Fiat Lux

Selasa, 01 Oktober 2013

Jalan Yang Tidak Dipilih Tuhan Untuk Bangsa Kami

03.52 Posted by Arasy Aziz No comments
Lapis-lapis udara kota Jakarta di bulan-bulan jelang pemberontakan 1 Oktober 1965 pekat oleh desas-desus tak kasat mata. Konon kabarnya, telah dibentuk Dewan Jendral yang hendak menggulingkan pemerintahan Soekarno dengan menggunakan momentum Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Hal ini menimbulkan kekhawatiran luar biasa dalam tubuh Partai Komunis Indonesia, dan menjadi perhatian utama dalam diskusi Dwipa Nusantara Aidit dan Sjam Kamaruzzaman pada sebuah senja merah di bulan Agustus 1964.

Kekhawatiran ini beralasan. Konfigurasi kekuasaan dibawah sistem Demokrasi Terpimpin menempatkan Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat sebagai tiang penyangga dalam hubungan yang saling curiga. Jika kudeta Angkatan Darat atas Soekarno jadi dijalankan, konfigurasi kekuasaan itu akan kehilangan keseimbangan, posisi Partai Komunis Indonesia terancam.

Terlebih lagi, rona dunia ketiga pada masa itu semarak oleh gurat-gurat revolusi korporatisme. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat berusaha meraih kemungkinan sekutu-sekutu baru dalam menghadapi perang nirkata melawan simbol-simbol Komunisme. Mereka menyokong angkatan-angkatan bersenjata di bawah rezim-rezim yang berseberangan jalan untuk melakukan kup. Pun demikian dengan Indonesia. Posisi Indonesia yang “netral” dalam perang dingin, kampanye Ganyang Malaysia, juga upaya-upaya spionase terhadap Soekarno: faktor-faktor ini merenggangkan hubungan Jakarta-Washington. Sebaliknya, hubungan Gedung Putih dengan Angkatan Darat dibalik layar justru kian erat, diam-diam mereka membahas kemungkinan-kemungkinan penggulingan kekuasaan Soekarno. 

Satu-satunya cela dalam rencana Angkatan Darat ini adalah posisi Soekarno yang demikian kuat dan amat dicintai rakyat (dan banyak anggota militer). Kudeta langsung hanya akan menyebabkan Angkatan Darat kehilangan legitimasi publik, menimbulkan gejolak dan pembangkangan sipil maha-raksasa yang bahkan tak mampu ditangani dengan cara-cara totaliter sekalipun.

Belakangan, justru kecurigaan dua petinggi Partai Komunis Indonesia yang memberikan jalan bagi penggulingan itu, sedikit demi sedikit.

“Kup itu harus digagalkan”. Sjam Kamaruzzaman atas perintah Aidit bersama beberapa perwira tinggi angkatan bersenjata yang simpati pada gerakan kiri sekaligus loyalis-loyalis Soekarno merancang sebuah gerakan pendahuluan demi menyelamatkan pemerintahan Putra Sang Fajar. Namun, tanda-tanda kegagalan operasi ini bahkan telah tampak sebelum api disulut. Soepardjo, salah satu perwira tinggi militer yang terlibat, keheranan atas upaya gerakan pendahuluan yang tidak memenuhi kriteria sebuah kudeta dan gerakan perlawanan. Sjam yang keras kepala tidak menggubris peringatan kolega militernya. Pada malam 30 September operasi dimulai. Beberapa jendral memang berhasil diculik (dan tanpa diperintah, dibunuh). Sayangnya, ada seorang yang lain luput dari operasi, menyeruput kopi dan dengan taktis menekuk lutut para pembangkang sesegera gerakan itu dimulai. Jelang senja di 1 Oktober, gerakan pendahuluan, yang belakangan dinamai G30S(/PKI) ini, berhasil ditumpas.

Kegagalan ini menimbulkan konsekuensi teramat berat. “Seorang yang lain”, Soeharto, memperoleh mandat kontroversial untuk mengambil alih kekuasaan dan melakukan “tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga stabilitas negara”. Soekarno sendiri harus menerima kenyataan pahit disingkirkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dari kursi kepresidenan, menandai berdirinya sebuah rezim totaliter kanan bernama Orde Baru yang bertahan selama 32 tahun. G30S, sebagaimana diistilahkan sejarawan John Roosa, menjadi sebuah dalih pembunuhan massal. Genosida atas mereka yang dianggap terlibat, langsung tidak langsung, dalam G30S dimulai secara sistematis. Para petinggi Partai Komunis Indonesia satu persatu menghadapi vonis mati di Mahmilub. Darah para kader dan simpatisan akar rumput, etnis Tionghoa, hingga petani-petani inosen menjadi halal ditumpahkan melalui eksekusi-eksekusi tanpa proses peradilan. Soedomo mengklaim jumlah pengikut Partai Komunis Indonesia yang harus meregang nyawa berada pada kisaran 1,7 juta jiwa. Hal ini menerbitkan rasa prihatin yang mendalam, mengingat risalah-risalah terbaru tentang G30S yang (akhirnya dapat) terbit pasca reformasi menjelaskan bahwa hanya dua orang petinggi Partai Komunis Indonesia, Aidit dan Sjam, yang mengetahui rencana ini secara menyeluruh. TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dirumuskan. Dan hingga kini, efek berkelanjutan G30S masih terasa. Mereka yang keterlibatannya dalam gerakan 1 Oktober digolongkan dalam kategori B kehilangan sebagian hak-haknya sebagai warga negara. Ada tanda tertentu yang disematkan di kartu identitas mereka. Satu babak sejarah Partai Komunis Indonesia dan Komunisme Indonesia berakhir tragis.

Selanjutnya, kita tahu Orde Baru menyebarluaskan doktrin dan versi sejarah mereka perihal peristiwa G30S. Kita ingat bagaimana potongan-potongan film Pengkhianatan G30S/PKI yang selalu diputar pada malam-malam 30 September menggembarkan anggota Partai Komunis Indonesia yang keji. Kita ingat bahwa setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Sangat sedikit antitesis beredar di masyarakat yang dapat memberikan pencerahan. Kita digiring untuk lupa dan turut menghalalkan pembantaian besar-besaran yang tidak dapat diterima hati nurani dan akal sehat. “Sejarah ditulis oleh pemenang”, pun demikian sari patinya yang tersedia untuk disesap.

Namun, bagaimana jika keadaan berbalik, gerakan 1 Oktober itu berhasil?

Partai Komunis Indonesia di bulan-bulan jelang pemberontakan 1 Oktober telah menjelma menjadi kekuatan politik sipil paling disegani. Hari ulang tahun mereka pada 23 Mei 1965 dirayakan besar-besaran di Stadion Utama Senayan. John Roosa menggambarkan bahwa “puluhan ribu orang memadati tribun yang mengelilingi lapangan stadion, sementara ribuan manusia lagi berdiri di lapangan yang terhampar di bawah. Di luar, di lapangan parkir dan jalan-jalan di sekitarnya lebih dari 100.000 orang saling berdesak-desakan.” Jumlah yang amat banyak di masa itu. Pada pemilihan umum sebelumnya, Partai Komunis Indonesia menduduki peringkat keempat pendulang suara terbanyak. Jumlah kader, simpatisan dan pendukung mereka terus bertumbuh. Partai Komunis Indonesia menjadi kekuatan komunisme terbesar ketiga di dunia, setelah Sovyet dan Tiongkok. Kondisi ini teramat timpang dibanding keadaan organisasi yang terlanjur tercoreng pasca pemberontakan di Madiun tahun 1948.

Kedekatan partai dengan Soekarno, utamanya dalam semangat anti-Nekolim, menjadikan posisi Partai Komunis Indonesia kian menyenangkan. Andai gerakan 1 Oktober berhasil, konfigurasi kekuasaan hanya menyisakan dualitas penyangga, Soekarno dan Partai Komunis Indonesia. Partai Komunis Indonesia akan semakin populer di mata rakyat melalui kesuksesannya menggagalkan upaya kudeta atas sang Panglima Besar Revolusi. Cepat atau lambat, kekuasaan atas pemerintahan Indonesia akan merapat ke gerakan kiri. Kemudian terjadi perombakan ketata-negaraan besar-besaran.

Salah satu kecurigaan terbesar orang-orang adalah adanya agenda Partai Komunis Indonesia untuk mengganti ideologi Pancasila dengan Komunisme. Posisi Pancasila sendiri pada masa itu telah digeser pelan-pelan oleh gagasan Soekarno tentang Nasakom sebagai upaya menyelaraskan tiga arus utama pemikiran politik Indonesia. Mendongkel Pancasila dari kedudukannya sebagai ideologi negara, sebagai staatfundamentalnorm, adalah perkara yang mungkin dilakukan tanpa perlu mengalirkan keringat dan darah oleh siapa saja yang berkuasa. Hans Nawiasky berpendapat, sebuah staatfundamentalnorm masih dapat berubah melalui cara-cara selain yang ditentukan sebuah tata hukum. Namun hukum itu sendiri adalah politik dalam baju lain. Sejarah Indonesia mencatat, perubahan staatfundamentalnorm tidak melulu tentang revolusi atau kudeta. Soeharto dan Orde Baru misalnya, membentuk tafsir dan pemaknaan Pancasila versi mereka sendiri, yang kemudian digunakan sebagai instrumen yang memberikan kemapanan. Staatfundamentalnorm bernama Pancasila itu resmi berganti substansi. Langkah serupa dapat dilakukan Partai Komunis Indonesia andai mereka mau.

Dan barangkali Indonesia hari ini, setelah puluhan tahun gerakan 1 Oktober 1965 itu berhasil, telah menjelma sebagai negara Komunis yang: seperti Cina, membiarkan “kapitalis-kapitalis” kecil tumbuh, atau sebuah negara yang jutaan rakyatnya sejahtera dari memegang arit. Atau negara yang tengah diisolasi dunia karena keras kepala. Atau tengah terlibat dalam Perang Dunia ke-III yang pecah belakangan. Ada terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan. Tapi satu hal yang benderang adanya, bahwa itulah jalan-jalan yang tidak dipilih Tuhan untuk bangsa ini.

0 komentar:

Posting Komentar