Fiat Lux

Minggu, 19 Mei 2013

Yang Dicatat: Tengah April-Tengah Mei

17.25 Posted by Arasy Aziz No comments

Dalam kurun pertengahan bulan April hingga pertengahan bulan Mei ini saya menemukan beberapa objek yang mengesankan.

Menemukan Kembali Sans Familie (Nobody's Boy)

Saya berpaling sejenak dari karya-karya penulis utara untuk membaca salah satu legenda sastra romantisme ini.

Di era 2000-an awal, SCTV menjadi kanal televisi nomor satu perihal serial kartun berkualitas yang ditayangkan harian. Salah satu yang terasa berbeda karena lebih banyak menimbulkan haru sore-sore adalah kisah petualangan Remi, saya lupa judulnya. Di sebuah toko buku saya menemukan ceritanya kembali dalam rupa asalnya, Sans Familie (Penerbit Gramedia, 2010).

Remi kecil didera kisah pilu yang seolah tak habis-habis. Sejak kecil diasuh oleh orang tua angkat yang menemukannya, Remi kemudian dibeli Signor Vitalis, dan bersama-sama berkeliling Perancis-Italia dalam sebuah kolektif sirkus mini beranggotakan keduanya dan binatang-binatang jenaka. Dalam perjalanan derita pun masih berlanjut. Anjing-anjing yang dimangsa serigala hingga sang Signor yang menemui ajal Namun diakhir kisah Remi menemukan kebahagiaannya.

Yang saya ingat, seri animenya menyajikan kisah ini dalam penggambaran yang lebih naik-turun temponya.

Baik dibaca usia kita? Akhir yang bahagia, alur novel ini barangkali klise dan menjadi formula umum dalam menyusun sebuah drama dalam berbagai dimensi dunia hiburan. Ditambah Hector Malot menulis Sans Familie dalam gaya bahasa yang sederhana, sehingga roman ini jamak (dan memang layak) dikategorikan sebagai bacaan anak-anak. Namun, nostalgia kadang mengajak kita untuk sengaja acuh atas tepi-tepi.

Akhir Kisah Death Notice

Sebagai gambaran bagi yang tidak membacanya, Death Notice mengisahkan 24 jam terakhir dari mereka yang 'dibunuh' demi negara. Tentang apa yang kalian lakukan jika tahu harus mati besok. Seri manga yang saya kenal sejak Madrasah Aliyah ini akhirnya menemui akhir, dan Mase Motoro memilih hamparan sejumlah gimmick dan fakta mengejutkan, rumit dan meledak-ledak sebagai penutup. Tagline: drama yang akan mengguncang jiwa, dibuktikan dengan telak. Epic.

Wiji Thukul Hidup Kembali

Wiji Thukul hidup kembali, dalam majalah Tempo edisi 13-19 Mei 2013, edisi khusus tragedi Mei 1998. Tidak ada pengungkapan hasil penelusuran yang mengejutkan, seperti dimana Thukul berada saat ini (atau setidak-tidaknya dimana makamnya). Kecuali pelarian-pelarian sang penyair, dan hal-hal yang simpang siur. Tempo menghamparkannya detil.

Tidak ada pengkultusan berlebihan terhadap sosok Wiji Thukul. Semuanya dipaparkan apa adanya, termasuk proses kreatif Thukul, termasuk romansanya, termasuk cela-cela. Tempo juga berbaik hati menyisipkan kumpulan puisi Thukul yang tidak sepopuler teriakan hanya ada satu kata: lawan!

Siapa pula tim Mawar yang memburu Thukul dan kawan-kawan PRDnya. Adalah mereka yang telah menghabisi nyawa sang penyair? Termuat pula ulasan hal tersebut dalam Tempo edisi ini. 

Tunggu, sebagian dari kita percaya, entah di ufuk langit mana, bahwa sang biji masih bertumbuh dan hidup, bukan?

Bully

Telah menjadi rahasia umum, bahwa penindasan, baik fisik maupun mental,nyata dan hidup diantara anak-anak sekolah. Tapi siapa mengira masalahnya separah apa yang digambarkan dokumenter ini. Film mengambil latar sebuah negara yang mengaku modern dalam berbagai lini, termasuk hukum, namun apa yang tampak adalah kebalikannya. Dan pengangkangan-pengangkangan atas hukum itu dilakukan oleh manusia-manusia dini usia.

Saya belum pernah semarah ini dalam menonton film. Ada individu-individu di sekolah yang dipermainkan layaknya bola sepak, di-bully setengah mampus, dan mereka yang seharusnya melindungi berujar dengan santai bahwa ini bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, atau menawarkan penyelesaian yang tidak solutif. Tidak ada aturan, supremasi hukum dalam lingkungan bernama sekolah kandas dalam ruang omong kosng.

Dan reaksi dari mereka yang ditindas itu menjadi pembeda. Sebagian melawan (dan ini keren), sebagian menerima seolah tidak ada apa-apa, dan sebagian lainnya memilih akhir meringis: bunuh diri.

Banyak dari kalian sudah menonton dan menganggapnya biasa saja? Iya, saya memang aneh.

Naif, Dalam The Nevasca 2013

Puji Tuhan untuk SMA 1 Malang yang membawa Naif ke kota kami, ke hadapan saya. Kecuali masalah sound system yang menjengkelkan, penampilan unit ini luar biasa dan mengesankan, pun crowdnya.

Saya mengenal Naif sejak kanak-kanak, di era dimana David masih berambut lebih sepipi dan tidak gemar membuka baju. Di awal 2000-an klip-klip Naif, seperti Possesif yang mempopulerkan gestur almarhum Avi, sempat merajai televisi bersama Sheila on 7, Club 80's dan lainnya. Lama sekali, menimbulkan kerinduan tersendiri. Dan semakin berdahaga mengingat kondisi layar kaca kita dewasa ini didominasi pria-pria (bahkan diantaranya belum cukup umur) yang gemar bernyanyi berjoget.

David bersama rekan-rekannya menuntaskan haus malam itu, meski dengan catatan yang bertebaran. Naif membuka rangkaian gerbong dengan Cuek, lagu mid-tempo dari album Planet Cinta. Sesi ajojing berjamaah langsung disulut. Bersamaan masalah yang juga mulai terdengar. Berulang kali koor penyimak mengisi bagian vokal utama ketika suara David tidak terdengar. Awalnya cuma microphone yang kerap mati, namun diujung lagu ketiga seluruh instrumen, kecuali drum, kehilangan bunyi. Penampilan harus ditunda untuk perbaikan. Naif kembali ke balik panggung, penyimak kecewa dan memanggil-manggil sang penampil utama.

15 menit berlalu dan Naif kembali, set dilanjutkan. Sepanjang penampilan paduan suara massal bergema kencang mengisi ruang. Ber-asoy geboy ria misalnya, dalam Mobil Balap. Dan Graha Cakrawala semakin pecah ketika berturut-turut lagu-lagu andalan sendu dibawakan: Dimana Aku Disini, Benci Untuk Mencinta, dan tentu saja, Possesif. Saya tak kuasa bernyanyi gila (Ini lagu favorit dan memorable tentu saja).

Diujung penampilan Naif menyajikan Air dan Api dari album bertajuk sama, lalu berlalu begitu saja setelah salam perpisahan. Tidak ada encore (karena penonton tidak meminta, aneh untuk sebuah crowd yang super). Beruntungnya, saya telah meminum tembang-tembang yang dibawakan dalam dosis yang tepat. Tandaslah dahaga.

0 komentar:

Posting Komentar