Pernahkah kamu merasa karib pada detil-detil yang, ganjilnya, baru pertama kali kamu sambangi; terasa seperti rumah sendiri, seakan-akan perjalananmu adalah sebuah kepulangan kedua?
Sensasi itu saya rasakan beberapa bulan
silam, di kepulauan Banda.
Suatu waktu, sekadar membiarkan namanya
terbersit di benak saja sudah mendirikan bulu-bulu roma. Membayangkan sebuah
ziarah kepada muasal sejarah bangsa Indonesia, latar lintas zaman bagi banyak
cerita kita.
Awalnya saya pikir, merinding tak lain
merupakan efek samping dari kegirang yang meluap-luap. Serupa girang seorang
anak pada awal dekade 2000-an yang pada suatu malam diperbolehkan membeli
Tamiya, setelah berhari-hari hanya bisa memandang iri temannya beradu balap
dari pinggir lintasan. “Besok, ikut Ayah ke pasar.” Girang bukan main, hingga
jarak antara satu menit dengan menit yang lain tampak jauh berlipat-lipat. Rasa
girang yang meluap-luap itu cairannya tumpah hingga membanjiri tengkuk tempat
seluruh bulu roma berkerumun. Bulu roma, bagaimanapun, adalah bulu-bulu yang
amat muda. Ketika air tumpah dari atas, tanpa sadar satu persatu akan mulai
menari mengira hujan tengah turun.
Dapat dikatakan, saya memang
menanti-nanti perjalanan Banda Naira, dan kepulauan Banda secara umum, setelah
bertahun membayangkan kebersahajaan kawasan ini justru dari unit folk nelangsa
dengan nama serupa. Atau diungkit secuil dalam edaran biografi singkat Bung
Hatta di internet (sayang sekali saya belum membaca autobiografinya yang tiga
jilid itu). Ide perjalanan ke Banda
Naira barangkali merupakan salah satu yang paling membangkitkan gairah vakansi
saya. Sejak dimulai perencanaannya, hingga tubuh saya perlahan meniti tangga
kapal penumpang yang sesekali bergoyang di lamun ombak Tual.
Belakangan, kegirangan berganti dengan perasaan yang lain.
Rasa girang tetaplah pemicu perjalanan yang penting. Titik pijak bagi alunan
kaki saya, namun campur tangannya berhenti disana. Sementara itu, katalisator
koor bulu roma sesungguhnya tengah bersembunyi, menunggu saya di Banda. Mewujud
dalam pribadi manusia-manusianya, serta detil-detil yang memanjakan seluruh
indera.
***
KM Tidar yang membawa saya perlahan-lahan
memasuki perairan pesisir kepulauan Banda. Ratusan ton beratnya, berkelok di
selat antara gunung api Banda dan pulau Banda Besar. Air asin berwarna biru
kelam, tanda kedalaman, berganti dengan warna-warna toska yang menyegarkan.
Jika saja bisa berenang, saya barangkali sudah meloncat dari ketinggian selasar
kapal ke laut di bawah sana. Menoleh ke kanan, dermaga pelabuhan Banda Naira
tampak semakin dekat.
Dari atas kapal, saya dapat melihat
gerombolan orang asing yang tengah mengaso di halaman belakang sebuah bangunan
yang tampaknya adalah penginapan. Letaknya persis bersebelahan dengan
pelabuhan. Beberapa penumpang yang berkerumun di tepian anjungan
melambai-lambai kepada mereka dengan antusias. Mencoba menarik atensi, berbagi
fokus dengan tumpukan barang bawaan masing-masing. “Mister! Mister!” Sebagian
dari mereka akan turun di pelabuhan Banda Naira sebagaimana saya. Dari
kejauhan, sang lawan interaksi tampak tersenyum-senyum tipis saja.
Butuh beberapa menit hingga kapal
akhirnya benar-benar sandar di beton dermaga yang menjorok ke laut. Butuh
tambahan bebeberapa menit setelahnya hingga kaki saya akhirnya benar-benar
menjejak tanah Banda. Saya berjalan sendirian, perlahan-lahan, di tengah
kerumunan penumpang kapal yang berlalu menuju gedung pelabuhan. Gelombang ini
bertemu dengan gelombang lain, campuran dari kulit angkut dan keluarga
penjemput yang berebut masuk ke kapal. Di pundak sebagian mereka, tersemat
karung-karung penuh yang menguar aroma yang teramat memanjakan penciuman. Bau
legendaris yang menggoda bangsa Eropa untuk menjelajah Samudra Atlantik Selatan
dan Hindia berabad silam. Karung-karung pala dan cengkih dinaikkan ke kapal.
Terselip sebiji distraksi di sela
gelombang manusia yang setengah bergegas itu,
Tak jauh dari saya, seseorang tengah menjebak diri dalam sujud yang
panjang. Tak peduli dengan panas beton yang terbakar matahari dan orang-orang
yang beranjak, tak kunjung bangun hingga setidaknya beberapa menit. Saya
menebak-nebak, dia adalah perantau yang bertahun-tahun lamanya meninggalkan
Banda Naira, tertatih mengumpul seperak dua agar dapat pulang. Barangkali baru
saja berkata cukup pada perjudian dengan hidup, di salah satu kota besar tempat
singgah KM Tidar. Ketika saya mengembalikan pandangan ke arah depan, beberapa
wanita tampak berlari menerobos penjagaan pelabuhan. Dua orang hampir menabrak
saya, sebelum menggeser langkah sedikit ke kanan dan kiri. Bersisa angin
kibasan tubuh. Di tengah dermaga, belahan-belahan keluarga ini bertemu, melepas
haru. Sang priayang masih setengah berlutut menyambut pelukan penjemputnya.
Pemandangan ultra sinematik. Melihat masing-masing
tenggelam dalam syukur, adalah ramah
tamah pembuka dari Banda Naira yang amat
berkesan.
Saya tidak disambut siapa-siapa ketika
keluar dari pintu pelabuhan. Mengingat matahari telah tepat di atas kepala,
saya memutuskan untuk memulai penelusuran dari desa Lonthoir, pulau Banda
Besar. Waktu menjelajah Banda Naira saya sisakan di sore hari, sembari mencari
penginapan nantinya. Untuk saat ini, saya perlu menyeberang terlebih dahulu.
Menurut informasi yang saya peroleh dari
internet, di Lonthoir-lah kebun-kebun pala tertua di kepulauan Banda masih
dibudidayakan dan berproduksi. Kepada penjaga pelabuhan, saya bertanya mengenai
cara menyeberang ke sana. Dengan baik ia mengarahkan saya ke dermaga pelabuhan
nelayan, beberapa ratus meter di sisi lain Banda Naira. Berjalan kaki melalui
pasar kecamatan. Di dermaga telah menunggu beberapa kapal yang akan membawa
penumpang ke beragam tujuan di memasing pulau di Banda. Saya memilih kapal
menuju Lonthoir, bersama penumpang lain.
Saya menduduki satu bagian bangku di
pojokan, mengawasi lambung kapal yang hampir terisi penuh dengan orang-orang
yang naik satu persatu. Di sebelah saya
berdiam seorang pria paruh baya dengan mata cokelat buram dan paras serupa
Eropa. Tampak mencolok dibanding penumpang lain yang berkulit cokelat gelap. Kepada
saya, mereka, termasuk pria Indo tadi, melempar senyum. Salah satu diantaranya
membuka percakapan, menanyakan asal saya.
“Saya dari Malang, pak. Barusan turun
dari Tidar, naik dari Tual.”
Penumpang yang lain, seorang pria tua
berwajah ramah dengan perawakan kecil, menimpali bahwa menantunya rupanya
berbagi kapal yang sama dengan saya. Ia menunjuk seorang wanita yang sibuk
dengan bayi di ujung lambung kapal, dan memperkenalkan pria di sebelahnya
sebagai anaknya. Sang mantu adalah seorang keturunan penduduk asli Banda yang
kini bermukim di Banda Eli, ssalah atu ohoi
di Maluku Tenggara. Ia mulai menanyakan tujuan saya melanglang ke Banda. Baronda-ronda, dalam bahasa setempat.
“Ingin melihat kebun Pala,” saya
katakan.
“Wah, kalo di Lonthoir memang banyak
kebun pala,” sang penanya pertama kembali menimpali. “Kalau mau, nanti saya
antarkan ke salah satunya.”
Ditengah siang yang seterik ini, tawaran
orang ini sungguh menggiurkan. Akan sangat memudahkan bagi saya untuk segera
sampai ke tujuan. Di sisi lain, saya tak menyangka ia akan begitu saja
menawarkan diri kepada saya yang sesungguhnya asing. Sayangnya, saya teringat
bahwa waktu shalat Jumat akan segera tiba.
Tawaran tersebut kemudian terpaksa saya
tolak. Pria baik tersebut tampak sedikit kecewa. Sebagai gantinya, ia memberi
tahu beberapa lokasi yang layak dikunjungi. “Pokoknya nanti tanya saja ke
orang-orang. Nanti mereka kasih tunjuk.” Di dermaga desa Lonthoir, kami semua
berpisah jalan. Saya bergegas menuju masjid. Adzan sudah berkumandang di
langit.
Keputusan untuk tetap mendirikan sholat
Jumat rupanya tak buruk-buruk amat. Pertama-tama, bebauan harum semakin tajam
semakin saya mendekati masjid. Kejutan. Tepat disampingnya, terhampar kebun
pala meskipun tak benar-benar luas. Di dalamnya berdiri belasan pohon. Dapat saya rasakan kedua mata saya
berbinar-binar. Saya mengamati bebuahan pala yang mekar dari bawah. Dagingnya
yang terbelah menampilkan biji berbungkus urat-urat merah. Komoditas mahal,
penyedap rasa sekaligus ramuan hangat bernama fuli. Kegiatan ini saya lanjutkan hingga bermenit-menit seusai
shalat Jumat ditunaikan.
Cukup puas, saya melanjutkan
penjelajahan saya di Lonthoir. Kali ini saya menjajal situs tangga-tangga yang anak pertamanya
dimulai beberapa meter dari masjid. Baru setengah jalan, ketinggian tangga
dengan kemiringan hampir 70 derajat mulai menguras tenaga saya. Saya berpapasan
dengan seorang gadis setempat yang berlalu enteng saja. Melihat saya mengambil
nafas, ia tersenyum-senyum sendiri. Saya membalasnya dengan kecut, menahan diri
untuk tidak mengatai diri sendiri. Sebagaimana diceritakan Maria di KM Tidar,
ada pantangan yang melarang kita mengeluh saat menaiki tangga-tangga. “Teman
saya,” ujarnya, “langsung nda bisa bangun dari tempat tidur berhari-hari
gara-gara mengeluh. Betulan itu pantangan.”
Saya cukup lega karena akhirnya dapat
mencapai puncak tangga-tangga. Kepada
dua orang remaja beririsan jalan, saya meminta arah menuju pemakaman Belanda di
Banda yang juga kesohor. Mereka melempar telunjuk ke satu arah. “Nanti di sana
belok kanan, baru dapat sumur keramat.”
Saya mengikuti arah yang mereka
tunjukkan. Berpapasan dengan sumur keramat, kemudian menanjak kembali ke puncak
bukit. Sesampainya di sana, saya sedikit terkejut. Alih-alih komplek perkuburan
tua, yang saya temui justru barisan nisan pemakaman desa dengan pohon-pohon
kamboja segar. Di rumah terdekat, saya kembali bertanya arah kepada seorang
lelaki dewasa yang duduk terkantuk-kantuk di teras. Ia bangkit dari kursi
plastiknya, menjelaskan sedikit, lalu memanggil anaknya di dalam. “Coba antar
dulu ini mas ke Kubur Satu Jengkal”. Kubur Satu Jengkal adalah situs sejarah
lain yang rupanya berlokasi di pemakaman tersebut. Namanya menggambarkan secara
harfiah ukuran makam yang memang amat kecil. Mitos mengatakan, ukuran kuburan
pada mulanya normal dewasa dan menyusut seiring waktu.
Saya mencoba menolak bantuannya, sedikit
merasa sungkan karena mengganggu waktu istirahat siang. Namun si anak
membalasnya dengan ajakan ramah. Bersamanya saya menelusuri celah-celah petak
kuburan hingga ke tengah, lokasi situs berada. Untuk kedua kalinya dalam sehari,
saya bertemu keramahan yang tak dibuat-buat.
Setelahnya, destinasi saya bergeser
menuju benteng Hollandia, satu-satunya tangsi pertahanan kolonial di Lonthoir.
Karena kelelahan, saya memutuskan mampir ke salah satu warung sembari meminta
izin menumpang beristirahat. Tenggorokan terlanjur kering setelah beberapa jam
berjalan kaki. Dalam sekali dua teguk, sebotol air mineral yang saya beli
tandas. Si pemilik warung sibuk mencari kutu di sela lebat rambut anaknya.
Kepadanya saya bertanya arah menuju Hollandia. Percakapan berkembang ke arah
yang penuh kejutan.
“Saya dari Malang, tapi aslinya dari
Gorontalo,” ucap saya kepada sang ibu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Rita
Martinus. Jawabannya membuat saya tertarik lebih jauh.
“Saya punya keluarga di Gorontalo,”
sembari tetap menekuni kepala anaknya.
“Tinggal dimana?”
“Di kota. Tapi sekarang sudah di
Jakarta. Namanya Norman Kamaru.”
Saya terperanjat. Siapa orang di bawah
langit Gorontalo yang tidak mengenal nama ini; ex-anggota Brimob yang terkenal
karena ber-lipsync lagu India, belakangan memilih fokus pada dunia
tarik suara. Dalam karirnya yang
pendek, ia dipuja-puja sebagai wajah Gorontalo. Definisi paripurna dalam versi
nestapa atas pameo legendaris Andy Warhol.; dimasa depan, orang-orang akan
terkenal dalam 15 menit.
Sudah jadi rahasia umum bahwa ibunda
Norman Kamaru berasal dari kepulauan Maluku. Tiba-tiba saja saya terduduk di
rumah masa kecilnya. Tiba-tiba saja orang-orang ini terasa terhubung dengan
saya.
Badai de javu belum tuntas. Seseorang kemudian menyambangi warung Rita di
tengah percakapan kami. Segera saya kenali ia sebagai anak dari pria tua yang
bercakap dengan saya di kapal penyeberangan. Ia tersenyum sepintas, lalu masuk
ke warung menuntaskan tujuannya. Sebelum berlalu kembali ke rumahnya, ia
menawari saya agar mampir. “Saya masih beristirahat, Bang.” Ia menjawab dengan senyum yang lain, kemudian
undur diri.
Beberapa menit kemudian, ayahnya datang
tergopoh-gopoh dari belokan jalan. Mukanya tampak berseri-seri, senyum
mengembang terekam dari jauh. Ia menyapa saya hangat, kebapakan, menjabat
tangan saya erat. Kembali memperkenlkan saya kepada Rita sebagai orang yang
berbagi cakap di atas kapal.
“Sudah baronda ke mana saja? Mampir
makan dulu di rumah!”
Pada titik ini, saya merasakan sebuah
sensasi yang ganjil. Orang-orang Banda memang terkenal akan keramahannya, namun
baru kali ini saya dapat menyaksikannya secara langsung. Mereka menghampiri
saya seolah-olah menjenguk tetangga yang
baru pulang dari kota. Menyiapkan telinga untuk kisah-kisah yang barangkali
dilebih-lebihkan. Tak sungkan untuk mengundang mampir ke rumah, menawarkan
kue-kue hangat dan jika perlu tempat menginap. Yang terasa adalah rasa hangat
di tengah orang-orang yang seolah telah bersilangan jalan dalam hidup saya
bertahun-tahun. Tetiba saja, saya merasa telah lama menghuni desa dan gugus
pulau-pulau ini. Lonthoir dan Kepulauan Banda. Tiba-tiba saja, saya merasa
tengah berada di bawah atap rumah kedua.
Saya bercakap-cakap cukup lama dengan
dua orang tersebut; Rita Martinus dan si bapak bernama Hud Robo. Rupanya, saya
akan berbagi kapal dengan orang yang saya sebut belakangan, pun dengan tujuan
berbeda. Hud akan turun di pelabuhan
Amahai, Maluku Tengah. Di pulau Seram ia akan berdagang, mengisi hari-hari
pengganti rutinitasnya sebagai petani pala serabutan.
Belakangan, adik Rita bergabung dari dalam
rumah. Pria ini memperkenalkan dirinya sebagai Fadlun Martinus. Jika tersenyum
lebar, geligi Fadlun yang rontok di beberapa bagian turut mengembang. Saya
tersadar telah duduk terlalu lama di beranda rumah Rita. Menengok sebentar ke
jam digital di smartphone saya, waktu
telah menunjukkan pukul 2 siang. Saya beranjak, bergegas pamit kepada tiga
orang baik hati yang telah menerima saya. Satu persatu saya menjabati tangan-tangan
mereka yang liat. Kepada Hud Robo, saya berjanji untuk bertemu kembali dengannya
besok di atas kapal. Ia sempat menawari saya untuk menginap saja di rumah
saudaranya sembari menunggu kapal. Saya memilih untuk tinggal di penginapan
saja agar tak merepotkan lebih jauh. Lagipula, ia merencanakan menyeberang kembali
ketika hari sudah sore. Pada saat itu, saya harusnya sudah berkeliling Banda
Naira.
Badan saya sesungguhnya mulai terasa
letih, apalagi matahari semakin menyala menggila. Terasa sejengkal saja di atas
kepala. Namun memilih kembali ke Naira sekarang jelas pilihan yang tak bijak.
Tinggal satu situs desa Lonthoir yang belum disambangi di daftar saya, benteng
Hollandia. Tanggung sekali. Akhirnya saya mulai menyusuri jalan masuk menuju
benteng yang terselip di antara rumah warga. Berupa sepetak titian tanah dengan
pepohonan di kanan-kirinya. Hollandia sendiri dibangun pada abad ke-17 di atas
ketinggian sebuah bukit. Bangunannya menghadap ke selat antara Banda Besar dan
gunung api Banda. Dari puncaknya, pengamanan kolonial mengawasi lalu lintas
kapal di pelabuhan Banda Naira.
Langkah saya sedikit tertatih-tatih.
Semakin lama, salah satu sisi dinding semakin tampak dekat dengan latar puncak
gunung api Banda. Mata saya mulai dapat menangkap detil-detil tekstur bangunan.
Warna batu andesit yang menyusunnya mulai berubah kecokelatan, dengan lumut
menjalar di sana-sini. Sejenak, saya membiarkan tangan saya menjelajah. Agar
lebih puas mengamati, saya bergeser semakin ke depan mencari pintu masuk
benteng.
Sebelum menemukannya, penorama yang
sedari tadi tertutupi dan hanya tampak sepintas-pintas mulai membentuk dalam
cakrawala yang lebih luas. Saya terkesiap, darah terasa mendesir berlomba
menuju ke atas kepala. Tengkuk saya meremang diserang gelombang gaduh
kebangkitan bebuluan roma. Tanpa ampun, saya mengerahkan tenaga untuk berlari
memasuki benteng. Di salah satu sisi bagian dalam benteng tersandar seunit
tangga kayu guna menjangkau puncak sisa-sisa bastion. Bergegas menaikinya,
melempar tas saya sekenanya pada ruang lapang dipuncaknya, lalu menatap bentang
alam yang kini terlihat semakin jelas dari ketinggian. Saya tenggelam mematung bermenit-menit,
menyisakan bibir semata yang terus bergerak melantun puja-puji kebesaran
pencipta semesta. Kombinasi hormonal berganti-ganti dengan cepat, lalu
menyisakan haru yang panjang yang terasa di ujung mata.
Inilah klimaks perjalanan saya di
Lonthoir. Di hadapan saya terbentang lanskap gunung api Banda yang diitari
lautan dangkal kehijauan. Teduh, teramat tenang, serupa giok yang jatuh dari
langit.
(Bersambung ke Tentang Rumahku - Part 2)
Sekelumit tentang Desa
Lonthoir, Pulau Banda Besar:
Desa Lonthoir merupakan desa tertua di
kepulauan Banda, terletak di pulau Banda Besar. Dapat dicapai dengan kapal
kecil dari dermaga perikanan Banda Naira. Untuk menyeberang dikenakan tarif Rp
5.000 sekali jalan. Mengelilingi seluruh desa dapat dilakukan dengan berjalan
kaki atau menyewa ojek dengan tarif sekitar Rp. 100.000 (dengan rute menjangkau
seluruh pulau Banda Besar).
P.S : Judul “Tentang
Rumahku” diambil dari judul album unit folk asal Bali, Dialog Dini Hari. Kawan
yang pas menemani waktu sore hari di Banda.
0 komentar:
Posting Komentar