Fiat Lux

Selasa, 19 Juli 2016

Bumi yang Datar

05.10 Posted by Arasy Aziz No comments
Saya berusaha membayangkan sebuah Bumi yang pipih, datar seperti sekeping cakram piringan hitam. Atau pancake hangat dengan sirup gulali di atasnya. Lalu turut memercayai bahwa gravitasi adalah bualan yang dibikin-bikin negara adikuasa. “Segala sesuatu dapat bertahan di permukaan Bumi,” ujar salah satu sumber  “semata-mata karena bekerja dibawah hukum archimedes.” Dengan kata lain, yang memungkinkan kita berjalan, berlari dan berak sesekali  tanpa khawatir air besar melayang-layang di udara adalah perbedaan massa jenis. Manusia dikatakan memiliki rasio massa per volume di tingkat menengah, alias lebih “ringan” dari Bumi namun lebih “berat” daripada udara. Begitupun buah yang jatuh dari tanaman-tanaman, dedaunan, kijang dan kendara.

Namun, imajinasi terliar saya bahkan tak mampu membangun sebuah gambaran yang benar-benar layak dan masuk akal.

The Blue Marble (Sumber: 2013.spaceappschallenge.org)
Pemandangan yang terbit pada mulanya adalah sebuah hamparan lautan yang diatasnya mengapung benua-benua dan pulau-pulau yang kita kenali. Dari Asia hingga kepulauan Kei di Maluku. Lautan biru yang menyelimuti kedataran Bumi secara menyeluruh. Tapi ada apa di ujung lautan itu dan menjaganya agar tak meluber? Kelompok pengikut teori flat earth menyebut bongkahan-bongkahan es. Sebagaimana yang dapat kita ketemukan di kutub, dalam wujud barikade yang berkeliling. Serupa pagar halaman.

Namun, apa yang menahan bongkah itu tetap pada tempatnya? Tak ada yang benar-benar tahu, kecuali sejak dari sananya ia dirancang sebagai pengaman.

Lebih sensasional lagi, tak hanya bulan, melainkan matahari pun ikut berevolusi mengelilingi piringan biru ini dalam teori Bumi yang datar. Matahari disebut tergantung di langit setinggi beberapa puluh ribu mil. Kala hari berganti, ia hanya bersembunyi di sisi lain piringan Bumi.
Anehnya, setiap kali matahari berada dalam posisi terdekat dengan “pagar” Bumi, tak ada kabar bahwa es di tepian Bumi tadi mencair. Barangkali yang satu ini ditutupi dengan lihai oleh media-media agar masyarakat tetap bodoh. Lelaku mengisolasi ilmu pengetahuan baru, toh, pernah menjadi bagian dari sejarah.

Menariknya, martir di dalam peristiwa-peristiwa tersebut justru merupakan pioneer bagi paham kebulatan Bumi dan heliosentrisme. Berulang kita mendengar epos kepahlawanan Copernicus, kemudian Galileo Gallilei, yang mempertahankan kepercayaan ini dihadapan gereja. Atau bagaimana Christopher Colombus ditertawakan karena memilih menuju India dengan berlayar ke barat. Semata-mata karena percaya bahwa Bumi yang ia tinggali berbentuk bulat.

Belakangan popularitas keyakinan ketiganya, alih-alih melemah, justru semakin kukuh seiring dengan geliat eksplorasi umat manusia. Diajarkan secara formal di dalam kurikulum. Dari gambaran guru-guru kita mengenai kapal laut yang terlihat tiangnya lebih dahulu ketika mendekati pelabuhan, hingga teknologi yang relatif lebih mahal; memotret rupa Bumi dari luar angkasa. Pada masa Alfonso de Alburqueque satu-satunya rute yang dapat digunakan untuk mencapai India adalah memutari Tanjung Harapan. Kini, terusan Panama dibangun bagi kapal-kapal yang hendak menyeberangi Amerika untuk menuju Asia, maupun sebaliknya.

Meskipun tak pernah benar-benar terkubur, namun keyakinan akan Bumi yang datar pada kenyataannya tetap hidup dan kembali mengemuka dalam ruang diskusi akhir-akhir ini. Lewat berbagai platform, sejumlah orang menyebarluaskan video-video besutan kelompok Flat Earth Society. Dari namanya, kita bisa menebak dimana ketertarikan komunitas ini tertambat.

Sebagian besar argumen dan bukti sahih mengenai Bumi yang bulat ditolak mentah-mentah oleh kolektif ini. Potret tahunan blue marble rilisan ISS disebut sebagai reproduksi CGI. Pun demikian matahari yang jauh. Adapun visualisasi kapal yang mendekati pelabuhan dengan layar yang lebih dulu tampak, semata-mata dikarenakan keterbatasan visi manusia.

Kelompok Flat Earth pada umumya mengacu pada informasi dan kebijaksanaan masa lalu, monograf-monograf  dari peradaban bertitimingsa mula-mula. Nubuat dari berbagai kitab suci disinggung. Pada akhirnya, Bumi yang bulat tak lain merupakan konspirasi negara adidaya untuk menguasai dunia, setara upaya terselubung Illuminati dan Yahudi. Seiring dengan pertumbuhan pendapat yang mengamini ini, bantahan-bantahan yang keras pun mengemuka.

Namun, perdebatan perihal bentuk Bumi, atau hukum-hukum yang mengiringinya, bagi saya mubazir dan tidak berujung kemana-mana. Selain telah usang dalam rentang berabad-abad, kebenaran atasnya sesungguhnya tak tepat dinilai lewat proses diskursus. Diskursus itu sendiri dirancang untuk mewadahi kebhinnekaan pemahaman. Yang bertarung di dalamnya adalah perbedaan gagasan hingga menemukan konsensus, apa-apa yang disepakati oleh manusia. Diskursus berusaha menemukan kebenaran yang bersifat intersubyektif, menemukan titik temu antara kesadaran manusia yang beragam. Kebenaran adalah apa yang disepakati itu sendiri.

Masalahnya, kebenaran apakah Bumi itu datar atau bulat seperti bola tidaklah ditentukan oleh kesepakatan manusia. Ia merupakan kriteria fisik, dan harus dibuktikan dengan eksplorasi alih-aih sibuk berargumen.

Sains sebagai pengetahuan empirik bermain di ranah ini. Nilai kebenaran darinya tidak dicari dimanapun, melainkan konstitutif pada pengindraan manusia terhadap alam sekitarnya. Yang berusaha dieksplorasi adalah obyektifitas dari kenampakan-kenampakan. Kategori benda pada dirinya sendiri. Ia haruslah didasarkan pada sesuatu yang dapat dihitung. Sebuah informasi saintifik dapat masuk ke ruang diskursus dalam situasi yang amat terbatas.

Jika kita ingat, semisal, terdapat 9 planet yang menghuni tata surya kita, kesemuanya mengorbit matahari. Pluto sebagai yang termuda dalam daftar tersebut ditambahkan pada tahun 1931 seiring dengan penemuan oleh Clyde Tombaugh, astronom Amerika Serikat. Informasi ini mapan diajarkan di sekolah-sekolah selama puluhan tahun, hingga pada medio dekade 2000-an, satu demi satu penemuan mengguncang para pegiat astronomi. Pluto, pada kenyataannya, bukanlah satu-satunya obyek serupa planet di sisi terluar tata surya. Berturut-turut ditemukan Ceres, lalu Xena dengan bulannya, yang memiliki ukuran sama bahkan lebih besar dari sang planet kesembilan.

Penemuan-penemuan ini membuat para ilmuwan menjadi ragu akan status keplanetan Pluto. Pada akhirnya, astronom dari seluruh dunia berkumpul di Praha pada tahun 2006 untuk mendefinisikan ulang apa yang dapat disebut sebagai planet. Di akhir konferensi, ditelurkan keputusan yang diantaranya resmi mengeluarkan Pluto dari daftar planet di tata surya. Apakah dengan demikian Pluto hilang dari alam semesta? Pada kenyataannya, ia masih berada pada tempatnya dan mengorbit Matahari. Setahun silam, wahana antariksa New Horizon bahkan berhasil merekam Pluto dari jarak dekat. 

Satu-satunya hal yang berubah adalah kategori eksistensial Pluto di mata manusia. Dari sebuah planet, menjadi benda angkasa serupa planet (planetoid).  Ia kehilangan statusnya karena tak mampu memenuhi salah satu kriteria planet, yang tak boleh memiliki garis edar beririsan dengan kepunyaan planet lain. Dalam hal ini, Pluto rupanya bertemu di sejumlah titik dengan Neptunus.

Nasib Pluto adalah contoh pembedaan antara kebenaran konseptual dan kebenaran empirik di dalam sains. Pluto sebagai sebuah benda langit yang berbentuk bulat, beredar mengelilingi matahari dan memiiki suhu permukaan yang lebih dingin dari titik beku absolut, adalah fakta saintifik yang berasal dari pengamatan. Lebih lanjut, gaya-gaya yang bekerja di dalamnya dapat dihitung secara matematis. Dari percepatan gravitasi hingga kecepatan edarnya mengelilingi Matahari.

Namun perihal menentukan apakah Pluto dapat dikategorikan sebagai planet atau bukan adalah sepenuhnya urusan manusia yang bersepakat. Ia melibatkan proses dialog yang berkepanjangan antara insan yang berpikir, hingga mengerucut pada suatu rumusan yang padu. Dalam kasus ini, berujung pada perumusan definisi “Planet”.

Pun demikian dengan “Matahari”, “Bintang”, “Komet”, “Hewan” dan “Manusia” itu sendiri. Terhadap dua yang disebut belakangan, semisal, pergeseran definisi masing-masing tak akan mengubah kenyataan anatomi dan fisiologis yang melekat kepadanya. Manusia tetaplah manusia dengan dua tangan dan kaki, berjalan dengan tegak dan memakan apa saja. Memiliki daya mandiri untuk mengakali alam. 

Pada suatu saat nanti ketika Manusia sebagai konsep dinilai mengusang, ia dapat diganti dengan konsep baru yang dirumuskan bersama-sama.

Demikianlah bagaimana diskursus mengenai Bumi yang bulat menjadi mubazir. Yang tengah kita bicarakan adalah karakter fisik dari sebuah benda langit, yang pembuktiannya diidealkan dilakukan dengan pengamatan atas tanda-tanda alam. Ditambah, pemahaman yang holistik atas berbagai gaya yang bekerja didalamnya.

Terlebih ketika sebuah ayat dari kitab suci diacu sebagai basis argumen. Sejak semula, kebenaran ayat-ayat berdiam di ranah yang transenden dan harus diimani tanpa pertanyaan.  Menjadikannya suci dan sakral, pun dikemudian hari dihadapkan pada pertentangan dengan nalar. Keiman pada dasarnya tak perlu membuktikan apapun.

Suatu ayat bisa jadi menjabarkan hal-hal yang kemudian oleh sebagian penganutnya ditaut-tautkan pada kenampakan alam tertentu, lalu digunakan sebagai acuan bagi kebenaran ilmiah. Berbagai fenomena yang sesungguhnya bersumber dari penginderaan yang profan justru dijadikan pembuktian bagi kebenaran kitab. Sebagian dari kita kerap bersorak  atasnya lalu melipat tangan di dada, menunjukkan diri bahwa iniliah Iman yang superior. Inilah Iman yang berhasil membuktikan diri benar menurut sains.

Disaat sains hari ini terus bergerak dan tak diam, temuan demi temuan baru mengemuka hingga batas terjauh eksplorasi akal manusia. Jika suatu ketika sains membuktikan hal yang berkebalikan dengan terang benderang, cukup siapkah Iman yang empirik ini untuk menerimanya? Atau mempermalukan diri sendiri dengan menunjuk hidung sains sembari berpijak pada pembuktian yang abu-abu? (*)

0 komentar:

Posting Komentar