Fiat Lux

Jumat, 10 Februari 2012

Gorontalo : Menjaring Matahari di Torosiaje

00.49 Posted by Arasy Aziz 2 comments
Dalam upaya merajut persahabatan dengan seorang sahabat yang dipisahkan jarak, kami memilih bersua dengan satu dari sekian banyak komunitas Suku Bajo di dunia. Terpisah dari daratan oleh perairan dangkal, mereka berbeda budaya.

Pada 1901 beberapa individu dari Suku Bajo memulai kehidupan baru di perairan dangkal pesisir Popayato, Gorontalo. Komunitas kecil yang berawal dari sekolompok orang yang tinggal di atas perahu ini kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan yang dikenal sebagai Desa Torosiaje. Berawal dari percakapan via sms, saya dan seorang sahabat yang telah terlebih dahulu pulang kampung memutuskan melawat ke desa ini.

Desa Torosiaje terletak di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato. Untuk mencapainya dibutuhkan kesabaran ekstra mengingat waktu tempuh dari Kota Gorontalo yang cukup lama (lebih dari enam jam) menggunakan angkutan mikrolet. Sebuah kondisi yang dapat saja menumbuhkan penat. Tapi kami memilih percaya bahwa semua itu akan dibayar mahal oleh panorama Torosiaje yang memikat.

Di Ujung Kapal, sahabat saya menjemput Bajo.
Dermaga menuju Torosiaje dengan pemandangan hutan bakau di kanan-kiri. 
Pak Saggaf, sang peng-ojek perahu.
Tiba di dermaga, kami disambut oleh salah seorang tukang ojek perahu yang sedari tadi menunggu penumpang. Kami tak sendiri, bersama kami turut sejumlah penduduk yang membawa boks balok es. Ya, ketiadaan alian listrik ke desa ini  membuat sebagian warga yang hendak mengawetkan ikan harus mengambil es dari daratan. Si bapak tadi memberi bonus kecil dengan mengambil rute yang relatif memutar sehingga kami dapat terlebih dahulu mengakrabi perkampungan dari pelbagai sudut. Kesenangan kami kian membuncah saja. Pada akhinya kami diantar ke rumah Pak Tama, salah satu dari dua kepala dusun di Desa Torosiaje guna mengutarakan keinginan kami untuk tinggal semalam di desa ini. Beliau menawarkan kami untuk bermalam di rumahnya, sebuah tawaran menarik yang tak kuasa untuk ditolak. Dari Pak Tama pula kami meperoleh sejumlah cerita menarik tentang kehidupan Suku Bajo di Torosiaje, sembari menikmati jamuan Ikan Baronang Bakar yang kami pesan dari rumah makan miliknya.

Salah satu sudut Torosiaje
Keramba Ikan yang menampung pelihararaan warga.
Bisa dibilang, Suku Bajo merupakan pewaris sejati nilai-nilai dan esensi bahari. Menjalani kehidupan dengan mengarungi samudra, kegiatan sehari-hari mereka sangat bergantung pada laut. Berbeda dengan saudara-saudara mereka di Tilamuta yang telah memilih hidup 'menumpang' di daratan, masyarakat Bajo Torosiaje tetap memilih mepertahankan tradisi nenek moyang mereka dengan tinggal di atas air.  Upaya Suku Bajo dalam menghargai kearifan alam pun masih terasa hingga kini. Sejumlah orang dari Suku Bajo Torosiaje bahu membahu bersama pemerintah menjadi agen penyelamat ekosistem mangrove, dimana Pak Tama merupakan koordinatornya.

Siluet rumah-rumah masyarakat berlatar matahari seujung tombak.

Di dunia, Suku Bajo Torosiaje bukanlah satu-satunya komunitas. Tercatat Suku Bajo membentuk koloni di sejumlah   titik. Menurut Pak Tama, pada 2012 ini akan diadakan Festival Suku Bajo berpusat di Torosiaje yang akan menjadi ajang reuni kultur Bajo dari berbagai belahan bumi. Setiap komunitas suku pelaut ini pada dasarnya memiliki akar budaya yang sama. Ditilik sejarahnya, mereka berasal dari para pelaut ulung Bugis yang memilih meninggalkan daratan. Hal ini dibuktikan pula dengan adanya Pelabuhan Bajoe di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Selain itu dalam tradisi perayaan Maulid Nabi sejumlah kelengkapan Bugis masih digunakan., dimana dalam lawatan kami kali ini rupanya bertepatan dengan agenda tersebut. Saya sendiri sempat menceritakan perihal darah Bugis yang mengalir di tubuh saya, yang kemudian disambut cemoohan jenaka Pak Tama mengingat saya tak bisa berenang dan berbahasa Bugis layaknya orang Bugis pada umumnya. Saya tersipu malu.




Gambaran Sore di perkampungan Bajo.

Dalam percakapan kami dengan Pak Tama tersirat sedikit nada kecewa akan inisiasi pemerintah dalam membangun jembatan penghubung antar rumah yang digalakkan beberapa tahun silam. Hal ini menyebabkan kebiasaan mengunjungi tetangga yang harus dilakukan dengan menggunakan perahu mulai pudar. Lalu lintas perairan Torosiaje kini tak seramai dulu. Pembangunan memang kerap kali berubah layaknya pedang bermata dua, dimana sejumlah aspek harus rela dikorbankan.

Senja dari celah rumah warga Torosiaje.
Jelang senja kami meminta izin untuk meninggalkan rumah guna menjaring matahari. Pengalaman langka menyimak detik-detik matahari terbenam di ufuk Teluk Tomini melalui celah rumah-rumah Suku Bajo memang merupakan salah satu tujuan utama kami menyambangi perkampungan ini. Ketika surya semakin menyusup ke horizon langit, ketika itu pula saya semakin terkagum akan kelihaian sang Maha Indah. Saat-saat syahdu sempat saya rasakan pula ketika irama semenanjung favorit milik Victor Hutabarat, Di Ambang Sore, terngiang di telinga. Paripurna.

Sekelumit Tentang Desa Torosiaje


Baronang Bakar siap disantap.

Transportasi Gunakan angkutan mikrolet jurusan Kota Gorontalo – Popayato dengan tarif Rp 50.000 – Rp 65.000. Untuk mengincar perjalanan yang lebih pagi gunakan angkutan mikrolet “spekulan” jurusan Kota Gorontalo – Marisa bertarif Rp 35.000 kemudian berpindah jurusan Marisa – Popayato bertarif Rp 30.000. Penyeberangan dari dermaga menuju ke perkampungan menggunakan perahu katinting dengan biaya sewa Rp 5.000 dan dapat bertambah apabila anda memutuskan berkeliling dahulu.  Akomodasi Tersedia penginapan yang dikelola warga setempat bertarif Rp 100.000/malam. Konsumsi Sejumlah rumah makan, seperti Rumah Makan Gowa Pratama milik Pak Tama menawarkan paket hidangan Ikan Bakar bertarif mulai dari Rp 25.000. Kontak Bapak Akbar Dg Mile 


some parts of this post inspired from @ImaMuharram's tweet, thanks dude :)

2 komentar:

  1. ras,, aku pgn nanya2 nih, soalnya ntr pas juli jurusan aku bakal ekskursi ke suku bajo yang ada di wakatobi. itu bahasa penduduk suku bajo yang mereka gunain itu bahasa apa ya? bahasa bajonya ato bahasa gorontalo? trus lingkungannya kan di gorontalo nih, ada pengaruh ga lingkungan tempat tinggal mereka sama adat adat atau kebiasaan suku bajo itu sendiri? masih murn apa udh dipengaruhin gitu? thx

    BalasHapus
  2. bahasanya masih pake bahasa bajo kak. kalo bajo torosiaje sendiri masih mempertahankan adat istiadat, bedanya antar rumah sudah ada jembatan penghubung, jadi interaksi dari perahu ke perahu mulai kurang. kalo yang wakatobi setau saya rumah-rumahnya masih terpisah-pisah

    BalasHapus