Sumber: The Jakarta Post |
Sebuah sistem politik dapat dikatakan mampu menghasilkan representasi politik yang memadai apabila ia dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan preferensi politik pemilih secara maksimal. Sistem one-man-one-vote seharusnya dirancang berdasarkan pakem itu, sehingga perbedaan-perbedaan karakteristik individual dapat tercermin secara layak di dalam hasil-hasil pemilu.
Namun di level nasional di negara sebesar Indonesia, demokrasi yang ideal itu sulit, jika tidak mustahil, untuk diwujudkan. Atas alasan ini, negara perlu membentuk aturan main pemilu yang setidaknya dapat mendekati ideal-ideal tersebut.
Sayangnya, pengaturan yang dianut negara menganut kriteria yang terlalu ketat. Sebagai contoh, presidential threshold pada pemilu Presiden tahun ini ditetapkan sangat tinggi, sehingga partai-partai mau tidak mau harus berkoalisi agar dapat mengajukan calonnya. Akibatnya, pilihan bagi pemilih menjadi terbatas, di mana kita menghadapi dua kandidat Presiden yang notabene pernah bertarung pada pemilu 2014. Sekalipun menjadi ajang re-match, namu terdapat sejumlah perbedaan kecil yang menjadikan pemilu ini berbeda.
Sebagai petahana, Jokowi hari ini dapat dinilai dari banyak indikator keberhasilan atau kegagalan, tergantung penilaian seseorang. Sementara di sisi lain, Prabowo memiliki beban masa lalu dan platform partai-partai pendukungnya juga meragukan. Alhasil, gerakan golput kembali popular.
Masalah ketidakmemadaian representasi politik juga mengancam pemilu DPR, yang dapat berujung pada DPR yang ilegitim. Dengan tingginya parliamentary threshold, akan lebih banyak partai yang tersingkir dari DPR. Survei Kompas mengungkapkan bahwa hanya akan ada 5-6 partai yang dapat menembus 4 persen parliamentary threshold. Artinya, terdapat jutaan suara dari 10 hingga 11 partai yang tidak akan dihitung.
Hal ini tampak sebagai fenomena yang wajar, di mana pemilu legislatif sejak semula dirancang agar memperkuat sistem presidensial. Dengan semakin sedikitnya jumlah partai yang menembus DPR, maka semakin sedikit pula kepentingan yang perlu diakomodasi, yang sejatinya tidak ideal bagi negara semajemuk Indonesia.
Untungnya, ketidakmemadaian representasi politik ini tampaknya hanya akan timbul di level nasional. Pemilu di tingkat DPRD dirancang agar lebih sederhana, di mana suara yang diperoleh semua partai politik peserta pemilu akan dihitung dalam pembagian kursi.
Model sederhana ini diharapkan dapat mengakomodasi keragaman karakter dari masing-amsing daerah. Selain itu, pemilu di tingkat DPRD juga menjadi sangat bergantung pada kapasitas individual dari masing-masing kandidat. Kandidat yang bermutu menjadi tidak bergantung pada partainya untuk mendulang suara. Dengan demikian, pemilu DPRD berpotensi menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Dengan mendekatnya akses kepada lembaga politik, maka kebutuhan akan kesejateraan rakyat semakin mudah didengar.
Hal ini semakin didukung oleh mandat konstitusi atas Indonesia sebagai "negara kesatuan dengan otonomi luas," sehingga wewenang pemerintahan semakin besar di jenjang terbawah, kecuali untuk urusan pertahanan dan keamanan nasional, moneter dan fiskal, agama, peradilan, dan investasi asing.
Hal ini semakin didukung oleh mandat konstitusi atas Indonesia sebagai "negara kesatuan dengan otonomi luas," sehingga wewenang pemerintahan semakin besar di jenjang terbawah, kecuali untuk urusan pertahanan dan keamanan nasional, moneter dan fiskal, agama, peradilan, dan investasi asing.
Dengan demikian, selain menghabiskan seluruh fokus pada kontestasi nasional yang kerap tak terjangkau, gerakan masyarakat sipil sudah seharusnya menaruh perhatian yang lebih besar kepada pemilu DPRD. Sangat penting bagi kita untuk menanam modal di dalamnya dan mengalokasikan sumber daya kepada kandidat dengan rekam jejak yang baik. Imbal baliknya, kesempatan untuk mengintervensi proses teknis dan pembentukan kebijakan di level daerah semakin dimungkinkan.
Strategi ini telah diujicoba oleh beberapa organisasi masyarakat sipil. Sebagai contoh, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengirimkan 157 orang kandidat di berbagai jenjang pemilu 2019. 109 orang diantaranya berjuang di tingkat kabupaten/kota dan 25 orang berjuang di tingkat provinsi. Dengan demikian, kepentingan masyarakat adat, sebagai subyek pergerakan AMAN, dapat mengambil bagian dalam diskursus kebijakan dan peraturan daerah, khususnya berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat.
Hasilnya barangkali belum tampak, namun kolaborasi di level daerah seperti ini tetaplah merupakan sebuah langkah maju bagi kepentingan masyarakat. Anggota yang bermutu di DPRD akan menjadi perangkat penting bagi politik anggaran lokal yang sensitif pada kebutuhan dasar rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan. Lembaga-lembaga politik di daerah seperti ini jauh lebih terjangkau dibanding pemerintah pusat dan lembaga legislatif pusat, sehingga menghabiskan seluruh energi pada pertarungan terhadapnya merupakan sebuah kesia-siaan. (*)
Diverting Focus on Local Legislative Election
A political system can be said to generate sufficient political representation if it can accommodate different political preferences of the constituents to the maximum. The one man one vote supposedly enables differences between individual characteristics to be properly reflected.
But at the national level, in a country as vast as Indonesia, those ideals of democracy are difficult, if not impossible, to realize. For this reason, the state needs an electoral law that at least can bring about results that represent intersections of as many preferences as possible.
However, requirements for representations sometimes go too far. For example, the presidential threshold is set so high that political parties have to coalesce to propose candidates. As a result, the choices for the people are limited, that we face just two presidential candidates, both in 2014 the upcoming April general elections.
The presidential election will just be a rematch between the two candidates. But there are many significant differences between the two after five years have passed.
Today Joko “Jokowi” Widodo, as the incumbent, can be judged by many indicators of his sectoral program success or failure, depending on one’s judgment
On the other hand, his challenger, Prabowo Subianto, has a checkered past and his supporting parties’ platform raises doubts. Abstention, or golput, has become a popular movement, again.
The problem of insufficient political representation also risks the legislative election producing an illegitimate legislature. With the higher parliamentary threshold, more parties may be kicked out of the House of Representatives. A survey by Kompas revealed that only 5 or 6 of 16 political parties contesting the April election would beat the 4 percent threshold. That means millions of votes for 10 to 11 eliminated parties will not be taken into account.
The legislative elections were actually designed to strengthen the presidential system. With fewer parties making it to the House, there are fewer interests that need to be accommodated in the policy-making and law-making process, which is by no means ideal for our highly diverse nation-state.
Fortunately, insufficient representation seems to only occur at the national level. Elections for regional legislature members were designed to be less complicated than the election for House members, providing all political parties contesting the election have access to the seat distribution mechanism after the vote count.
This simple model is expected to be able to accommodate the distinctive interests of the people in each region. The election of provincial and regency/municipal councils also takes into account the individual capacity of candidates. A more capable candidate does not depend on the success of his or her party in gaining votes. Thus local legislative elections have the potential to produce more benefits for the people, since the representatives and voters have the closest access to each other, in efforts to fulfill people's welfare.
Indonesia as "a unitary state with wide regional autonomy" contains the constitutional mandate allowing considerable autonomy to regions except for national defense and security, national monetary and fiscal issues, religion, the national judiciary, and foreign investment.
Thus instead of spending all focus on national election contestations that are often unreachable, civil society movements also need to make local legislative elections a concern. It is important for us to invest in it. We should be able to allocate resources to candidates who have a good track record and help finance their political costs. Thus, the opportunity to intervene in the technical and local policy-making process is more likely to happen.
This strategy has been tried by various civil movement organizations. For example, the Indigenous Peoples Alliance of the Archipelago (AMAN) helped to send 157 legislative candidates in the 2019 election, where 109 people are contesting the regional and municipal level while 25 others are fighting at the provincial level. Thus, the interests of indigenous peoples, the subject of AMAN's movement, can take part in the law-making discourse at the regional level, especially related to the recognition of indigenous people’s rights which require relevant regional regulations.
The results may not yet be seen, but collaboration at the regional level like this is a step forward to realizing local people’s interests. Good candidates for local legislatures would be a huge boost to the politics of regional budgets, especially in the fulfillment of basic rights of the community such as education and health. These things are often inaccessible by the national government and national legislature, so spending all the focus only on national representatives is ineffective for voters and people’s movements. (*)
P.S.: The original version of this article published in the online edition of The Jakarta Post, 4/3/2019 [Link]