Saya gelisah. Saya gelisah sendirian di atas KM Tidar yang bergerak perlahan membelah laut Banda. Sebidang laut yang tak kurang 500.000 km2 luasnya, dengan titik terdalam mencapai 6,5 km. Menoleh ke kanan, lautan biru. Menoleh ke kiri pun, hanya ada jutaan kubik air dalam jarak pandang tak hingga. Jam digital di smartphone saya telah menunjukkan pukul 8 pagi, namun belum ada tanda-tanda kapal akan segera merapat. Belum tampak daratan.
Sekali lagi saya merogoh dompet,
mengecek detil-detil perjalanan yang tercantum pada tiket kapal yang terselip
di dalamnya. “Sialan,” ujar saya dalam hati, “jam segini harusnya saya sudah
sampai,” mengacu pada waktu ketibaan ideal yang tertera di sana.
Umpatan ini bahkan telah meluncur
berjam-jam sebelumnya, terus kembali ke selisih bibir saya ulang berulang. Pun
tindakan sia-sia mengecek tiket perjalanan. Mengeluarkannya, sebentar membiarkan
mata saya meneliti, kemudian memasukkannya kembali. Di atas KM Tidar, tindakan-tindakan
sederhana nan repetitif semacam itu pun tetiba jadi bermutu. Sekurang-kurangnya
bagi upaya mengusir jenuh. Lebih dari 10 jam telah berlalu sejak kapal
meninggalkan pelabuhan Tual tempat saya naik. Kesalahan terbesarnya, saya tak
membawa satupun buku untuk dibaca sebagai teman perjalanan.
Bagaimanapun ini adalah kali pertama,
setelah belasan tahun saya kembali menumpang kapal Pelni. Dalam selang waktu
yang lama itu, saya lebih banyak bepergian dengan moda transportasi yang lain, menawarkan
durasi perjalanan yang lebih efisien. Semisal ketika menuju Tual, kota tempat
saya bekerja beberapa bulan silam. Dalam situasi normal, perjalanan pulang
pergi Malang-Ambon-Tual dapat ditempuh dengan pesawat udara. Total durasi
bersih perjalanan kurang dari 3,5 jam.
Namun kali ini sedikit pengorbanan perlu dilakukan. Jauh hari saya memutuskan
mengalihkan budget transportasi udara ke dalam perjalanan dengan kapal laut.
Legenda dari sebuah kepulauan terasing di tengah laut Banda telah mengerek
sesuatu dari sanubari saya. Mendengar namanya berulang di dalam benak,
berkali-kali mendirikan bulu roma. Sebuah perasaan rindu akan tanahnya seumur
hidup tak pernah terjejak. Fernweh.
Banda Naira memanggil saya pulang.
Kebosanan ini akan segera terbayar beberapa jam lagi.
***
Malam sebelumnya di pelabuhan Tual.
Saya gelisah. Sebuah kegelisahan
permulaan yang menjelaskan kegelisahan yang lain. KM Tidar yang hendaknya
membawa saya ke Banda Naira tak kunjung datang. Terlambat berjam-jam dari
jadwal keberangkatan yang ditetapkan pukul 17. Beruntungnya, kali ini saya
gelisah tak sendirian. Larson, tukang ojek kawan saya di Tual, berkali-kali
berusaha menenangkan. Ia telah menemani saya sejak siang hari, dan belum
beranjak. “Wajar ini. Biasanya kapal memang belum datang jam segini.”
Saya tersenyum padanya, berterima kasih
atas upayanya. Diam-diam, tatapan mata saya kembali menaut kepada dermaga
pelabuhan. Masih belum ada tanda-tanda kapal merapat.
Kegelisahan saya yang berkali-kali ini
agaknya beralasan, mengingat betapa rencana perjalanan saya di Banda Naira
terentang pada waktu yang amat terbatas. Kurang dari sehari semalam, terhitung
sejak kapal tiba (apabila tepat waktu) di pelabuhan Banda di hari Jumat, hingga
waktu keberangkatan kapal Pelni berikutnya yang akan membawa saya ke Ambon pada
Sabtu subuh. Di luar itu, tak ada alternatif kendara lain yang mampu bersinergi
dengan jadwal pesawat saya di hari Minggu.
Saya sempat berharap pada pilihan kapal
cepat Banda-Ambon yang tersedia dua kali seminggu. Salah satunya akan berangkat
di hari Minggu dengan estimasi waktu 5 hingga 6 jam. “Tepat sekali!”, cetus
saya, sebuah kegembiraan yang terlalu dini. Belakangan saya ketahui, kapal
cepat diberangkatkan sekira pukul 10. Artinya, saya akan berkejaran dengan
waktu ketika check in. Belum lagi
menimbang lokasi pelabuhan tujuan di Tulehu, sebuah kecamatan yang berjarak 1
jam dari kota Ambon. Pilihan ini saya kubur dalam-dalam. Mungkin lain kali.
Saya mulai khawatir tak dapat menjangkau
seluruh detil Banda Naira yang jauh bergelayut di dalam imaji. Setidak-tidaknya
pada apa-apa yang telah saya sesuaikan dengan waktu yang amat terbatas. Keseluruhan
kepulauan, saya sadari sejak semula, tentulah tak akan cukup dijelajahi dalam sehari.
Pukul 9 kurang, suara parau teramat
kencang tetiba membelah udara dari laut sebelah utara kota Berulang tiga kali,
mengencang dan terasa semakin dekat sumbernya. Suara terompet kapal. Terbit
cahaya dari wajah-wajah putus asa calon penumpang yang barangkali telah
menunggu jauh lebih lama dari saya. Memutuskan bangun dari duduk panjang, lalu
mulai menyiapkan barang bawaan. Sebagian yang lain, termasuk saya dan Larson,
memilih mendekat ke celah yang sedikit terbuka di dinding pelabuhan, memberi
vista pada lautan yang gelap. “Kapal so datang,”
ujar Larson. Dimulai dari haluannya, lalu anjungan tujuh lantai yang terang
benderang dan tampak kukuh mencakar langit. Kontras dengan latar langit malam di
belakangnya yang pekat. Antusiasme saya akan perjalanan ini segera terisi kembali.
Beberapa menit kemudian, seluruh calon penumpang akhirnya dipersilakan untuk
naik ke kapal.
Pada momen ini, nuansa di seputar saya
tetiba menjadi sentimental. Sebelum masuk ke ruang tunggu, saya berbalik kepada
Larson, yang sedari tadi tampak tenang-tenang saja, untuk meyampaikan salam
perpisahan. Entah kapan kami berdua dapat bertemu kembali, mengingat perjalanan
ke Tual barangkali adalah jenis perjalanan sekali seumur hidup. Melalui lampu
pelabuhan yang menerangi wajahnya samar-samar, saya melihat kedua mata Larson
memerah. Ia menangis diam-diam.
“Saya menyesal nda bisa ngasih kamu bekal apa-apa,” ujarnya lirih. Saya berusaha
meyakinkan ia bahwa bekal yang saya bawa lebih dari cukup. Kami berjabat tangan
erat. Sosok di hadapan saya ini, bagaimanapun, telah menjadi kawan setia selama
perjalanan saya di Maluku Tenggara. Rutin menjemput saya ke bandara, lalu mengantar
ke kantor-kantor tanpa bosan. Kadang-kadang tanpa diduga, ia membawakan saya
sekantung jambu air dari pohon belakang rumahnya. Darinya, saya memperoleh
sudut pandang yang sederhana, namun layak simak, tentang hidup di kepulauan
Kei. Sosok polos yang, bersama keluarganya, lebaran idul adha tahun silam luput
menyantap daging kurban. Beberapa bulan terakhir, ia adalah tokoh penting dalam
cerita saya.
Usai memberikan ongkos untuk ojeknya
hari ini, saya mempersilakan dia untuk pulang terlebih dahulu. Sekali lagi ia
mengingatkan agar saya berhati-hati dengan barang bawaan, sebelum berlalu pergi.
Di tengah kerumunan yang berdesakan, ia menyempatkan diri untuk berbalik, lalu
melambai kembali. Saya membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum selebar
mungkin. Sebentar kemudian saya telah
melangkah menyambut dermaga. Pintu masuk kapal terbentang beberapa meter di
depan sana.
Di muara tangga naik ke KM Tidar, saya
mendadak harus berjuang. Ketiadaan sistem antrean yang jelas menciptakan
pertempuran kecil-kecilan antara ibu-ibu brutal, manula, kardus-kardus serta
barang bawaan yang oversize, dan saya
terjebak ditengah-tengahnya. Dorong mendorong terjadi, kadang-kadang dalam
tenaga yang cukup membuat nyeri. Butuh usaha ekstra agar tetap dapat bernafas
dengan baik, sembari tetap awas atas keselamatan ransel saya. Kalau-kalau ada anak
kecil yang terjepit di tengah pun perlu diantisipasi. Situasi kaeos ini bahkan
tak dapat ditangani oleh seorang perwira Angkatan Darat yang, ganjilnya, tengah
berjaga. Amukannya tenggelam, menjadi tak signifikan di tengah seruan riuh
rendah bernada putus asa dalam bahasa lokal. Lima menit kemudian, akhirnya saya
berhasil membebaskan diri dari kerumunan. Di pintu kapal, seorang Anak Buah
Kapal (ABK) menunggu sembari sesekali mengawasi tumpukan manusia di dermaga.
Kepadanya saya bertanya lokasi ruangan tempat saya menginap.
Saya sedikit beruntung karena telah
membeli tiket jauh sebelum tanggal keberangkatan, sehingga memperoleh kamar di
atas KM Tidar. Terhitung sejak pertengahan tahun 2015, Pelni sejatinya memberlakukan
sistem baru dengan menghapus kelas-kelas di atas kapal. Kini, tiada lagi
hierarki berbentuk kelas 1, 2, 3 dan Ekonomi melalui penggolongan kamar tidur.
Namun, masih ada celah kenyamanan. Beriring sistem kelas tunggal, diperkenalkan
mekanisme ticketing baru dengan
prinsip first come, first serve.
Mereka yang membeli tiket lebih dahulu berkesempatan tidur di ruangan yang
dulunya merupakan kamar kelas 1, 2 maupun 3.
Sementara mereka yang membeli tiket belakangan masih harus mengadu diri
untuk mencari kasur di kabin ekonomi yang serupa barak. Alasan sesungguhnya di
balik pertempuran kecil di dermaga. Apabila tak mendapat tempat, pojok manapun
yang tersisa dan tampak luas terpaksa diokupasi untuk sekadar meluruskan badan.
Gelaran tikar, tubuh-tubuh manusia yang terlelap tenang di tengah tumpukan
barang adalah pemandangan yang jamak di berbagai sudut kapal.
Di kamar, saya berbagi ruang dengan
seorang pemuda yang turut naik dari pelabuhan Tual, dengan tujuan Ambon. Beberapa
menit kemudian, dua orang lain yang ia sebut adiknya masuk ke ruangan mengisi
kasur-kasur yang kosong. Sekalipun, tiket masing-masing menunjukkan kategori
yang berbeda. Kedua orang yang menyusul tampak jauh lebih muda. Salah satunya
seorang pemuda lain, mengenakan singlet dengan potongan leher rendah. Yang lainnya adalah
seorang gadis dengan paras khas kepulauan. Kami menyempatkan bercakap sebentar,
mengajukan pertanyaan retoris tentang tujuan masing-masing.
“Saya turun di Banda Naira.”
Di antara ketiganya, si gadis mengaku pernah
menghabiskan seminggu dua di sana, dalam rangka Kuliah Kerja Nyata. Ia mulai
bercerita dengan antusias tentang tempat-tempat yang ia kunjungi. Sebagian
besar diantaranya telah masuk daftar saya, sebagian yang lain baru pertama kali
saya dengar namanya. Tak luput peringatan akan sejumlah hal yang pantang
dilakukan selama berkelana di Banda. “Kalo naik tangga-tangga, nda boleh mengeluh.” Tangga-tangga yang
ia maksud, mengacu pada situs berbentuk ratusan anak tangga vertikal yang
berlokasi di desa Lonthoir, Banda Besar. Gadis itu tak lupa menunjukkan
foto-foto dalam beragam pose berlatar tempat-tempat yang ia acu dalam
ceritanya. Belakangan saya ketahui namanya Maria (jika saya tak salah ingat).
Saya berterima kasih untuk cerita yang penuh semangat dari gadis yang sejatinya
berasal dari Timor Leste ini.
Kapal telah jauh lepas sandar. Tidak ada
guncangan berarti terasa di dalam kabin, pertanda air laut tenang. Hampir
tengah malam, saya memutuskan untuk beristirahat. Saya terbangun cukup dini
keesokan paginya, dan mulai melakukan kegiatan yang semalaman saya tunda. Banda
Naira masih jauh. Saya mulai mengelilingi isi KM Tidar, dari lambung hingga
ujung-ujung geladak.
Kadang-kadang, perasaan nostaligis
menyeruak kala saya mulai menangkapi satu persatu detil-detil kapal. Pada
kantin-kantin yang menyempil di pojokan. Pada lorong-lorong kapal. Pada
orang-orang yang menatap nanar, barangkali terlalu capai untuk tidur sementara
kota tujuan masih berjarak berhari-hari. Pada jeda antar lantai dengan
lukisan-lukisan besar di dindingnya. Ingatan masa balita menyembur dari salah
satu sudut gelap. Pada suatu masa saya pernah tidur bergelar tikar pada sudut
yang serupa, pun dalam kapal yang berbeda, tergeletak disela-sela tubuh Papadan
Mama.
Sejak era 80-an awal mula operasi,
hingga hari ini, agaknya memang tak banyak yang berubah dari Tidar dan
kapal-kapal sejenis. Tikar ekonomis yang terserak di lantai kapal pun rasanya
memiliki model yang serupa dengan satu yang saya gunakan belasan tahun silam.
Terbuat dari anyaman plastik bekas karung dengan alas karton cokelat. Modernisasi baru benar-benar kasat ketika
kaki melangkah ke bagian buritan. Saya mendapati satu unit Indomaret Point
berdiri di sana.
Di selasarnya, saya menghabiskan sisa
waktu perjalanan dengan memandangi hamparan biru laut Banda yang tertinggal di
belakang. Akhirnya, sebuah sudut tenang hanya bagi diri saya sendiri. Memutari mixtape yang telah saya siapkan
jauh-jauh hari, hingga pengumuman yang saya tunggu-tunggu akhirnya bergema.
Saya bergegas mengalun tubuh ke haluan kapal. Di kejauhan, gunung api Banda
yang kesohor mulai tampak. Agung menyembul ditengah-tengah biru samudra. Saya
mengecek jam digital di telepon genggam. Hari jelang siang, saya berdoa
diam-diam agar masih tersisa cukup waktu untuk mencumbui seisi kota.
“Penumpang yang terhormat, sebentar lagi
KM Tidar akan merapat di pelabuhan Banda Naira. Para penumpang yang akan
mengakhiri perjalanan di pelabuhan Banda Naira diharapkan untuk mempersiapkan
diri.”
Sekelumit
tentang KM Tidar:
KM Tidar merupakan kapal penumpang besar
yang dikelola oleh PT Pelni. Perjalanan dari Tual ke Banda Naira ditempuh
dengan durasi lebih kurang 12 jam. Tiket kapal dapat dibeli di kantor cabang PT
Pelni dengan harga Rp. 141.000 plus bea administrasi. Harga tiket termasuk
makan tiga kali sehari, tergantung pada rute yang ditempuh. Kapal tersedia di pelabuhan Tual
setiap dua minggu sekali.
P.S: Judul "Di Atas Kapal Kertas"
terinspirasi dari salah satu lagu unit folk nelangsa Banda Naira. Sayang
sekali, band keren ini tak berumur panjang. RIP.
Seru sekali perjalannya, tapi melelahkan pasti. Ke Banda Neira sambil denger lagu2 dr Banda Neira mungkin jadi impian setiap org yg suka dengan duo nelangsa folk tsb. :))
BalasHapusSalam kenal
Salam kenal Bang Johanes. Diam-diam, itu jadi cita-cita saya juga :))
Hapus