Saya
mengecek ponsel pintar saya sebelum turun dari bus Bengkulu-Bukittinggi. Jam saya
menunjukkan pukul 9 lebih sedikit. Sisa-sisa penumpang di dalam bus turun
perlahan-lahan, memastikan diri tidak terjerembab ke aspal keras terminal.
Sesekali kernet bus membantu orang-orang yang lebih tua dan renta, sebelum
dimintai tolong mengambil barang di bagasi. Kerumunan telah berpindah dari
lorong ke lambung kanan bus, memastikan barang bawaan mereka lengkap dan
baik-baik saja.
Saya sendiri
tak membawa bagasi. Bekal saya hanya satu tas ransel kuliah. Yang saya lakukan
pertama kali ketika menjejak tanah adalah minum air sebanyak-banyaknya. Di hari-hari
biasa, saya bisa menghabiskan air seliter dua dalam sehari. Dalam perjalanan 18
jam Bengkulu-Bukittinggi, kebiasaan itu terpaksa saya tinggalkan sejenak untuk
memastikan agar tidak berkali-kali harus buang air kecil. Walaupun di dalam bus
tersedia toilet, namun bolak-balik ke sana jelas merepotkan. Toilet itu
terletak di pojok belakang badan bus, sementara saya kebagian kursi hanya dua
baris di belakang pengemudi.
Setelah segala
urusan dahaga dituntaskan, saya mulai merenggang-renggangkan badan yang terasa
patah-patah. Rasanya, saya belum pernah duduk berkendara selama ini. Waktu
tempuh kereta Matarmaja Malang-Jakarta pun sama panjangnya. Namun kereta api
masih memungkinkan kita berjalan-jalan sesekali. Sementara di bus, kita
dituntut untuk diam semata-mata.
Diam-diam,
saya mulai membayangkan kasur yang empuk.
Saya
bergegas membuka aplikasi penyedia jasa travel, dan mulai mencari-cari hotel. Sejak semula, perjalanan ini saya rancang
tanpa itenerary yang kaku. Semuanya
saya biarkan dilakukan dengan spontan berdasarkan pikiran sepintas lalu.
Tujuan-tujuan dan akomodasinya direncanakan dan dieksekusi dalam waktu yang
bersamaan. Pada mulanya, model seperti ini tampak menawarkan keseruan-keseruan
yang tak terduga. Apalagi perkembangan pesat teknologi digital hari ini semakin
memudahkan perjalanan-perjalanan. Namun ada sisi-sisi pahit yang muncul
kemudian, dana akan saya ceritakan pada bagian yang lain.
Aplikasi
saya segera menunjukkan hotel murah bernama NZSW yang hanya berjarak beberapa
ratus meter dari terminal Aur Kuning. NZSW menyewakan ruangan berkasur tunggal,
dengan kamar mandi berair panas dan kipas angin. Peranti yang disebut belakang
rasanya tidak benar-benar diperlukan, mengingat dingin telah menyergap saya
sejak menjejakkan kaki di kota ini. Hawa dingin mejadi identik dengan
Bukittinggi karena letaknya yang menyempil di dataran tinggi Minangkabau,
diapit gunung Singgalang dan Marapi, 909-941 meter di atas pemukaan laut. Tanpa
ragu, saya mengambil tawaran NZSW itu.
Saya sempat
mengalami disorientasi ketika mencoba menentukan arah mata angin dan nama jalan
yang menjadi alamat NZSW dari titik mula saya. Saya hampir berbelok ke arah yang
salah, sebelum seorang bapak yang tengah mengaso memperbaiki kekeliruan saya.
Pencarian lokasi selebihnya saya
serahkan kepada asistensi Google Maps.
Tak kurang
dari 10 menit, saya telah tiba di depan hotel itu. Dari luar, tidak ada
identitas apapun yang menandai eksistensi NZSW. Papan namanya baru terpampang
besar-besar di belakang meja resepsionis, segera setelah kita memasuki lobby hotel: NZSW, dengan tambahan anak
nama “Khusus Sales”. Belakangan saya ketahui bahwa anak nama itu berarti
harfiah. Hotel ini, termasuk sejumlah fasilitas pendukungnya, mulanya hanya
disediakan khusus pedagang keliling yang tengah singgah di Bukittinggi. Termasuk
motor rental yang tidak disewakan untuk tamu umum. Entah apa alasannya.
Yang juga
cukup mengecewakan, hotel ini rupanya tidak membolehkan tamu untuk check in sebelum waktu yang ditentukan, yaitu
pukul 14.00. Artinya, saya masih harus menunggu beberapa jam lagi untuk merebahkan
diri. Beruntung, mereka masih berbaik
hati untuk meminjamkan toilet, sehingga saya bisa menunaikan hajat. Di lobby juga tersedia sejumlah port
listrik yang bersebelahan dengan bangku-bangku jati. Saya memanfaatkannya untuk
mengisi ulang baterai gawai-gawai yang hampir habis, sebelum memutuskan untuk
langsung mengelilingi Bukittinggi terlebih dahulu.
Bukittinggi
merupakan salah satu kota modern tertua di bumi Andalas. Sejarah keramaiannya
telah dimulai sejak periode yang amat lampau, ketika orang-orang Minang yang
permulaan menjadikannya pusat perdagangan. Lokasinya sangat strategis, terletak
pada irisan-irisan Luhak Nan Tigo: Tanah
Datar, Agam dan Lima Puluh (Lima Puluah). Luhak
nan Tigo sendiri menandai ruang-ruang hidup tertua dalam sejarah masyarakat
Minang. Dari ketiganya, peradaban Minang dimulai dan menyebarluas ke wilayah
yang lebih rendah. Saya mebayangkan, Bukittinggi pada masa itu menjadi wadah
silaturahim antara saudara sesuku yang terpisah jarak.
Pecahnya
perang Padri pada 1803 secara langsung semakin menguatkan fungsi Bukittinggi
sebagai kota modern. Konstelasi perang yang dimulai oleh kaum padri (ulama) dan
kaum adat itu segera berubah ketika Belanda mulai dilibatkan. Awalnya diundang
untuk membantu kaum adat melawan kaum padri, Belanda justru menjelma menjadi
musuh bersama. Seiring dengan persatuan masyarakat Minang di bawah panji
bersama, Belanda mulai memindahkan pusat militernya ke tempat baru, yang
menjadi kota Bukittinggi pada hari ini. Sebagian besar peninggalan dari era itu
kini tersebar di penjuru kota, dan menjadi pusat-pusat perhatian pariwisata.
Saya mengarah
ke tengaran (landmark) Bukittinggi
yang paling terkenal: Jam Gadang. Resepsionis NZSW mengarahkan saya untuk
menaiki angkot merah. Ia tak lupa mengingatkan bahwa salah satu provider ojek
daring telah tersedia jasanya di kota ini. Saya memilih naik angkot.
Mulanya saya
mengira bahwa Jam Gadang akan tampak begitu saja dari dalam angkot, sehingga
saya akan segera tau harus turun di mana. Bangunan ini harusnya tampak mencolok
dengan ketinggiannya. Namun bermenit-menit kemudian saya mulai meragukan
keyakinan saya sendiri. Pada salah satu pusat keramaian, secara instingtif saya
memutuskan bertanya ke salah satu penumpang. “Di mana harus turun kalau mau ke
Jam Gadang, uni?” Ia menjawab bahwa saya harusnya turun di sini, sekarang juga,
sembari meminta angkot menepi. Saya berterima kasih kepadanya, dan memberikan
selembar lima ribuan kepada pengemudi angkot. Si pengemudi menyerahkan selembar
dua ribu sebagai kembalian.
Pusat
keramaian ini dikenal sebagai Pasar Ateh atau Pasar Atas. Di tengah-tengahnya,
pada sebuah plaza yang cukup luas, berdiri Jam Gadang yang mahsyur itu.
Dibanding
Pasar Ateh, usia Jam Gadang sesungguhnya relatif lebih muda. Pasar Ateh telah
didirikan sejak 1858 oleh administrasi kolonial, seiring dengan pertumbuhan
Bukittinggi pasca perang Padri. Adapun pembangunan Jam Gadang diselesaikan pada
tahun 1926, sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, kontrolir
Bukittinggi pada masanya. Menariknya,
menara ini dibangun tanpa adukan semen sama sekali. Strukturnya tersusun atas
campuran pasir, batu, kapur dan putih telur. Mesin jamnya dipesan dari sebuah
pabrik di Jerman.
Perubahan
rezim yang terjadi di nusa antara sepanjang abad 20 turut berimbas pada rona-rona
wajah Jam Gadang, terutama pada ornament yang melingkupi pucuknya. Pada
mulanya, Jam Gadang mengenakan “topi” runcing dengan patung ayam jantan di
puncaknya. Ketika Jepang masuk dan
menggantikan administrasi Hindia Belanda pada 1942, ornamen itu segera berganti
dengan bentuk atap yang khas, terinspirasi dari kuil-kuil Shinto di Jepang.
Barulah setalah Indonesia merdeka, pemerintah meletakkan atap bergonjong di
puncaknya, meniru bentuk rumah adat Minangkabau.
Pada siang
yang mulai menerik itu, plaza di seputaran Jam Gadang sedang ramai-ramainya.
Ribuan manusia menyemut dalam sekali waktu. Namun suasana yang riuh tak
melunturkan kharisma sang menara. Jam Gadang yang seputih pualam berdiri tegak,
berpendar-pendar kontras memantulkan cahaya matahari.
Puas
mengambil gambar, saya kemudian bergeser ke bagian dalam pasar, mengamati
aktivitas jual beli yang berlangsung riuh. Sebagian besar pedagang di dalam
memilih berjualan tanda mata khas Bukittinggi dalam beragam bentuk. Dari pernik
dan aksesoris-aksesoris mini, tees dengan
ungkapan-ungkapan jenaka dalam bahasa Minang, hingga miniatur Jam Gadang dalam
beragam ukuran. Selain oleh-oleh, para pedagang yang lain juga menawarkan
berbagai produk garmen untuk dikenakan di rumah. Mereka adalah pengungsi dari
bagian Pasar Ateh yang terbakar setahun silam dan hingga kini belum direnovasi
kembali. Beberapa pelancong tampak berhenti sejenak untuk melihat-lihat dan
terlibat tawar menawar.
Alih-alih
berbelanja, saya sendiri lebih tertarik untuk mencari makan siang. Salah satu
segmen kawasan pasar Ateh memang dikenal sebagai pusat kulinari nasi kapau
terbaik di Bukittinggi. Ketika saya menemukannya, puluhan lapak nasi kapau tampak
berdiri berderet-deret, menguarkan bau ke udara yang langsung memancing
produksi saliva. Saya memilih salah satu yang sudah sangat terkenal
kelezatannya. Di papan namanya, tertulis nama “Nasi Kapau Uni Lis”. Mata saya
setengah berbinar demi mengamati jejeran baskom-baskom berisi masakan kaya
bumbu di dalamnya. Saya masuk dan memesan satu porsi dendeng lado ijo. Kesan tentangnya agaknya harus saya ceritakan di
segmen berbeda, bersama ragam kulinari lain yang saya coba di bumi Minang.
Ketika
urusan dengan logistik telah selesai, saya kembali mengayunkan langkah ke
destinasi lain. Kali ini saya menuju ke Fort de Kock, di belahan kota yang
lain. Kota Bukittinggi yang kecil memungkinkan perpindahan antara dua tujuan dijangkau
dengan berjalan kaki. Tantangan terbesarnya adalah lanskap kota yang
berbukit-bukit. Kadang saya dipaksa mendaki, sebelum menuruni jalan kembali.
Benteng Fort
de Kock sendiri memiliki sejarah yang berkelindan erat dengan Bukittinggi
tempatnya berdiri. Benteng ini didirikan di tengah periode perang Padri pada
tahun 1825, atas inisiatif Kapten Bouer. Nama de Kock diambil dari nama
belakang Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa itu, Hendrik Merkus
de Kock. Keberadaannya menjadi monument bagi perluasan kekuasaan kolonial, yang
memanfaatkan retakan-retakan oleh perang saudara di bumi Minang. Belakangan,
nama, Fort de Kock justru diabadikan sebagai nama resmi dari Bukittinggi. Fakta
ini seolah menggambarkan bahwa bukan Fort de Kock yang sejatinya menjadi basis pertahanan
terkuat bagi bangsa Belanda, melainkan topografi Bukittinggi yang
berlereng-lereng dan berbukit-bukit. Bukittinggi pun terlindungi oleh parit
maha raksasa yang tak dapat dibangun oleh kekuatan manusia manapun. Pagar itu adalah
ngarai Sianok, membentang sepanjang 15 kilometer di timur kota.
Dugaan ini
tampak relevan apabila kita menengok struktur fisik Fort de Kock. Ia adalah
sebuah bangunan persegi dengan tinggi sekitar 6 meter dari permukaan tanah. Puncak-puncaknya
memberikan gambaran leluasa ke penjuru kota. Walaupun berat badan bertambah, saya
berhasil naik ke sisi ini. Ia tampak berbeda apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk
benteng yang pernah saya temui di sisi lain Nusantara. Tidak ada dinding tebal
dari batu cadas atau bata yang berkeliling. Tidak ada bastion-bastion dengan moncong
meriam tembaga mengarah ke luar. Fort de Kock lebih tampak sebagai menara jaga
ke segala ada. Anehnya dengan struktur yang tampak ringkih itu, tiada satupun
yang berhasil mengganggu gugat keberadaannya, setidaknya hingga Belanda
menyerah ke tangan Jepang pada 1942.
Saya tak
berlama-lama di atas Fort de Kock. Di kawasan yang sama juga terdapat suaka
marga satwa mini serta taman budaya Minang. Uniknya, kedua sisi ini terletak
berseberangan, terbagi dua oleh jurang yang di dasarnya terdapat jalan raya.
Satu-satunya akses yang menghubungkan sisi-sisi ini adalah jembatan Limapeh.
Dari tengah jembatan, kita dapat mengamati puncak Jam Gadang.
Ketika matahari semakin membakar, saya berjalan
kaki sekali lagi untuk mencapai tujuan saya yang lain. Menziarahi masa kecil
dia yang namanya hanya saya kenal dari buku-buku sejarah, dari masa lalu bangsa
ini. Saya berlalu menuju Rumah Masa Kecil Bung Hatta. Sayangnya ketika saya
tiba di sana, pagar rumah tampak terbelit rantai dengan gembok besar
menggantung di sela-selanya. Tidak ada aktivitas yang tampak di dalam. Seorang
pemilik warung disebelahnya segera member tahu bahwa sang penjaga sedang
beristirahat siang. “Kembalilah sekitar jam 2 nanti.”
Saya
menengok ponsel pintar saya. Jam digital di antar mukanya menunjukkan waktu yang
belum jauh meninggalkan tengah hari. Ke mana saya harus menunggu? Saya iseng
membuka browser HP saya, dan mencari kedai kopi menyenangkan di sekitaran Bukittiinggi.
Di antara beberapa rekomendasi, saya memilih Taruko. Ia tampak menggoda dan tak
biasa karena terletak di dasar ngarai Sianok. Saya beralih ke aplikasi ojek
daring, menunggu beberapa detik, sebelum muncul notifikasi bahwa order saya
diterima. Di layar tercantum nama Zulfadli. Sang empunya nama segera merapat
sekejap kemudian, dan bersiap mengantar saya ke Taruko di dasar Sianok. Belakangan,
dari Zulfadli saya mendapat cerita-cerita sederhana namun menarik dari ngarai
yang spektakuler itu. (*)
Sekelumit tentang Pusat Kota Bukittinggi:
Selain
menjadi tengaran, Jam Gadang juga
berfungsi sebagai titik nol kilometer dan penanda pusat kota Bukitinggi. Tidak
ada biaya yang dipungut untuk memasuki kawasan ini. Dari Jam Gadang, berbagai
destinasi wisata lain relatif dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Semisal Fort de Kock yang hanya berjarak lima
menit. Untuk memasuki kawasan Fort de Kock yang merangkap Taman Margasatwa Kinantan, pengunjung harus membeli tiket seharga Rp15.000.
Pengunjung akan kembali dipungut tiket seharga Rp10.000 apabila hendak memasuki
Rumah Adat Baanjuang.
Saya memilih hotel NZSW untuk menginap di Bukittinggi. Apabila memesan melalui biro
perjalanan daring, tarif menginap berkisar Rp150.000. Harga tersebut mencakup
fasilitas yang relatif lengkap, yaitu kasur tunggal, kamar mandi dengan air
panas, kipas angin, WiFi, televisi, dan air isi ulang bersama. Selain NZSW,
tersebar juga beragam penginapan lain dengan harga bervariasi.
Yg aku paling suka dr bukitinggi sbnrnya makanannya :p. Perasaan ga ada kuliner yg ga enak di sana. Semuanya enak2, dan bikin kolesterol naik sih hahahaha.. Wisatanya jg bagus2 ya mas. Air terjun lembah anai tuh yg ak sukaaa banget
BalasHapusDari dulu saya emang selalu penasaran gimana rasanya masakan Padang kalau disantap di daerah asalnya. Ternyata emang luar biasa menggoyang lidah. Rasanya kalau harus menumpuk kolesterol karenanya bukan masalah buat saya, ahaha. Berkunjung ke Minang emang suplemen terbaik buat semua indra.
HapusAnyway, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya, Mba :)
Agen BOLAVITA ingin mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa bagi yang menjalankan �� .
BalasHapusDalam bulan ini kami menyediakan BONUS yang cukup menarik untuk Anda baik member baru maupun member setia BOLAVITA.
�� Bonus Welcome Back Rp 200.000
�� Bonus 10% untuk new member (SPORTSBOOK & SABUNG AYAM)
�� Bonus 5% Deposit Harian (SPORTSBOOK & SABUNG AYAM)
�� Bonus Deposit Harian 10% untuk permainan BOLA TANGKAS
�� Bonus Referral 7% + 2%
�� Bonus Rollingan 0.5% + 0.7%
�� Diskon Togel KLIK4D & ISIN4D up to 66%
�� Bonus Cashback 5% - 10%
�� Bonus Cashback Bola Tangkas 10%
�� Bonus Flash Deposit Setiap Jumat 10%
�� Bonus Extra BIG MATCH 20%
Dengan minimal Deposit hanya Rp 50.000 sudah dapat memainkan permainan yang kami sediakan. .
Daftar sekarang juga di www.bolavita.ltd.
Untuk info selanjutnya, bisa hubungi kami VIA:
BBM : BOLAVITA / D8C363CA
Whatsapp : +62812-2222-995
Livechat 24 Jam