Fiat Lux

Kamis, 16 Februari 2012

Gorontalo : Jejak Sejarah Gorontalo

03.34 Posted by Arasy Aziz No comments
Menelusur jejak sejarah Gorontalo dengan tunggangan sehat kekinian.

Bagi saya bersepeda selalu menjadi kegiatan menyenangkan guna memulai hari dan telah menjadi ritual harian dalam masa liburan ketika SMA dulu. Namun ritus saya pagi ini terasa sedikit berbeda. Kali ini saya bersepeda dalam tujuan merekam jejak sejarah Gorontalo dari berbagai masa diantar 400 tahun lebih usia Kota Gorontalo. Dari beberapa pilihan sepeda saya memilih jenis fixed gear atau fixie. Meskipun telah dikenal sejak awal abad 20, sepeda jenis ini sedang nge-hype dikalangan muda perkotaan sehingga menjadikannya bagian dari budaya kekinian. Akhirnya, perjalanan dimulai. Daerah selatan kota jadi tujuan saya mengingat banyaknya gedung tua wilayah ini.

Saya memilih Mesjid Hunto Sultan Amay sebagai perhentian perdana. Mesjid yang didirikan pada 1495 Masehi ini merupakan tonggak awal peradaban Islam di Gorontalo. Alkisah dimasa lalu Gorontalo dipimpin oleh seorang raja bernama Sultan Amay yang memerintah pada rentang 1472 – 1550 Masehi. Hingga suatu ketika sang raja hendak mempersunting Putri Boki Antungo dari kerajaan Moutong. Sang ayah, Raja Palasay, mengajukan sebuah syarat yakni sang raja Gorontalo haruslah memeluk Islam  dan dibuktikan dengan membangun sebuah mesjid. Sang raja kemudian menyanggupi dan mesjid Hunto Sultan Amay didirikan sebagai mas kawin.

Menara Mesjid menjulang.

Sejumlah bagian mesjid ini tercatat masih dipertahankan keasliannya. Di salah satu sudut saya menemukan sebuah sumur yang konon berumur sama tuanya dengan mesjid itu sendiri. Dengan sedikit pengamatan, saya tersadar bahwa tekstur dinding sumur tersebut mirip dengan tekstur bangunan Benteng Otanaha buatan Portugis di wilayah Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo. Bahan baku keduanya sama, yakni batu kapur dan putih telur Burung Maleo (Macrohepalon maleo) yang zaman dahulu masih banyak ditemukan diseluruh wilayah Gorontalo. Hal ini seolah makin menegaskan nilai historis mesjid ini. Selain sumur, masih ada sejumlah peninggalan sejarah lain seperti bedug, Al Quran bertulis tangan dan mimbar yang konon dibawahnya terdapat makam dari Sultan Amay.

Interior Dalam mesjid dan mimbar yang telah berumur

Puas menengok kedalam mesjid saya melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya. Dalam perjalanan saya singgah sejenak di depan Kelenteng yang bersisian dengan Vihara umat Buddha Gorontalo. Desain keduanya relatif modern, agak berbeda dengan sejumlah tempat ibadah sejenis yang pernah saya lihat. Saya tertarik dengan lantunan musik oriental yang menggema dari pengeras suara. Rupanya sejumlah orang tua tengah bersenam di pagi yang relatif mendung ini. Sempat terbesit niat untuk mengambil gamabar namun ada rasa sungkan untuk mengganggu keriaan mereka. Saya melanjutkan menggowes.

Vihara dan Kelenteng terlihat dari belakang.

Tak berapa lama Monumen Nani Wartabone terlihat didepan mata. Tahun 1987 monumen ini didirikan atas prakarsa Drs A Nadjamudin, walikota Gorontalo saat itu, guna mengenang jasa seorang pahlawan nasional  dari Gorontalo, Nani Wartabone. Catatan yang ditorehkan sosok ini tidak main-main. Beliau merupakan proklamator kemerdekaan Gorontalo dari penjajahan Belanda yang memilih menempatkan daerah ini dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini merupakan buntut dari upaya perlawanan rakyat atas rencana Belanda yang hendak membumi-hanguskan tanah Gorontalo pada 28 Desember 1941. Puncaknya pada 23 Januari 1942 dini hari, pihak Belanda berhasil diusir dari Gorontalo. Hingga saat ini tanggal tersebut lebih melekat dalam benak masyarakat Gorontalo dibanding hari ulang tahun Provinsi Gorontalo yang jatuh pada 16 Februari. Kini monumen tersebut berdiri gagah di pelataran Lapangan Taruna Remaja Gorontalo, berhadapan dengan kediaman dinas Gubernur Gorontalo.

Monumen Nani Wartabone menyambut matahari pagi.

Monumen Nani Wartabone merupakan patung sosok Nani Wartabone yang sedang menunjuk ke arah Kantor Pos Kota Gorontalo. Bukan tanpa alasan, mengingat ditempat inilah proklamasi kemerdekaan tersebut dikumandangkan. Letaknya relatif berdekatan dengan lokasi monumen sehingga saya kembali mengayuh sepeda ke lokasi ini. Di halaman kantor pos berdiri sebuah monumen dan prasasti yang mencatat pidato Nani Wartabone dan nama-nama Komite Dua Belas yang terlibat dalam upaya perumusan proklamasi.

Monumen Peringatan proklamasi Gorontalo 23 Januari 1942.

Lama dan Baru. Fixie berpose di depan gedung Kantor Pos Gorontalo.

Hasil Perjuangan. Sebuah Bentor lewat di depan Gedung Nasional yang
merangkap markas LVRI. Tanpa mereka Bentor mungkin tiada. Kaitannya?

Dalam persiapan pulang saya kemudian teringat akan sebuah gedung tua yang terletak di Kelurahan Ipilo, Kecamatan Kota Timur . Dengan energi tersisa saya mengayuhkan pedal ke Gedung Nasional. Deretan angka 1948 yang tertulis dibagian depan agaknya menunjukkan tahun pembangunan gedung ini. Saat ini Gedung Nasional digunakan sebagai markas Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Gorontalo. Sayang sekali saya tak menemukan salah satu diantara mereka. Karena rasa lelah yang mulai melanda, saya memutuskan mengakhiri petualangan. Dalam sela gowesan menuju rumah sempat terpikir ungkapan popular milik Bung Karno 'Jas Mera', jangan sampai melupakan sejarah. Ya, nilai-nilai yang terkandung dalam rangkaian kata-kata singkat ini selalu dalam dan menjadi satu dari selaksa kunci guna meraih esensi sebagai sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang besar tak pernah melupakan sejarah, bukan?

Jumat, 10 Februari 2012

Gorontalo : Menjaring Matahari di Torosiaje

00.49 Posted by Arasy Aziz 2 comments
Dalam upaya merajut persahabatan dengan seorang sahabat yang dipisahkan jarak, kami memilih bersua dengan satu dari sekian banyak komunitas Suku Bajo di dunia. Terpisah dari daratan oleh perairan dangkal, mereka berbeda budaya.

Pada 1901 beberapa individu dari Suku Bajo memulai kehidupan baru di perairan dangkal pesisir Popayato, Gorontalo. Komunitas kecil yang berawal dari sekolompok orang yang tinggal di atas perahu ini kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan yang dikenal sebagai Desa Torosiaje. Berawal dari percakapan via sms, saya dan seorang sahabat yang telah terlebih dahulu pulang kampung memutuskan melawat ke desa ini.

Desa Torosiaje terletak di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato. Untuk mencapainya dibutuhkan kesabaran ekstra mengingat waktu tempuh dari Kota Gorontalo yang cukup lama (lebih dari enam jam) menggunakan angkutan mikrolet. Sebuah kondisi yang dapat saja menumbuhkan penat. Tapi kami memilih percaya bahwa semua itu akan dibayar mahal oleh panorama Torosiaje yang memikat.

Di Ujung Kapal, sahabat saya menjemput Bajo.
Dermaga menuju Torosiaje dengan pemandangan hutan bakau di kanan-kiri. 
Pak Saggaf, sang peng-ojek perahu.
Tiba di dermaga, kami disambut oleh salah seorang tukang ojek perahu yang sedari tadi menunggu penumpang. Kami tak sendiri, bersama kami turut sejumlah penduduk yang membawa boks balok es. Ya, ketiadaan alian listrik ke desa ini  membuat sebagian warga yang hendak mengawetkan ikan harus mengambil es dari daratan. Si bapak tadi memberi bonus kecil dengan mengambil rute yang relatif memutar sehingga kami dapat terlebih dahulu mengakrabi perkampungan dari pelbagai sudut. Kesenangan kami kian membuncah saja. Pada akhinya kami diantar ke rumah Pak Tama, salah satu dari dua kepala dusun di Desa Torosiaje guna mengutarakan keinginan kami untuk tinggal semalam di desa ini. Beliau menawarkan kami untuk bermalam di rumahnya, sebuah tawaran menarik yang tak kuasa untuk ditolak. Dari Pak Tama pula kami meperoleh sejumlah cerita menarik tentang kehidupan Suku Bajo di Torosiaje, sembari menikmati jamuan Ikan Baronang Bakar yang kami pesan dari rumah makan miliknya.

Salah satu sudut Torosiaje
Keramba Ikan yang menampung pelihararaan warga.
Bisa dibilang, Suku Bajo merupakan pewaris sejati nilai-nilai dan esensi bahari. Menjalani kehidupan dengan mengarungi samudra, kegiatan sehari-hari mereka sangat bergantung pada laut. Berbeda dengan saudara-saudara mereka di Tilamuta yang telah memilih hidup 'menumpang' di daratan, masyarakat Bajo Torosiaje tetap memilih mepertahankan tradisi nenek moyang mereka dengan tinggal di atas air.  Upaya Suku Bajo dalam menghargai kearifan alam pun masih terasa hingga kini. Sejumlah orang dari Suku Bajo Torosiaje bahu membahu bersama pemerintah menjadi agen penyelamat ekosistem mangrove, dimana Pak Tama merupakan koordinatornya.

Siluet rumah-rumah masyarakat berlatar matahari seujung tombak.

Di dunia, Suku Bajo Torosiaje bukanlah satu-satunya komunitas. Tercatat Suku Bajo membentuk koloni di sejumlah   titik. Menurut Pak Tama, pada 2012 ini akan diadakan Festival Suku Bajo berpusat di Torosiaje yang akan menjadi ajang reuni kultur Bajo dari berbagai belahan bumi. Setiap komunitas suku pelaut ini pada dasarnya memiliki akar budaya yang sama. Ditilik sejarahnya, mereka berasal dari para pelaut ulung Bugis yang memilih meninggalkan daratan. Hal ini dibuktikan pula dengan adanya Pelabuhan Bajoe di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Selain itu dalam tradisi perayaan Maulid Nabi sejumlah kelengkapan Bugis masih digunakan., dimana dalam lawatan kami kali ini rupanya bertepatan dengan agenda tersebut. Saya sendiri sempat menceritakan perihal darah Bugis yang mengalir di tubuh saya, yang kemudian disambut cemoohan jenaka Pak Tama mengingat saya tak bisa berenang dan berbahasa Bugis layaknya orang Bugis pada umumnya. Saya tersipu malu.




Gambaran Sore di perkampungan Bajo.

Dalam percakapan kami dengan Pak Tama tersirat sedikit nada kecewa akan inisiasi pemerintah dalam membangun jembatan penghubung antar rumah yang digalakkan beberapa tahun silam. Hal ini menyebabkan kebiasaan mengunjungi tetangga yang harus dilakukan dengan menggunakan perahu mulai pudar. Lalu lintas perairan Torosiaje kini tak seramai dulu. Pembangunan memang kerap kali berubah layaknya pedang bermata dua, dimana sejumlah aspek harus rela dikorbankan.

Senja dari celah rumah warga Torosiaje.
Jelang senja kami meminta izin untuk meninggalkan rumah guna menjaring matahari. Pengalaman langka menyimak detik-detik matahari terbenam di ufuk Teluk Tomini melalui celah rumah-rumah Suku Bajo memang merupakan salah satu tujuan utama kami menyambangi perkampungan ini. Ketika surya semakin menyusup ke horizon langit, ketika itu pula saya semakin terkagum akan kelihaian sang Maha Indah. Saat-saat syahdu sempat saya rasakan pula ketika irama semenanjung favorit milik Victor Hutabarat, Di Ambang Sore, terngiang di telinga. Paripurna.

Sekelumit Tentang Desa Torosiaje


Baronang Bakar siap disantap.

Transportasi Gunakan angkutan mikrolet jurusan Kota Gorontalo – Popayato dengan tarif Rp 50.000 – Rp 65.000. Untuk mengincar perjalanan yang lebih pagi gunakan angkutan mikrolet “spekulan” jurusan Kota Gorontalo – Marisa bertarif Rp 35.000 kemudian berpindah jurusan Marisa – Popayato bertarif Rp 30.000. Penyeberangan dari dermaga menuju ke perkampungan menggunakan perahu katinting dengan biaya sewa Rp 5.000 dan dapat bertambah apabila anda memutuskan berkeliling dahulu.  Akomodasi Tersedia penginapan yang dikelola warga setempat bertarif Rp 100.000/malam. Konsumsi Sejumlah rumah makan, seperti Rumah Makan Gowa Pratama milik Pak Tama menawarkan paket hidangan Ikan Bakar bertarif mulai dari Rp 25.000. Kontak Bapak Akbar Dg Mile 


some parts of this post inspired from @ImaMuharram's tweet, thanks dude :)

Selasa, 24 Januari 2012

Surabaya : Misi Terakhir KRI Pasopati 410

19.31 Posted by Arasy Aziz No comments
Sisa-sisa kejayaan angkatan laut Indonesia di tengah Kota Surabaya, dalam misi terakhir sebagai monumen.

Tanggal 28 Juli 1962, kapal selam KRI Pasopati 410 milik Angkatan Laut Indonesia dari satuan Hiu Kencana memulai tugas operasi dibawah perairan utara Irian Barat. Dia tak sendiri. Bersamanya bergerak lima kapal selam lain dari satuan yang sama diantaranya KRI Tjudamani 411, KRI Bramastra 412 dan KRI Alugoro 406. Atas perintah langsung dari Kepala Staf Angkatan Laut, 'hiu-hiu besi' ini ditugaskan untuk menghalau kapal-kapal perang Belanda yang berniat meninggalkan Irian Barat, dengan tajuk operasi 'Alugoro'. Operasi ini berakhir pada 15 Agustus 1962 pasca ditandatanganinya persetujuan New York. Atas bantuan kapal selam-kapal selam ini, merah putih berhasil dipertahankan di bumi Papua.

- :: -

Pada 1952, Indonesia berhasil menasbihkan diri sebagai kutub kekuatan militer terkuat di Asia Tenggara seiring dengan pemesanan 12 unit kapal selam jenis SS tipe Whiesky dari Rusia. Hal ini tak lain merupakan upaya Show Force pemerintah Indonesia kepada negara-negara Barat, utamanya Belanda yang saat itu terus berusaha merongrong kedaulatan Indonesia. Sebentuk tekanan psikologis yang efektif, mengingat armada kapal selam buatan Vladiwostok ini amat ditakuti blok NATO pada masanya. Pada 1962, kapal selam-kapal selam tersebut resmi berfabung dalam jajaran TNI-AL dan mulai melaksanakan sejumlah operasi-operasi penting. Salah satu yang paling terkenal adalah kontribusi besar armada ini dalam operasi Trikora di Irian Barat seperti gambaran diawal. Sayang, sejarah gemilang ini harus mulai berakhir kala Rusia menghentikan ekspor suku cadang militer ke Indonesia pasca peristiwa Gestapu. Untuk menutupinya, upaya kanibalisasi suku cadang antar kapal terus dilakukan, sehingga satu demi satu kapal selam-kapal selam ini harus diistirahatkan, dan menyisakan KRI Pasopati 410. Setelah sempat berjuang seorang diri, akhirnya pada 25 Januari 1990 KRI Pasopati 410 berhenti beroperasi. Tapi tahan, jangan terlampau sedih dahulu. Sejarahnya tenyata belum berakhir disitu.

Dalam lawatan insidental ke Surabaya, saya dan dua orang kawan bersepakat untuk mengunjungi rumah baru KRI Pasopati setelah pensiun dari masa tugas. Ya, sejak 15 Juli 1998, kapal selam ini resmi berpindah rumah ke sudut Jalan Pemuda, Surabaya, bersisian dengan Sungai Kalimas guna menjalankan misi terkhir dengan nama Monumen Kapal Selam (berikutnya saya sebut Monkasel). Memindahkannya ke tengah kota Surabaya konon bukan perkara mudah. Dari peristirahatan terakhirnya,  kapal selam berbobot 1300 ton ini harus dipotong-potong menjadi enam belas bagian untuk mempermudah proses transportasi. Sejak saat itu, KRI Pasopati 410 dibuka untuk umum dan menjadi destinasi wisata baru.

KRI Pasopati 410 yang legendaris.
Letak Monkasel yang sangat dekat dengan Stasiun Gubeng menjadi alasan utama kami. Sekitar 5 menit mengayunkan kaki, kami tiba di gerbang komplek monumen. Monkasel bisa dibilang lain dari yang lain. Jika sebagian besar museum atau monumen memilih menyajikan replika, maka Monkasel menawarkan tubuh asli dari kapal selam KRI Suropati 410 yang legendaris itu. Memasuki ruang demi ruang, kita diajak untuk menyelami gambaran kehidupan didalam kapal dalam masa tugasnya. Kita juga diperkenankan untuk mencoba sejumlah peralatan seperti Periskop dan tempat torpedo. Selain itu diluar bangunan kapal selam terdapat fasilitas video rama guna melengkapi penjelasan akan budaya maritim Indonesia. Sayang sekali kami tak berkesempatan memanfaatkan fasilitas ini.

Wadah torpedo siap menembak musuh.
Pintu penghubung antar ruang. Harus merangkak memasukinya.
Sedikit detil sejumlah perlatan di lambung kapal selam.
@Atikazahra8 mencoba peralatan periskop.

Kita agaknya perlu mengangkat dua jempol untuk para awak KRI Pasopati di masa lalu. Betapa tidak, layaknya armada perang buatan Rusia lainnya, aspek kenyamanan dalam kapal selam ini sangat di anak tirikan. Ketiadaan fasilitas sanitasi dan penyulingan air laut yang baik. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya para awak dalam urusan bersih diri. Selain itu KRI Pasopati 410 tak dilengkapi fasilitas pendingin ruangan, sehingga suasana gerah mewarnai setiap operasi kapal selam ini. Berbeda 180 derajat dengan kondisi monumen saat ini yang dilengkapi air conditioner disejumlah titik. Pengorbanan besar untuk kedaulatan yang layak diapresiasi.

Pemandangan dari lambung kanan KRI Pasopati 410.
Diorama peranan TNI-AL dan sejarah kemaritiman nusantara.
Sejumlah anak yang terjebak dalam darmawisata.
Bersantai di tepian Kalimas, di fasilitasi pengelola.

Agaknya pengelola monumen ini lihai betul menyasar pangsa pasar. Selain bangunan KRI Suropati 410, terdapat kolam renang anak guna menarik minat kaum belia.*Yang menarik, terdapat pula sejumlah meja-meja kecil di pinggiran Sungai Kalimas yang agaknya bertujuan memanjakan pengunjung muda yang hendak memadu kasih. Hal ini dikuatkan dengan jam buka monumen yang relatif berakhir larut, terhitung jam 8 pagi hingga 10 malam. Berminat?

Sekelumit tentang KRI Pasopati 410 dan Monkasel :
Kapal Selam Pasopati mempunyai panjang 76 m. Pasopati dilengkapi persenjataan terpedo yang panjangnya 7 meter berat 1.9 ton. Kapal Selam Pasopati bisa menyelam selama 7 hari dan membawa 63 ABK. # Harga tiket masuk monumen Rp 5000.

Minggu, 22 Januari 2012

Surabaya : #Penataran

02.58 Posted by Arasy Aziz No comments
Menikmati perjalanan dengan KA Penataran sembari berbagi cerita melalui media sosial Twitter.

Sebuah perjalanan insidental oleh saya (@arasyaziz), @maulanivina dan @Atikazahra8 terjadi pada suatu Sabtu pagi di awal liburan. Dengan niat awal mengunjungi seorang kawan di Tulungagung, kami justru beralih tujuan. Menuju Surabaya menggunakan KA Penataran.

Tiket KA Penataran.
Suasana dalam gerbong KA.
Layaknya perjalanan dengan kereta ekonomi lainnya, kita dipaksa maklum dengan suasana gerbong Penataran yang serba 'semau gue'. Tapi memandang keluar jendela dan sejumlah hal-hal lain kiranya dapat sedikit mengikis pemandangan tersebut. Spot-spot layak simak sepanjang perjalanan 3 jam Malang – Surabaya saya rangkaikan dalam kicauan ber-hashtag #Penataran.

  •  07.00, memulai langkah di Stasiun Malang. #Penataran 
  • Kalau saya tak salah tebak, gunung di ufuk kanan kereta ini adalah Sang Mahameru, puncak tertinggi di Pulau Jawa, berbalut awan. #Penataran 
  • Pengamen berinstrumen lengkap di Lawang menyajikan 'Sepanjang Jalan Kenangan', ada Cello-nya!! #Penataran 
  • Jelang Stasiun Bangil, sejenak manjakan mata oleh kebun Bunga Sedap Malam. #Penataran 
  • 08.30, Stasiun Bangil. #Penataran 
  • Konon Tahu Petis di Stasiun Bangil rasanya juara, pengasongnya datang langsung jadi rebutan! #Penataran 
  • Kereta mulai berderak pelan di atas Sungai Porong, tempat lumpur panas Lapindo dimuarakan. #Penataran 
  • Porong dan Surabaya dihubungkan oleh sebuah commuter line bernama Susi. #Penataran 
  • Lumpur panas Lapindo di kanan kereta, dipisahkan tanggul yang menahan amuk alam sekaligus destinasi wisata baru. #Penataran 
  • 09.08, Stasiun Sidoarjo. #Penataran 
  • Sidoarjo sebagai wilayah komuter Surabaya, sungguh kabur batas antara keduanya. #Penataran 
  •  Masuk Surabaya, bunyi super bising semakin sering mendera. #Penataran 
  • Jelang Gubeng, amati rasa 'cinta' Arek Suroboyo kepada Arema melalui graffiti vandal di dinding kota. #Penataran 
  • Pemandangan khas bantaran rel di metropolitan, rumah kardus. #Penataran 
  •  09.50, Stasiun Gubeng Suroboyo cuk! #Penataran

Dengan berbagi kisah di linimasa Twitter, pejalanan dapat terasa bebeda dan menyenangkan, bukan?

Sekelumit tentang KA Penataran :
KA Penataran merupakan kereta ekonomi yang melayani rute Surabaya – Malang – Blitar atau Surabaya - Malang. Uniknya, kereta api ini berganti nama menjadi KA Rapih Dhoho ketika tiba di Stasiun Blitar dan kemudian berganti melayani rute Blitar – Kertosono – Surabaya # KA Penataran memperoleh nama dari sebuah candi di daerah Blitars # Harga tiket Malang – Surabaya Rp 4000

Catatan :
Awalnya sejumlah tweet menggunakan hashtag #Surabaya , namun demi runtut cerita yang tematik semua tweet diganti menjadi ber-hashtag #Panataran dalam postingan ini.

Kamis, 19 Januari 2012

Malang : Dua Sisi Pantai Gua Cina

06.16 Posted by Arasy Aziz 1 comment
Berawal dari sebuah kekecewaan, kami justru menemukan destinasi baru. Sebuah pantai yang layak masuk dalam daftar tujuan anda dalam lawatan ke selatan Malang. Pantai Gua Cina dengan segala keunikannya.

Dasar mahasiswa. Meski sedang UAS, dengan jeda waktu antar ujian yang lebih dari 24 jam, saya dan teman-teman memilih membunuh waktu dengan berwisata. Jarak 70 km lebih kami libas demi memuaskan dahaga akan hiburan ditengah penat ujian.Tujuan kami pantai Sendang Biru di selatan Malang.

Dua jam berlalu sudah, dan gerbang Pantai Sendang Biru mulai tampak.Sayang sekali huru-hara yang sudah membuncah di dada kami harus padam mendadak. Secara sekilas Sendang Biru tak lebih dari pelabuhan kapal ikan. Kami yang sejak awal memang berniat berburu pasir dan debur ombak harus mengelus dada. Tapi tunggu, saya dan seorang kawan menolak kecewa dulu, sembari memutuskan untuk melanjutkan perburuan pantai dan meninggalkan kawanan kami sejenak. Usai berkendara selama 30 menit, kami memperoleh pencerahan, sebuah papan bertuliskan Pantai Gua Cina. Senyum kami mengembang, sebentang pantai berpasir dan debur ombak khas pantai selatan terpapar di depan mata!

Pantai Gua Cina dari sudut pandang sebuah papan petunjuk.

Pantai Gua Cina yang terletak di Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang ini memiliki dua sisi yang bertolak belakang tekstur pantainya, menjadikannya unik. Sisi pertama didominasi pantai berbebatuan karang sementara di sebelah barat terbentuk pantai yang lebih halus dan berpasir. Keduanya dibatasi oleh sebuah karang besar. Pantai ini menempati area seluas kurang lebih 11 hektar dan terletak agak tersembunyi dari jalan raya.Untuk mecapainya dibutuhkan kesabaran ekstra mengingat satu-satunya jalan akses kesana masih berupa tatanan bebatuan yang siap membuat shockbreaker kendaraan bekerja keras. Pemerintah memang telah berencana memperbaiki jalanan ini seiring dengan menyeruaknya semangat Visit East Java dan realisasinya agaknya telah terlihat. Tatanan batuan tadi nantinya menjadi alas dari jalan beton yang konon telah direncanakan.

Sisi berkarang pantai Gua Cina.

Pantai berpasir halus disisi yang lain.

Pantai Gua Cina memiliki hamparan pasir berwarna putih.

Nama Gua Cina sendiri sebenarnya merupakan nama sebuah gua yang berada di kawasan pantai ini dan terletak di dalam karang yang membatasi dua sisi pantai. Menurut cerita masyarakat setempat, sejak dulu gua ini seringkali digunakan sejumlah orang untuk melakukan ritual-ritual metafisika yang masih berlangsung hingga saat ini. Suatu ketika, seorang Cina (yang dimaksud barangkali seorang peranakan Tionghoa) melakukan meditasi dan meninggal dunia di gua ini. Kata 'Cina' pun disematkan pada nama gua ini. Saya sendiri sempat mencoba masuk kedalam gua sembari memerhatikan interior gua dari mulutnya. Untuk masuk lebih jauh saya agaknya belum berani, belum cukup kuat batinnya kata seorang bapak kepada saya. Saya tersenyum.

Penulis mencoba meneliti interior gua dari mulutnya.

Formasi stalagtit muda diatap gua.

Usai berkumpul kembali, kami langsung mengakrabi bibir pantai dan air laut yang disajikannya. Pengunjung perlu memerhatikan larangan berenang yang terpampang disejumlah titik. Hal yang wajar, mengingat pantai Gua Cina merupakan bagian dari rangkaian pantai selatan Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Perilaku ombaknya terkenal ganas. Sebetulnya masih banyak kegiatan lain yang ditawarkan kawasan ini yang dapat mebuat kita melupakan niat berenang, seperti berkemah, outbond dan kegiatan luar ruangan lainnya. Namun karena keterbatasan waktu, kami pun memilih bercengkrama di pinggiran dan membiarkan diri dimainkan sisa-sisa hempasan ombak.Tetap saja, hal ini tak layak ditiru.

Jejak langkah kawan-kawan yang terekam di pasir pantai.

Kultur ombak pantai selatan yang menderu ganas.

Salah satu spesies anggota philum Arthropoda di atas bebatuan karang.

Merasa terpuaskan kami pun berkemas untuk kembali melibas jarak menuju Kota Malang. Terselip harapan seorang bapak pensiunan dinas Perhubungan yang bertugas menjaga kawasan agar kami mengajak teman lebih banyak lagi. Harapan bapak itu saya tanam saja di dalam hati sembari berjanji untuk berkunjung dilain kesempatan.

Catatan :
Mengunjungi pantai ini diluar akhir pekan sangat disarankan. Kondisi yang sepi membuat pemandangan dan suasana pantai ini menjadi lebih memikat. Pada akhir pekan, padat!

Senin, 02 Januari 2012

Malang : Happy New Year Brawijaya!!

17.18 Posted by Arasy Aziz No comments
Salah satu pusat peradaban Kota Malang menolak ketinggalan merayakan detik-detik pergantian tahun. Semangat awal baru tak luntur meski seharian penuh Malang diguyur hujan. Acara yang dirangkaikan dengan Dies Natalies ke-49 kampus tertua di Bumi Arema ini didesain megah dan dipadati ribuan penyimak. Panggung disiapkan, seni dipentaskan, kembang api dinyalakan, kemudian 1, 2, 3.. selamat ulang tahun Brawijaya, selamat tahun baru Brawijaya!!

Gedung rektorat dan kerumunan yang menyemut.




Terompet-terompet di depan gerbang UB menanti pembeli yang singgah.


Kembang api ditembakkan.



Seorang gadis menikmati cahaya kembang api di langit Brawijaya.


Siluet kaki-kaki penyimak tahun baru a la Brawijaya.
Beberapa pengunjung menyempatkan berfoto dengan latar bundaran Rektorat.
Sisa perayaan. Terompet yang tergeletak begitu saja di jalanan.





Selasa, 27 Desember 2011

Bandung : Kemilau Hijau TAHURA Juanda

04.40 Posted by Arasy Aziz 2 comments
Pada suatu pagi saya memutuskan untuk membuka-buka notebook  dan mencoba memilah-milah file yang kiranya masih dibutuhkan dan yang telah layak untuk di recycle bin-kan. Pandangan saya kemudian tertumpu pada sebuah folder yang memaksa saya tersenyum, sembari mengeja kembali kenangan akan masa taman kanak-kanak dalam sebuah darmawisata ke TAHURA Juanda. 

Kunjungan saya ke TAHURA Juanda sebenarnya telah terjadi cukup lama, tepatnya pada pehujung bulan Juni lalu. Namun disebabkan kurangnya waktu, postingan tentang kawasan ini (dan  sejumlah spot menarik lain di Bandung) harus tertahan beberapa waktu.

Usai berkunjung ke Museum Geologi Bandung, saya menantang seorang teman untuk melanjutkan perjalanan, mendaki jalan menuju TAHURA Juanda di Dago Atas. Bukan tanpa alasan. Sudah cukup lama saya tak berkunjung ke kawasan hutan ini, sehingga keinginan untuk bersua terus mengalir. Terlebih terdapat catatan  dalam memori saya mengenai perjalanan darmaisata taman kanak-kanak saya dahulu. Beruntung si teman mengiyakan, alhasil dimulailah petualangan kami. Usai berjalan kurang lebih 15 menit kami akhirnya mencapai gerbang. 

Papan penunjuk awal ke arah ke gerbang TAHURA.

TAHURA Juanda, yang dahulu bernama Wisata Alam Curug Dago, memiliki luas area sebesar 590 hektar, dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada 14 Januari 1995. Terdapat sejumlah kegiatan yang dirkomendasikan untuk dilakukan ditempat ini seperti lintas alam, jogging, berkemah dan mandi di sejumlah air terjun yang terebar di kawasan ini. Saya dan teman memilih menikmati berjalan kaki sembari menikmati tanaman hijau di sekitar jalurnya. Destinasi pertama kami adalah sepasang gua buatan peninggalan kolonial Jepang dan Belanda. 

Sisi kiri dan kanan ditutupi flora tropis.

Kami terlebih dahulu menyambangi Gua Jepang. Melihat gelapnya kondisi didalam, kami manut saja ketika ditawari jasa pemanduan dan senter oleh warga sekitar. Kondisi didalam cukup lembab dan apek mengingat kurangnya cahaya matahari yang menerobos. Pada sejumlah titik terdapat galian-galian yang letaknya cukup tinggi dari dasar gua yang konon digunakan untuk beristirahat para tentara Jepang. Usai tur, kami memberikan sejumlah uang (yang menurut saya cukup mahal untuk kantong calon mahasiswa) kepada si pemandu sebagai ucapan terima kasih. Sebuah pelajaran bagi saya agar menegosiasikan terlebih dahulu kisaran biaya agar tak kaget diakhir.

Salah satu dari tiga pintu masuk Gua Jepang.

Kami berpindah ke Gua Belanda yang berada sekitar 500 meter dari Gua Jepang. Di tengah perjalanan kami bertemu seorang warga asing yang terlihat kebingungan. Saya tersadar akan kiurangnya informasi dalam bahasa asing pada papan petunjuk yang tersebar di kawasan ini. Usai berjalan kaki 5 menit, kami tiba di Gua Belanda. 

Papan petunjuk yang tersebar di sejumlah titik.

Di banding Gua Jepang, Gua Belanda memiliki paras yang lebih modern. Padahal jika ditilik, usia Gua Belanda relatif lebih tua. Hal ini disebabkan fungsi Gua Belanda yang awalnya ditujukan sebagai terowongan PLTA tetapi pada saat Perang Dunia Ke-II Gua Belanda berubah fungsinya menjadi Pusat Stasiun Radio Telekomunikasi Militer Hindia Belanda. Di gerbangnya kembali kami ditawari jasa pemandu, namun kali ini kami tolak secara halus mengingat kondisi gua yang relatif lebih terang.


Pintu masuk Gua Belanda. Disekitarnya terdapat sejumlah tukang ojek yang menawari  jasa untuk menjangkau sejumlah air terjun.
Seorang kawan dalam balutan kegelapan interior Gua Belanda.

Tak lupa kami ditawari jasa ojek untuk mencapai air terjun yang terletak di kawasan ini, namun dengan berat hati mesti kami tolak mengingat hari mulai kelewat sore. Dalam kawasan TAHURA Juanda sendiri terdapat setidaknya lima air terjun, diantaranya Curug Dago, Curug Omas dan Curug Lalay. Sebelum pulang, saya mengajak teman mengunjungi Plaza Juanda dan kolam buatan milik PLN. Disinilah semua kenangan akan  darmaisata taman kanak-kanak saya bermuara. Saya mereka kembali celotehan, tawa dan canda bersama kawan-kawan kecil dahulu, menjadikan perjalanan saya sore itu ditutup dengan menyenangkan.


Plaza Juanda dan selaksa ingatan saya tentangnya.
Cahaya matahari sore yang menembus celah-celah pepohonan.