Saya diam-diam menyimpan asa untuk mengunjungi ranah Minang sejak masa Madrasah Aliyah. Pada awal tahun 2018, tepat sehari setelah tahun baru, saya akhirnya berhasil mewujudkannya. Dalam perjalanan panjang di atas bus Bengkulu-Bukittinggi, saya mengingat-ingat kembali mengapa tanah yang melahirkan banyak perumus keindonesiaan kita hari ini layak diziarahi.
Saya membaca Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk untuk pertama kalinya di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah. Buku itu bersampul biru gelap dengan sejumput warna putih yang seolah tumpah di atasnya, ibarat buih-buih yang disisakan sapuan gelombang laut. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk terselip di antara rak sastra perpustakaan madrasah kami, di antara puluhan judul novel-novel lain. Saya tak benar-benar ingat alasan mengapa memilih membacanya. Barangkali saya tergoda oleh nama penulisnya yang mahsyur, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), atau atas judulnya yang tersusun dari lima kata. Keduanya tercetak di punggung buku, yang segera tampak sepintas lalu ketika ia berdiri dijejerkan.
Yang
benar-benar saya ingat kala itu adalah, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk tak tuntas saya baca dalam sekali duduk, di sela waktu
istirahat pertama kami yang hanya 30 menit. Di akhir waktu yang singkat itu, saya
memutuskan meminjam Van Der Wijk untuk
dibawa pulang ke asrama.
Ringkasnya,
kisah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk berpusat
pada kemalangan Zainuddin. Sejak lahirnya, ia dianggap tak berbangsa dan tak
beradat karena lahir dari kawin silang yang tak jamak antara seorang putra
Minang dan perawan Bugis. Kita tahu bahwa orang-orang Minang adalah suku
terbesar di dunia yang masih mempertahankan sistem matrilineal. Artinya, garis
keturunan seseorang ditentukan berdasarkan siapa ibunya. Sementara orang-orang
Bugis adalah kontrasnya yang berkebalikan, dimana pihak ayah yang menjadi
landasan perunutan latar kesukuan seseorang. Dalam situasi berayah Minang
beribu Bugis, asal-usul Zainuddin dianggap ganjil dan serba kabur. Ia merantau
jauh-jauh ke Batipuh, kampung halaman ayahnya di barat Andalas, hanya demi mendapati penolakan
dari keluarganya.
Kesedihan
itu sedikit terobati ketika Zainuddin bertemu dengan Hayati. Berawal dari
pinjam meminjam payung sepulang mengaji, kedunya terlibat dalam hubungan
surat-menyurat yang mendayu. Kebiasaan itu berlanjut sekalipun Zainuddin telah
dipaksa pindah ke Padang Panjang. Ini sejenis konspirasi yang dirancang denga
sengaja untuk menjauhkan Zainuddin dan Hayati. Ketika memisahkan keduanya
tampak tak menghentikan masa-masa manis dan bergairah itu, ninik mamak Hayati mengambil langkah lebih lanjut. Hayati dipaksa
untuk menikahi Aziz, seorang pemuda mapan putra ambtenaar kolonial. Tragedi kedua ini tampak lebih berat untuk ditanggung
oleh Zainuddin, membikin ia lupa akan masalah ketunabangsaannya.
Belakangan,
butuh berhari-hari hingga halaman demi halaman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk benar-benar
saya tandaskan. Bagi saya di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah, gaya bahasa yang
dipilih HAMKA relatif rumit dan sulit dicerna. Ia tampak bertutur di atas pengaruh naratif hikayat
Melayu. Kita mafhum, mengingat pada saat roman itu ditulis, HAMKA menjabat
sebagai redaktur di sebuah surat kabar di Medan, pusat kebudayaan Melayu Deli. Ada
bunga-bunga kalimat di sana-sini, yang dihela-hela agar tampak puitik. Struktur
bahasanya mengikuti ejaan zamannya, pada tahun-tahun ketika roman itu ditulis,
1938. Kadang-kadang, saya membaca satu dua paragraf berkali-kali, sebelum mencermati
segmen-segmen cerita yang lain.
Di antara
kesulitan-kesulitan itu, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk menyisakan banyak hal yang membekas di benak saya. Yang
terbayang-bayang adalah gambaran mengenai keindahan sisi-sisi dataran tinggi
Minangkabau yang diapit oleh gunung-gunung berapi. Kadang-kadang, dapat saya
dengar sayup-sayup nyanyian dari seruling pada pagi yang dingin di tepian danau
Singkarak, atau pemandangan mata elang rumah-rumah gadang yang berdiri di
tengah sawah-sawah muda.
Kadang-kadang,
saya merasa sebagai orang Minang yang lahir di tempat lain. Ragam bahasa jerman
memiliki kosa kata yang menandai fenomena itu: fernweh. Kerinduan kepada tanah-tanah yang belum pernah kita
pijaki.
Dalam Van Der Wijk, beberapa kali keindahan yang layak dirindukan itu menemui bentuk dalam diri Hayati. Hayati adalah “lambaian gunung Merapi,
yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model
sekarang.” Hayati adalah kembang yang berpendar di dalam rumah gadang ninik
mamaknya.
Beberapa
tahun kemudian, Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijk diangkat ke layar lebar, memberi gambaran visual yang semakin
tajam dan lengkap tentang kecantikan alam Minangkabau. Air permukaan danau di
subuh yang dingin menjadi latar tempat bagi kegelisahan Zainuddin. Di
tepiannya, Zainuddin kerap digambarkan menulis syair-syairnya, curahan
kegelisahannya. Matahari belum naik hingga sepenggalan, dalam terang yang masih
samar, menampilkan lanskap memukau dan tragis sekaligus.
Ketika
cakrawala saya semakin meluas, rasa "rindu" kepada tanah Minang tak lagi sekadar
tentang kehendak untuk menziarahi realitas Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk. Semakin banyak saya membaca, semakin saya menyadari
bahwa tanah ini juga merupakan rahim dari tokoh-tokoh bangsa yang saya kagumi.
Menyebutnya satu per satu tak akan habis. Dari Tan Malaka, Muhammad Yamin
hingga Bung Hatta. Dari HAMKA sendiri, AA Navis, hingga Raudhal Tanjung Banua
yang saya gemari cerpen-cerpennya. Pun, masing-masing mewakili bias politik
yang berbeda-beda.
Demokrasi untuk Indonesia, biografi
pemikiran politik Hatta yang ditulis Zulfikri Suleman, menautkan muasal dari tradisi intelektual ini pada nilai-nilai dan pepatah-petitih yang diwariskan masyarakat
Minang sendiri. Suleman menilai, terdapat kecenderungan egaliter dalam dinamika sosial
masyarakat Minang. Orang-orang Minang telah lama membentuk perspektif kesetaraan antara
satu manusia dengan manusia yang lain. Sekalipun di dalam setiap individu ditemukan
“perbedaan
fungsional … tidak menghilangkan kesamaan nilai masing-masingnya, seperti
dijelaskan dalam ungkapan: Nan buto
paambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, nan lumpuah pauni rumah, nan kuek
pambao baban, nan binguang di suruoh-suruoh, nan cadiek lawan barundiang (yang
buta penghembus lesung, yang tuli penembak bedil, yang lumpuh penunggu rumah,
yang kuat pembawa beban, yang bingung disuruh-suruh, yang cerdik untuk lawan
berunding).”
Setiap
manusia dianggap memiliki keunggulan yang memungkinkan mereka berhimpun dalam
masyarakat guna melengkapi kekurangan satu dengan yang lain. Saling
hormat-menghormati, tanpa praduga yang merendahkan kemampuan masing-masing. Situasi
ini, sebagaimana didalilkan Habermas puluhan tahun silam, adalah kondisi ideal
agar diskursus dalam berlangsung dengan kondusif. Dengan terbentuknya ruang
diskursif, pembentukan wacana dapat diselenggarakan dengan memadai. Memudahkan literasi
anggota-anggotanya.
Di dalam alam
sosial Minang, giat literasi itu mewujud secara fisik dalam pranata surau. Sejak muda,
anak-anak Minang didorong untuk mengaji dan mempelajari kitab-kitab klasik.
Beberapa orang yang saya temui nantinya di dalam perjalanan saya mengamini
fungsi penting surau hingga hari ini. Semisal Amzal, sosok pegawai yang menjaga
rumah kelahiran Bung Hatta. Pria paruh baya itu mengaku masih mendorong ketiga
anaknya untuk mengaji di surau, dan diam-diam sibuk memikirkan penyelenggaraan
khataman Quran si sulung. Di Minang, kelulusan dari surau tampak dirayakan sama
meriahnya dengan momen-momen kegembiraan yang lain.
Orang-orang
Minang pun memegang prinsip “baa di
urang, baa di awak”: apabila seseorang mampu, kita pun pastilah bisa
melakukannya. Mereka dididik untuk terus berusaha demi mencapai kemajuan
individu. Kemajuan ini didapat dari proses belajar yang terus menerus, dari
sumber ilmu di seluruh penjuru bumi. Seiring sejalan dengan kredo “alam takambang jadi guru”, alam semesta
sebagai guru seumur hidup.
Tentu saja
sekadar menjadi pejalan dalam hitungan hari tak akan membuat saya tuntas
mempelajari nilai-nilai luhur itu. Namun kesemuanya lebih dari cukup sebagai
alasan untuk berziarah ke Minangkabau minimal sekali seumur hidup. Ziarah kepada gambaran
molek di dalam Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk, hinga kekaguman saya kepada sosok-sosok terbaik yang
mungkin tak dapat dilahirkan untuk kali kedua di Indonesia hari ini.
Ketika
perjalanan di Bengkulu saya tuntaskan, arah kompas saya arahkan ke utara. Ke
alam Minangkabau yang permai. Rencana awalnya, pengeluyuran saya akan dimulai
dari Bukittinggi, terus ke utara menuju danau Maninjau, sebelum mengakhirinya
di Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat.
Bengkulu ke
Bukittinggi dapat diakses secara langsung dengan kendaraan darat. Walaupun terletak bersisian atas bawah di peta Indonesia, perjalanan Bengkulu ke
Sumatera Barat rupanya memakan waktu yang cukup lama. Dalam situasi normal, bus
harus bergesekan dengan panas aspal selama 18 jam. Bus-bus
tersebut memang memilih rute yang sedikit memutar. Mereka akan menuju ke kota Lubuk
Linggau di Sumatera Selatan terlebih dahulu, kemudian Jambi, baru bergerak ke
Timur Laut, memasuki wilayah Sumatera Barat. Pukul 11 lewat sedikit, di bawah
terik matahari Bengkulu yang memanggang, bus berarak meninggalkan kota.
Lepas Curup,
ibukota kabupaten Rejang Lebong, laju bus mulai tampak tersendat. Kemacetan
yang awalnya tampak satu dua, mulai kelihatan mengular dan berkilo-kilo
panjangnya. Walaupun menggelisahkan, waktu tak benar-benar terasa terbuang oleh
pemandangan di kanan-kiri jalan. Bus kami terjebak di tengah sebuah kawasan
dataran tinggi dengan hamparan kebun sayur mayur yang menjangkau kaki-kaki
Bukit Barisan. Ketika bus berjalan, pemandangann berganti dengan kebun-kebun
bunga yang tengah mekar. Saya terkagum-kagum diam-diam, Butuh dua jam hingga
kami tiba di ujung simpul kemacetan, yaitu sebuah kawasan danau buatan yang
tampaknya tengah ramai. Danau elok itu terletak di tepian jalan lintas
Bengkulu-Linggau. Tak terhitung jumlah kendaraan yang berhenti sekenanya untuk menikmati panorama.
Bus kami
akhirnya beristirahat sejenak di Lubuk Linggau untuk makan malam. Sisa perjalanan
yang masih berjam-jam lagi saya habiskan dengan tidur yang tak
benar-benar lelap. Keesokan paginya, saya terbangun oleh alarm HP saya yang lupa dimatikan. Waktu
menunjukkan hampir setengah 6 lewat, lepas waktu subuh di wilayah Sumatera
Barat. Bus singgah sekali lagi di salah satu masjid, sebelum kembali melaju.
Kami telah memasuki wilayah Solok.
Bus kami
lalu berkelok-kelok sedikit, hingga lepas salah satu tikungan, pemandangan bukit
dan perumahan berganti dengan muka air yang meluas. Sepanjang mata memandang
hanya ada air, kemudian air lagi, hingga ke ujung-ujung yang berbatasan dengan
gunung-gunung di sisi seberang. Permukaannya tampak tenang dan tidak beriak,
memantulkan sisa-sisa gelap malam yang hampir berganti. Dari jendela bus, sisa gelap itu tampak membungkus sampan-sampan yang bergerak di atas danau. Bus masih melaju perlahan di
jalan sempit yang masih berkelok, sebelah menyebelah dengan tepi-tepi air. Kadang-kadang, jalan itu beririsan dengan
rel-rel kereta yang telah mati dan ditinggalkan,
Kami telah memasuki
kawasan danau Singkarak. Kami telah memasuki latar yang bisu dari tragedi cinta
Zainuddin dan Hayati.
Mata saya
terpaku pada ketenangan Singkarak di pagi yang dingin itu. Sepanjang 30 menit,
bus berjalan bersisian dengan muka airnya yang luas. Perlahan, sisa-sisa malam
ditelan cahaya malu-malu matahari pagi. Langit beganti dalam layer yang memukau, bersusun-susun
antara biru gelap, jingga yang semburat, dan hijau. Hijau dari gunung-gunung di
sisi Singkarak yang lain. Cahaya pagi yang hangat membuat gunung-gunung mulai
tampak mendetil.
Kadang-kadang,
pemandangan tepian Singkarak diselingi dengan permukiman-permukiman rakyat. Atap-atap
runcing rumah gadang tampak menyembul di sela-sela rumah-rumah yang lebih
modern. Awalnya satu dua, lalu semakin semarak. Sebagian berdiri lapuk, namun
sebagian besar sisanya masih tampak terawat dengan baik. Dinding-dindingnya
dilumuri dengan warna-warna dan ukiran khas Minang. Lepas subuh, jendela-jendelanya
dibiarkan terbuka untuk menyilakan udara sejuk datang bertamu. Saya
membayangkan udara itu berputar-putar sejenak di dalam rumah, sementara
mamak-mamak di dalamnya memandang keluar dengan secangkir teh yang hampir
dingin.
Dari dalam
bus, vista yang saya lihat dalam mimpi-mimpi saya menemui wujud materialnya,
Danau Singkarak, dataran tinggi, rumah-rumah gadang yang elok itu. Agaknya saya
tak dapat menikmatinya dengan cara yang lebih-lebih lagi, kecuali terdiam dan
memaku pandangan saya sedalam-dalamnya ke lanskap memukau itu.
Bus masih
bergerak, belum sepenuhnya meninggalkan Singkarak, ketika ia melalui sebuah
papan penanda wilayah yang segera saya kenali: Batipuh.
Batipuh hari ini telah menjelma menjadi dua kecamatan yang membentang dari tepian Singkarak hingga ke dataran yang lebih tinggi. Pemandangan tanpa terasa telah berganti, antara muka air yang habis, dengan lahan-lahan pertanian warga yang dikerumuni padi-padi siap panen, bersusun-susun di kaki bukit membentuk unit-unit terasering. Dari puncak jalan yang mendaki, danau Singkarak semakin tampak mengerdil, menjauh.
Batipuh hari ini telah menjelma menjadi dua kecamatan yang membentang dari tepian Singkarak hingga ke dataran yang lebih tinggi. Pemandangan tanpa terasa telah berganti, antara muka air yang habis, dengan lahan-lahan pertanian warga yang dikerumuni padi-padi siap panen, bersusun-susun di kaki bukit membentuk unit-unit terasering. Dari puncak jalan yang mendaki, danau Singkarak semakin tampak mengerdil, menjauh.
Apa yang saya
lihat hari ini, dari puncak-puncak tanjakan ini, saya bayangkan sebagai pemandangan yang juga disaksikan
Zainuddin ketika tiba di Batipuh pertama kali. Bedanya, Zainuddin harus menerima
kenyataan pahit yang tak sejalan dengan apa yang dibayangkannya sebagai sebuah
tempat peraduan, kampung halaman yang hilang. Alih-alih menjadi kampung,
Batipuh justru bersikap sudi tak sudi menghadapi sang manusia yang tuna bangsa
itu.
Penelusuran lebih
lanjut kemudian menemukan bahwa Batipuh tidak hanya menjadi latar bagi kesunyian Zainuddin. Sejak lama, wilayah ini telah menjadi saksi bagi
banyak peristiwa penting dan berdarah-darah dalam sejarah Minangkabau.
Batipuh menjadi
salah satu arena pertempuran dalam Perang Padri yang kompleks dan trigunal;
dimulai oleh kaum padri (ulama) dan adat secara berhadapan, sebelum militer
kolonial terlibat dan mengubah peta kekuatan. Kehadiran Belanda, yang awalnya
diharapkan akan membantu kaum adat dalam menghadapi kaum padri, justru menjadi
musuh bersama yang mempersatukan keduanya. Perang Padri pada akhirnya memang berhasil
diredam pada 1833, namun sisa-sisa duka dan kebencian masih tersisa di hati
masyarakat Minang. Apalagi kemenangan itu diikuti dengan perubahan
besar-besaran dalam sistem sosial ekonomi masyarakat.
Pada 1841,
pecah pemberontakan di Batipuh yang notabene merupakan residu dari Perang Padri.
Ada setidaknya dua motif yang melatari perlawanan ini; kehendak Tuan Gadang, regent Tanah Datar, agar diangkat
sebagai raja baru kerajaan Pagaruyung, serta kebijakan tanam paksa yang amat
menyengsarakan rakyat. Sisa-sisa kebijakan itu adalah kebun-kebun kopi yang
tersebar di beberapa sudut wilayah ini.
Lokasi
Batipuh dan daerah sekitarnya memang serba strategis, dijepit oleh hawa dingin
dan tanah subur limpasan gunung Singgalang dan ruah air dari Singkarak. Inilah
anugerah alam dan paradoks Batipuh yang berulang kali digambarkan HAMKA
terpersonifikasi dalam diri Hayati, dalam Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk. Menyulitkan Zainuddin untuk sekadar pindah ke Padang
Panjang dan meninggalkan gadis yang dipujanya.
Mulanya saya membayangkan bahwa jarak
Batipuh-Padang Panjang tentulah memang jauh. Ternyata, kedua wilayah ini
berbatasan satu sama lain. Sebelum saya tersadar dari khayalan saya yang bercampur baur antara alam fiksi dan realitas Batipuh, bus kami telah memasuki
gerbang kota Padang Panjang. Sebagaimana ditulis HAMKA dalam Van Der Wijk, jarak yang menganga antara
Batipuh-Padang Panjang memang semata terbentuk dari budi pekerti dan tabiat Zainuddin sendiri,
alih-alih menggambarkan satuan yang aktual.
Bus kami
singgah di terminal Padang Panjang untuk menurunkan penumpang. Saya semakin
dekat dengan Bukittinggi. Jarak keduanya memang hanya sepelemparan batu. Kurang
dari sejam kemudian, hampir pukul 9, bus kami mulai menemukan kemacetan lagi.
Pemandangan perkebunan berganti dengan jejeran ruko yang solid dan riuh di
tepian jalanan. Saya mulai memasuki kota Bukittinggi. Dengan badannya yang
besar, bus kami meliuk di jalanan yang dipenuhi kendaraan pribadi dan angkutan
dalam kota. Saya segera tersadar bahwa saya sedang berbagi waktu liburan dengan ribuan anak sekolahan. Pada hari yang belum terlalu siang itu, jalanan
Bukittinggi relatif semarak, terutama oleh mobil dengan plat nomor asing.
Sesuai pesan
Om E sehari sebelumnya, saya baru turun ketika bus tiba di pemberhentiann
terakhirnya, Terminal Aur Kuning Bukittinggi. Udara dingin khas pegunungan segera
menyergap saya, di tengah suasana terminal yang riuh oleh kernet bersahut-sahutan.
Beberapa tukang ojek juga berusaha menawarkan jasanya kepada saya, namun saya
tolak dengan halus. Di terminal yang sama berjejer beragam jenis kendaraan umum
lain dengan tujuan yang berbeda-beda pula, dipanaskan, bersiap membawa
penumpang ke sisi-sisi lain ranah Minang. Kernet-kernet itu beradu dengan
kerongkongannya masing-masing.
Saya minum
air banyak-banyak, mengisi dahaga yang saya tahan-tahan untuk mencegah buang
air kecil berlebihan di dalam perjalanan, sebelum memulai petualangan di Bukittinggi. (*)
Sekelumit tentang Perjalanan
Bengkulu-Bukittinggi:
Kota Bukittingi dapat dijangkau dari
Bengkulu dengan perjalanan darat. Saya memilih menggunakan bus SAN dengan biaya Rp200.000. Tiket bus harus
dipesan sehari sebelumnya demi mendapatkan nomor kursi yang nyaman serta
menghindari kehabisan tiket. Tidak perlu khawatir jika harus buang air kecil di
tengah jalan, karena armada SAN umumnya dilengkapi dengan toilet. Beberapa
titik layak simak yang dilalui dalam perjalanan ini adalah Danau Dendam Tak Sudah, Liku 9, Dataran Tinggi Curup, dan Danau
Singkarak. Bus akan berhenti dua kali untuk istirahat dan makan. Makanan
berat per porsi rata-rata dihargai Rp25.000, dengan pilihan lauk beragam.
Selain itu,
penerbangan Jakarta-Padang tersedia setiap hari. Di bandara umumnya tersedia
jasa travel yang melayani perjalanan menuju Bukittinggi.
Tetiba terbayang Vino G Bastian dan Pevita Pearce, hehe!
BalasHapusSaya suka dg detailnya tulisan ini.
Dulu sempat sekali ke Sumbar, tujuan utama kami waktu itu ke Mentawai. Tp pulangnya kami sempetin keliling Sumbar meski hanya sebentar. Masih terngiang indahnya lansekap sepanjang perjalanan melintasi Solok, Sawahlunto, Payakumbuh hingga Bukittinggi.
Halo mba Lena, salam kenal. Terima kasih sudah mampir ke blog saya.
HapusPemandangan ranah Minang emang memukau, bahkan dengan tanpa meninggalkan kendaraan. Ngeliat dari jendela mobil aja udah bikin berbinar-binar, ahaha. Semoga kita semua bisa berkunjung kembali ke sana suatu saat nanti.
alam bukittinggi memang indah sekali
BalasHapusCouldn't agree more!
HapusPas smu dulu, aku slalu nunggu2 pelajaran sastra krn kita dpt tugas membaca banyak karangan sastra lama termasuk buku hamka ini.. Walopun aku sama kayak kamu mas, membacanya hrs pelan2 , per paragraf supaya mudeng dan nyambung. Tp tetep, bacaan sastra seperti Hamka, marah rusli, nh dini begini, selalu sukaaa banget :)
BalasHapusSepaham, mba. Pengetahuan saya soal karya-karya sastra klasik nan indah juga saya dapatkan dari pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Dan sebagian besar perjalanan saya memang terinspirasi dari buku-buku yang saya baca, termasuk kali ini. Beruntunglah kita punya khazanah susastra yang luar biasa kaya.
Hapus