017 hingga awal tahun 2018, saya
berlibur selama kurang lebih dua pekan ke beberapa kota. Dimulai di Makassar
bersama Papa, Mama dan adik-adik saya, transit semalam di Jakarta, lalu
melanjutkan perjalanan ke sisi barat Andalas. Di Makassar, waktu saya lebih
banyak dihabiskan bersama keluarga. Namun saya sempat mengunjungi Kampung
Literasi Wesabbe dan hampir menyeberang ke Pulau Samalona jika tidak digagalkan
oleh badai yang datang tiba-tiba. Saya kemudian menghabiskan pergantian tahun
di kampung halaman kekasih saya, Bengkulu, sebelum mengeluyur sendirian di
ranah Minang.
Cerita saya akan dimulai dari Dialektika,
sebuah kedai kopi sederhana di Kampung Literasi Wesabbe.
Sumber: Facebook Cafe Dialektika |
Revolusi-revolusi
terbesar di dunia dimulai dari warung-warung kopi.
Di salah
satu segmen sungai Seine, Paris, atau di persimpangan-persimpangan jalan pada
bulan-bulan jelang revolusi 1789, warung-warung kopi riuh oleh sekelompok
pemikir yang beradu cakap, bersitegang, bersilat gagasan. Situasi Prancis
sedang tak nyaman, rakyat hidup miskin, sementara kaula monarki
bermewah-mewahan di kastil-kastil. Lampu sorot mengarah langsung kepada jantung
kekuasaan yang kelewat boros dan nir empati: Raja Louis XVI dan ratunya Marie
Antoinette. Kawanan di warung kopi ini terus gelisah, menunggu waktu untuk
berbuat sesuatu.
Mereka,
kawanan itu, adalah segelintir kelas menengah yang merasakan langsung kemewahan
Aufklarung, abad pencerahan. Mereka
adalah generasi dengan akses pada monograf-monograf penting pemikir pendahulu
mereka, seperti Rosseau, Montesqiueu, dan Voltaire. Dari setidaknya ketiga nama
itu, gagasan mengenai tatanan Prancis yang baru digali, mulai diidealkan
sebagai cita-cita, sebelum mewujud di dalam gerakan bersama. Rosseau, semisal,
memberikan manual hampir lengkap mengenai bagaimana menjalankan sebuah
pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat berdasarkan kontrak khalayak. Sebuah
Republik. Sedangkan Montesqiueu mengajari mereka mengenai sistem pemerintahan
yang dibagi untuk memastikan pelampauan kekuasaan tiada.
Rosseau,
Montesquieu maupun Voltaire, menariknya, tak sekadar berbagi gagasan. Ketiganya
berbagi cangkir-cangkir kopi yang sama dengan kelas menengah penerusnya,
meja-meja yang sama, di kafe-kafe tepian Seine dan persimpangan jalan Paris
yang sama. Ketiganya juga merupakan pengunjung kafe-kafe Paris yang rutin. Gelas-gelas
kopi yang pernah mereka pakai dicuci berulang kali, kembali ke rak-raknya,
digunakan tahun demi tahun melewati halaman-halaman kalender.
Revolusi
Prancis akhirnya benar-benar pecah. Ketika negara Republik didirikan di atas remah-remah
feodalisme Prancis, kepala Antoniette terlanjur terpisah dari tubuh pualamnya,
lalu berguling di bawah sembilu gilotin.
Warung-warung
kopi kemudian dikenang sebagai saksi mata yang tetap membisu dalam
revolusi-revolusi. Ia adalah rumah bersama bagi kelas menengah yang bohemian
dan pemimpi. Dinding-dindingnya mencuri dengar gagasan-gagasan rumit dari
pemimpin-pemimpin pergerakan. Sampai di titik ini, ia tanpa sadar menunjukkan
wajah dengan kesan yang elitis dan tak terjangkau.
Bagaimanapun
pada saat itu, kopi adalah komoditas langka yang harus diambil dari
negeri-negeri basah yang jauh. Namun seiring waktu, konsep kafe a la Prancis terus menyebar ke pelosok
dunia. Ngopi terlanjur menjadi aktivitas publik, alih-alih sekadar urusan rumah
tangga. Penemuan mesin-mesin industri memungkinkan kopi-kopi diproduksi dalam volume
gigantis, dipak ke dalam kemasan saset siap seduh. Mesin-mesin industri
memangkas rantai produksi secangkir kopi, menekan harga, membut kopi semakin
memasyarakat. Pun dengan aktivitas mengonsumsinya. Ngopi segera menjadi kata
kerja.
Profanasi
itu tak lantas membuat ngopi kehilangan fungsinya sebagai pranata bagi
dialektika dan pewacanaan kerja-kerja kebudayaan. Dari seluruh tingkatan
kelasnya, ngopi selalu menjadi ruang bagi adu gagasan dan tumbuh kembang ide.
Dari Starbucks hingga lesehan sederhana di terminal bus antar kota yang
bersebelahan dengan kakus. Dilakukan oleh generasi yang wangi hingga mereka
yang berjam-jam dipanggang matahari. Membincang urusan publik dengan
reme-remeh, seolah kekuasaan dekat saja.
Di tempat
asal saya, Gorontalo, dikenal istilah parlemen jalanan sebagai penanda bagi
eksistensi suatu pusat wacana alternatif di luar kekuasaan, yang lahir dari
gelas-gelas kopi yang dibagi. Warung kopi kerap menjadi indikator popularitas
suatu isyu, dan menjadi wadah bagi para pemimpin untuk mengukur dirinya sendiri.
Saya yakin, hal serupa terjadi di berbagai daerah lain dengan kultur warung
kopi yang kuat.
Namun
demikian, ada satu prasyarat penting yang memungkinkan aktivitas ngopi dapat
berlangsung dengan baik; sebuah prinsip sederhana dalam demokrasi diskursus.
Seluruh pihak yang terlibat, sekurang-kurangnya haruslah juga menjadi pembaca. Mereka umumnya telah membekali
diri dengan cadangan pengetahuan yang diperoleh dari kata-kata di koran, di
buku-buku. Ngopi adalah pengulangan dari apa-apa yang dibacanya, proses pencarian
makna yang terus menerus.
Belakangan,
semakin banyak kedai kopi yang berusaha menjembatani aktivitas membaca dan
diskusi itu sendiri, berusaha mengondisikan agar keduanya dapat berlangsung
dalam satu waktu. Mereka tak hanya menyediakan meja-meja diskusi, namun
melangkah lebih jauh dengan menghadirkan ruang baca di tengah-tengah. Salah
satu yang tanpa sengaja saya kunjungi adalah Kafe Dialektika di Makassar. Kafe
ini, bahkan juga merangkap pusat distribusi buku-buku. Dengan pemiliknya, saya
bercakap banyak hal. Tentang Kampung Literasi Wasabbe, tentang buku-buku
favoritnya, toko-toko buku favoritnya, tentang Makassar yang terus bergeliat.
###
Pada sore 27
Desember, saya hendak menemani kawan-kawan tempat saya menginap di Makassar
bermain futsal. Namun menunggu 2 jam jelas akan menjemukan jika hanya diisi
dengan menonton dua tim berebut bola. Saya kemudian iseng mengakses internet,
dan menemukan bahwa Kampung Literasi Wasabbe terletak amat dekat dengan
lapangan futsal. Kepada seorang teman, saya memutuskan meminjam motor. Tujuan mula
saya hendak ke Katakerja. Perpustakaan ini telah lama dikenal sebagai rumah
bagi beberapa penulis muda asal Makassar, seperti Aan Mansyur dan Faisal
Oddang. Beberapa pekan sebelumnya, seorang kawan telah menuliskan risalah
kunjungannya ke sana, yang semakin membuat saya tertarik.
Namun
perjalanan ke sana tidak berlangsung lancar-lancar saja. Motor yang saya
gunakan sedikit bermasalah dengan gas dan injakan koplingnya. Beberapa kali ia
mati di tengah jalan dan sulit dinetralkan. Bagi saya yang mudah berkeringat,
ini sangat-sangat mengganggu. Perjalanan ke Wesabbe sejatinya tidak memakan
waktu lama, namun terpotong signifikan oleh kemalangan itu.
Saya mulai
bersyukur ketika pintu gerbang kompleks Wesabbe mulai terlihat. Wesabbe
sesungguhnya tak dapat benar-benar disebut sebuah kampung. Ia adalah sebuah
unit perumahan pinggiran kota, terletak persis di seberang pintu gerbang
Universitas Hasanuddin. Beberapa ratus meter dari tepian jalan raya Perintis
Kemerdekaan, poros Makassar-Maros.
Namun kemalangan
belum selesai. Sebelum saya menemukan Katakerja, motor saya kembali mati dan
kali ini tak kunjung bisa dinyalakan. Ia kehabisan bahan bakar.
Beruntung di
salah satu pojokan jalan, seorang bapak duduk sendirian mengaso. Ia mulanya
mendelik curiga kepada saya, menginterogasi singkat, dan belakangan menawari
saya tumpangan untuk mencari bensin. Ia menunjuk ke salah satu pojok dan
meminta saya meninggalkan motor di sana. “Di sini aman.” Kami harus ke
perumahan sebelah untuk mendapatkan bensin eceran. Setelah tangki motor kembali
terisi dan botol saya kembalikan, saya mengitari Wesabbe sekali lagi, mencari
Katakerja.
Namun
perpustakaan itu tak kunjung saya temukan. Melewati lorong-lorong yang sama
berkali-kali, hingga para penghuni perumahan mulai menaruh pandangan ganjil
setiap kali saya berlalu. Hari semakin sore, dan saya memilih menyerah mencari
Katakerja. Saya yang kehausan memutuskan singgah ke salah satu rumah yang juga
tampak difungsikan sebagai kedai kopi. Di salah satu temboknya tertulis
besar-besar nama kafe itu. Dialektika. Hanya ada beberapa orang yang tengah
ngopi ketika saya tiba. Saya memilih memesan minuman es susu dingin.
Suasana Dialektika
sore itu segera mengingatkan saya pada kedai Tjangkir 13, markas harian saya
semasa kuliah di Malang. Pada asap sigaret yang beterbangan di tengah guyonan
kami, yang berusaha saya cegah untuk masuk ke pernapasan. Pada coklat hangatnya
yang unik.
Secara umum,
kedai Dialektika terbagi atas dua seksi, yaitu dalam dan luar ruang. Di salah
satu pojok bagian dalam terdapat lemari buku 1,5 x 1,5 meter. Buku-buku yang
tersusun di sana memiliki latar tema dan genre yang relatif beragam. Karya
sastra menjadi koleksi dominan, mulai dari Tere Liye hingga Pramoedya Ananta
Toer. Lebih kurang menunjukkan preferensi bacaan pemiliknya yang majemuk.
Sebelum
kemudian duduk menunggu pesanan saya diantar, saya memutuskan masuk ke salah
satu ruangan yang difungsikan sebagai toko buku mini. Sebagian besar isinya
datang dari penerbit-penerbit independen. Judul-judul yang belakangan popular di
kancah sastra Indonesia segera tampak. Traktat-traktat filsafat dan modus
gerakan anarkisme duduk bersisian dengan terbitan kiri. Namun saya temui pula
beberapa buku terbitan penerbit raksasa seperti Kepustakaan Populer Gramedia
(KPG). Di dalam toko buku kecil itu, kesemuanya hidup berdampingan menunggu
dibeli. Di hamparan meja, atau menggelantung seperti jemuran.
Saya memilih
duduk di salah satu sofa di dekat pintu, berhadap-hadapan dengan lemari kecil di
pojok kedai itu. Pesanan saya belum juga diantarkan. Saya memilih salah satu
buku, “Manusia Bugis”.
Buku yang
saya pilih pada akhirnya tak benar-benar saya baca. Segera setelah pesanan saya
tiba, saya memutuskan mengajak ngobrol sang pramusaji, yang rupanya sekaligus
merupakan pemilik kafe itu. Pria itu menyebut dirinya Bula’, seorang lulusan
Fakultas Pertanian Unhas angkatan 2009. Percakapan kami dimulai dengan sedikit
canggung, namun mengalir semakin lama. Beberapa halaman di bab pengantar “Manusia
Bugis” masih terbuka sekenanya.
Embrio bagi
Dialektika, menurut Bula’, dimulai jauh sejak masa kuliahnya. Sejak masa itu,
ia telah berjualan buku untuk menambah biaya hidup di Makassar. Toko buku berkonsep
kafe baru dirintisnya sejak tahun 2014. Ketika memilih lokasi kafenya di BTN
Wesabbe, tidak terpikirkan bahwa suatu saat kompleks itu akan menjelma menjadi
sebuah kampung literasi. Ia mulanya bahkan tidak saling kenal dengan para pegiat
dua pilar Kampung Literasi Wesabbe lain, yaitu Katakerja dan Kedai Buku Jenny. Kehidupan
ketiganya yang saling berdampingan menjadi serba kebetulan.
Namun
Dielaktika, bersama Katakerja dan KBJ tidak sedang bergerak sendirian. Gerakan
literasi memang tengah pesat bertumbuh di Makassar, tak terbatas di dalam kawasan
BTN Wesabbe. Kenyataannya, gerakan itu terjadi secara simultan, bertumbuh
bersamaan, di banyak tempat di penjuru kota itu. Pusat-pusatnya bersesuaian
dengan sebaran kampus-kampus dan univesitas-universitas. Mereka yang menghidupkan
kafe Dialektika, semisal, kebanyakan datang dari Unhas yang memang hanya
berjarak sepelemparan batu. Mereka menjadi penghuni tetap, atau pengunjung yang
datang sekali dua, untuk mengikuti program-program rutin Dialektika, yang
sebagian besar berkutat pada diskusi filsafat. Sementara di belahan kota yang
lain, di luar Wesabbe, ruang publik sejenis semakin mudah ditemukan, bahkan
dengan tawaran tema yang semakin spesifik. Di daerah Pettarani, misalnya, sebuah
kafe didirikan secara khusus untuk mengenang Pramoedya Ananta Toer.
Saya
menduga-duga, semarak penggunaan internet justru berandil besar terhadap
pertumbuhan massif gerakan literasi. Di
dalam internet, dinamika pewacanaan terjadi sangat cair dan hampir tanpa sekat.
Medium-medium alternatif terus bermunculan, memungkinkan setiap orang bertutur
tanpa ikatan waktu.
Dampak
positif internet juga tak hanya berlangsung di dalam dirinya sendiri. Ia justru
memungkinkan buku kembali digemari sebagai jendela dunia. Internet membuka
ruang bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru di dunia perbukuan, dengan mengarusutamakan
penerbit dan toko buku kecil. Distribusi buku hari ini tak lagi dikuasai oleh
jaringan toko buku-toko buku besar. Toko buku kecil dengan stok 1-5 semakin
semarak, dan penerbit kini memiliki akses langsung kepada calon pembacanya. Yang
disebut belakangan semakin berani menerbitkan tulisan penulis muda, atau
menerjemahkan karya penulis-penulis asing. Akibatnya, mutu bacaan semakin terjaga
dan pembentukan selera menjadi lebih manasuka.
Internet
telah menggeser lelaku membaca dari sekadar hobi menjadi gaya hidup, lalu
kebutuhan. Sebagai kebutuhan, konsumen perlu memastikan agar kesetimbangan gizi
bacaannya tercukupi.
Penerbit
besar akhirnya dipaksa bersiasat dengan perubahan situasi ini. Mereka kemudian
membuka pintu kepada toko buku-toko buku kecil itu, menitip jual
terbitan-terbitan mereka. Mereka perlu memastikan agar pembacanya tetap
tersedia di tengah pola konsumsi yang berubah. Inilah alasan dibalik eksistensi
terjemahan “Sapiens” karya Yuval Noah Harari, atau trilogi Jared Diamond
terbitan KPG, di rak toko Dialektika. Bula’ mengaku memiliki kontak langsung
dengan agen buku terbitan penerbit itu. Membentuk pola simbiosis yang diam-diam
menguntungkan masyarakat pembaca Indonesia.
Pertumbuhan
kafe-kafe seperti Dialektika, dengan demikian, menjadi fenomena yang
menggairahkan. Bula’ mengaku terkagum dengan Post Santa di Jakarta, Kineruku di
Bandung, atau Shakespeare & Co. di Paris, sementara saya mengagumi kedai
kecilnya. Sadar tak sadar, kafe-kafe ini telah menjelma filter untuk menangkal
residu kapitalisme perbukuan Indonesia hari ini; selera bacaan yang buruk.
Kafe-kafe ini terlibat aktif dalam tiga matra gerakan literasi sekaligus, sejak
level distribusi, konsumsi, dan pasca-konsumsi. Mereka tak sekadar berdagang,
namun juga menyediakan ruang baca dan diskusi untuk mengapresiasi pengetahuan.
Di dalamnya
buku-buku tak sekadar menjadi setumpuk halaman dingin, namun juga
diperbincangkan dengan cinta. Di dalamnya, buku-buku menjadi hidup di antar
waktu. Dan saya masih menyimpan cita-cita untuk membuka ruang sejenis di kampung
halaman saya, suatu saat nanti. (*)
Sekelumit tentang Kafe Dialektika:
Kafe
Dialektika terletak di BTN Wesabbe Blok C No. 53, Tamalanrea, Makassar, yang
juga dikenal sebagai Kampung Literasi Wesabbe. Adanya transportasi online
membuat kafe ini sangat mudah dijangkau dari manapun. Menunya relatif murah dan
sederhana. Kafe Dialektika menyelenggarakan program-program rutin yang
jadwalnya dapat diakses di laman Facebook mereka. Selain itu, program Kampung Literasi Wesabbe
juga masih berlangsung untuk kurun waktu 1 tahun, sejak 17 Maret 2017 hingga 17
Maret 2018.
0 komentar:
Posting Komentar