Fiat Lux

Minggu, 24 Mei 2015

Here She Comes

02.28 Posted by Arasy Aziz , 4 comments
Pada suatu masa halte dan stasiun adalah tempat dimana harapan-harapan bertumbuh ulang berulang. Dan masih akan tetap begitu, selama ada yang datang dan pergi, ada yang menunggu, ada yang tertinggal. Akan tetap begitu selama ada hal-hal yang tak selesai.
“Suatu hari nanti ketika aku kembali, aku tak akan segan untuk menghambur kepadamu untuk peluk yang panjang”, kata seseorang.
Kata yang lain, naïf, “Jangan pernah kembali. Disanalah hidupmu yang sebenar-benarnya”.
Namun mereka bukan satu-satunya yang berhak. Kita tahu disana tempat bertemu manusia dengan beragam urusan yang tak melulu berkutat dengan haru. Ada modernitas yang berderap sejak semula ketika lokomotif uap ditemukan oleh Trevithick. Setelahnya, manusia tak akan pernah lagi sama; menjadi sekrup, mur, baut kecil dari tatanan pasca pencerahan. Disana bertemu manusia-manusia yang tak pernah lagi sama. Kerumunan komponen.
Diantara mereka mungkin ada seorang prajurit yang esok harus berlayar ke ujung kepulauan. Di sana menunggu tugas di perbatasan negara, kadang-kadang menyapa pelintas batas yang hendak berbelanja ke pasar. Lihatlah mereka tak menggunakan rupiah, Dik, dan betapa fasihnya mereka bergaul dengan kami. Kadang-kadang aku tak bisa membedakan pelintas batas negara sebelah dengan yang disini. Lagipula disini nyamuknya besar-besar, Dik, tapi ku sudah biasa karena ku rajin meminum pil kina tanpa perlu kau ingatkan. Cerita ini akan tertahan berbulan-bulan menunggu di peron.
Entah bagaimana imajinasi ku selalu menautkan stasiun dengan prajurit. Mungkin dari cerita di majalah anak-anak tentang paman yang suka berteka-teki tentang meja oval. Lagipula militer adalah dunia asing dengan lokomotif yang lain.
Prajurit kita tadi memeluk istrinya yang, agar dramatis, tengah hamil delapan bulan;
“Ketika aku kembali, ku harap dia mengenaliku. Pun ketika aku luput meniupkan adzan di daun telinga kanannya.”, katanya. Agaknya ini masih keharuan yang lain.
Atau seorang dokter yang menggerutu karena mobilnya mogok dan di rumah sakit ada pasien mengantre yang harus dioperasi. Terpaksa ia naik kereta listrik yang datangnya kadang-kadang tak dapat ditebak. Ia berdedikasi, dan gerutunya adalah gerutu dedikasi.
Atau seorang insinyur, pilot, pedagang cendol, ibu-ibu pengajian, mahasiswi.
Di halte stasiun aku menunggu untuk sebuah pertemuan dengan masa lalu, yang sayangnya tak datang dengan bus maupun kereta.
Pukul satu masih beberapa menit lagi. Kemudian ingatan-ingatanku berderap mundur tanpa bisa ku cegah. Ketika lima tahun silam, atau hampir enam tahun, menunggu akhir pekan menjadi saat-saat yang kalut demi mengirim pesan singkat: “Aku nelpon ya?”.
Kami bertemu dalam momen yang tak jamak; di Bandung, ketika menebak-nebak dari ufuk bumi mana mineral ini dimasak, menjilat batuan untuk merasai, menyimak dengan takzim lapis-lapis bumi di bawah kaki kita dalam diagram tiga kali satu. Mendedah patahan, lipatan setumpuk sedimen. Dalam ketika yang lain, berpindah ke Balikpapan aku melihatnya dari jauh tanpa sekalipun ingin menyapa, seseorang yang asing. Ketika akhirnya berhadapan dengan tes sebenarnya, yang ku takutkan hanya tentang mesin hitung yang tetiba menghilang dari tas. Ketika berlari ke panggung menyambut gempita perjuangan, tentangnya sama sekali tak terbesit. Ketika pesawat membawaku pulang, dia tak ada.
Akankah ia membunuhku pada kesempatan pertama?
Sebagaimana beberapa pekan silam, ketika ku baca di koran-koran tentang seseorang yang ditemukan mati mengambang di danau Universitas Indonesia. Syahdan ia mengisi tasnya dengan batu-batu sebelum terjun ke pelimbahan. Kita mengira ini semata-mata agar ia tak perlu menghadap lagi ke dunia kita yang fana setelah bunuh diri. Bahkan memutuskan mati dengan sepihak membutuhkan laku dan prinsip yang tak putus.
Namun terselip surat perpisahan yang tak ikut basah. Justru sebuah titik terang; ini tak lain merupakan pembunuhan yang amat jali. Di Indonesia, yang membuat kerja polisi menjadi berlipat seperti ini sungguh tak banyak. Yang biasanya ku baca dari novel-novel detektif, tiba-tiba meloncat ke laman-laman warta.
Pembunuhan-pembunuhan yang rapi, dan berbagai kasus lain, yang menghubungkan aku dan dia kembali pada lima, hampir enam tahun silam. Hanya Sherlock Holmes yang agung dan deduksinya. Kami berbincang tentangnya pada permulaan, dan mengular pada apapun yang remeh-remeh.
Aku memutuskan untuk mengikatnya.
Lewat sambungan telepon selundupan, hal-hal yang tertahan dapat kulihat mengawang ke langit-langit kamar mandi, terbang ke menara air. Terbawa angin hingga ke laut Jawa, diam-diam menumpang kapal feri ke Bakauheuni, hingga tiba ke suatu tempat yang asing dan belum pernah ku jejak. Setelahnya, menunggu akhir pekan menjadi saat-saat yang kalut demi mengirim pesan singkat: “Aku nelpon ya?”. Akhir pekan adalah waktu untuk Adler-ku.
Aku memanggilnya Adler, kau tahu. Betapa noraknya.
Di halte stasiun, penjaja tahu sumedang agaknya sedikit khawatir ketika aku mulai tersenyum sendiri. Ia bergeser perlahan ke ruang yang sebelumnya diduduki seorang ibu yang sedari tadi sibuk menampik tawaran ojek. Jemputannya telah tiba.
Yang membuatnya bertahan dari hubungan tanpa kehadiran ini agaknya adalah janji-janji. Bahwa suatu ketika kita akan dipertemukan kembali, barangkali mengenyam kuliah di universitas yang sama. Sampai saat itu kita akan menjadi sepasang individu yang bersabar.
Namun suatu hari ia bertanya hal-hal yang terlalu jauh, aku menjadi ragu. Sejak semula harusnya mudah ditebak ujungnya; aku akan berdiri di pihak yang ingkar. Bukankah kau bukan seorang pemufakat yang baik?
Liburan yang sedikit panjang yang seharusnya kami rayakan berubah menjadi saat-saat perpisahan. Ba’da Isya, aku meringkuk di luar pintu agar sebisanya tiada siapapun yang mendengar percakapan kami. Sejak perlombaan itu aku ketinggalan pelajaran, kataku. Dia diam. Setelah ini seluruh perhatianku akan terpusat pada hasil ujian nasional yang baik, kataku. Dia diam. Aku ingin masuk universitas negeri di Jawa, kataku. Dia diam. Dan kau, mengganggu, kataku diam-diam. “Semoga kita bisa bersahabat baik”. Tak ada lagi pesan singkat di akhir pekan setelahnya.
Ini agaknya adalah cara yang buruk untuk putus cinta; menyisakan pertanyaan yang belum dijawab, kenapa? Kepada kosmos ada hutang yang harus dibayar pada suatu hari nanti. Pada lima, hampir enam tahun silam hal-hal seperti itu agaknya tak terpikirkan.
 “Akankah aku kembali ke kota kecilku dengan sebagian tubuh yang tak genap?
Maju pada titimangsa yang lebih dekat, tiga tahun silam. Akhirnya aku punya ingatan sendiri tentang stasiun. Sesungguhnya tak ada kejadian apapun. Hanya di dunia antar-dunia, kubayangkan ada yang diam-diam mendorong tubuhku jatuh ke gerigi rel yang curam.
Pada akhirnya kesempatan pertama untuk bertemu kembali hadir ketika aku memutuskan ke Jakarta untuk sebuah urusan. Kali ini kita bisa bertemu, ujarku melalui pesan singkat setelah diam yang lama. Kita bisa bertemu di stasiun sesampainya aku di ibukota, segera setelah urusanku selesai, pada Ahad kepulanganku. Namun di hari keberangkatanku Matarmaja tak pernah benar-benar sampai ke Senen. Di pantai utara dekat Cirebon, gerbong-gerbong berbelok, berpindah rel menuju ke kegelapan yang tak putus. Seluruh penumpang berteriak. Aku berteriak! Hei, hei, masinis!! Di Senen menunggu Adler-ku!!
Ketika berkas-berkas matahari membuatku terbangun, mataku mengenali langit-langit pondokan di kota kecilku. Aku berlari ke perempatan jalan untuk koran pagi, meneliti baris demi baris, satu demi satu kolom-kolom. Tak ada berita tentang Matarmaja yang lenyap ke dalam kegelapan, rupanya. Kesinilah keheningan pantura berujung, kepada mereka-mereka yang tak percaya magisnya. Pukul tiga sore nanti aku harus kembali ke stasiun mengejar Matarmaja yang berangkat sekali setiap hari. Matarmaja hampir tak mengenal kesempatan kedua. Tak hanya bagi penumpang-penumpangnya, namun juga pengasong yang pada suatu ketika adalah nyawa gerbong. Ada yang ganjil ketika pada akhirnya kuhempaskan tubuhku ke salah satu kursinya yang hampir tegak lurus itu. Riuh tak ada lagi.
Matarmaja tak mengenal kesempatan kedua. Tak ada tempat untuk kesempatan kedua.
Diantara Solo dan Semarang aku mulai menimbang-nimbang kembali; apakah ini waktu yang tepat? Tidak, kataku. Momentum yang dipilih secara salah bisa berakibat buruk. Ketika di Jakarta, maka; Kita jadi ketemu kan? Tidak. Aku udah di Matraman, beberapa kilometer dari Senen, sangat dekat. Tidak. Keretamu pukul dua kan? Sepertinya masih sempat kok. Tidak, Ay. Ini belum saatnya. Selamat tinggal.
Sekali lagi, pada waktunya, aku berkhianat. Aku mulai menebak-nebak, apa yang akan dilakukannya ketika kami berhadap-hadapan. Menenggelamkan aku ke danau? Mendorong ke haribaan kereta komuter yang menderu dari Bogor? Satu peluru dilepaskan dari senapan burung? Tikaman yang lamat-lamat? Menampar dalam slowmotion?
Pukul satu lebih sepuluh, ketika aku menyadari bahwa seseorang hadir. Disanalah dia berdiri.
Dan ada kebahagiaan di dalam senyumnya, penanda bagi jiwa yang telah bergerak jauh. Hari ini, menjelma teror itu sendiri. Menjatuhkan vonis di dalam diam; Mampus kau, aku hari ini adalah perempuan dengan hati merdeka! Dan kau! Kau pada akhirnya dikutuk untuk membayar setiap serpih remuk kerakal yang kau tebar! Mampus kau, untuk usahamu melarikan diri dari masa lalu! Penolakan untuk mengakui bahwa pada suatu ketika kau jatuh cinta oleh cara-cara Tuhan yang jenaka! Kau yang rumit hari ini dan penimbang omong-omong kosong tak lain adalah cara semesta menghadirkan karma!
Namun senyumnya, aku segera tahu, adalah sekaligus senyum pembebasan. Di halte stasiun, yang terakhir ku dengar adalah riuh yang dulu hilang dari Matarmaja.
“Hai, Dan.
“Apa kabar?”

**

Slowdive - Here She Comes


Saya mulai mendengar Slowdive baru sekali, dan segera merasa terganggu oleh album Souvlaki (1993). Diantara isi-isinya, Here She Comes saya tempatkan dalam posisi yang agak spesial. Ada keheningan yang ganjil setiap kali track ini terputar. Semacam representasi yang ditunda dari obyek imajiner sang penggubah di dalam durasi lagunya yang singkat, dan terselip.

Ketika mereka menobatkan unit asal Manchester ini sebagai pionir dream pop, saya kira-kira jadi tahu mengapa.

4 komentar: