Kapankah sebuah dialek, atau cara
bertutur, menjadi patahan baru dalam lanskap sinema Indonesia? Beberapa tahun
silam, Reza Rahardian menunjukkan pendekatan wicara yang brilian dalam perannya
sebagai Habibie muda. Cara Habibie berbicara kerap kali terdengar khas; bahasa Indonesia
dari rongga yang seolah terisi penuh, berat dan dihela-hela. Reza meniru,
bahkan menduplikasinya, seolah ia Habibie yang baru saja kembali dari mesin
waktu. Kita jadi cenderung mengabaikan fakta bahwa perawakan keduanya sama sekali
tak mirip. Reza menjulang dengan hidung sedikit mancung, sementara Habibie
tampak kate dengan hidung hampir tenggelam khas orang Timur. Pencerminan yang
berhasil ini melahirkan puja-puji dan ketiban deretan penghargaan.
Namun sampai sejauh mana akting Reza yang
memukau ini berkontibusi atas bangunan sinematurgi “Habibie dan Ainun”, film
itu sendiri, secara keseluruhan? Baru saja, saya menemukan pembanding yang lain.
Terhitung sejak 19 Januari kemarin, Istirahatlah Kata-kata tayang serentak di
beberapa bioskop Indonesia. Sebuah kepulangan yang ditunggu-tunggu, mengingat film
ini telah lebih dahulu dikenal publik lintas negara setelah diputar di sejumlah
festival.
Sumber: rollingstone.co.id |
Sentrum cerita Istirahatlah Kata-kata
adalah sosok Wiji Thukul, khususnya dalam fragmen pelariannya ke Pontianak,
Kalimantan Barat. Kita tahu, melarikan diri adalah konsekuensi dari
kesenangannya untuk membikin aparatus Orde Baru terbakar, khususnya pada
periode senjakala rezim. Senjatanya, sajak. Senjatanya adalah kata-kata.
Ketika Reformasi berlangsung pada tahun
1998, usia saya notabene masih 5 tahun. Saya hampir tak punya memori apapun
tentang peristiwa akbar ini. Ingatan tentangnya sungguh tersamar, sebagian
besar bersumber dari buku-buku yang saya baca di kemudian hari. Berbagai literatur
cenderung menempatkan sejumlah nama babon politik sebagai pelakon utama
peristiwa. Narasi sejarah menyederhanakan perwatakan hanya kepada nama-nama
yang berulang tercetak di media massa.
Wiji Thukul selama beberapa waktu lebih
banyak menghuni catatan kaki. Pada kenyataannya, ia adalah penghujam rezim yang
konsisten. Mata kanannya pernah lebam akibat dipopor senjata ABRI kala turut
mengorganisasi aksi mogok buruh PT Sritex di Solo. Pada era Orde Baru, “mogok”
adalah sebuah gangguan sensitif atas hasrat stabilitas nasional. Ini adalah
serangan telak atas usaha puluhan tahun menjinakkan gerakan buruh. Buruh-buruh
Sritex kembali pada khittahnya, sebagai agen revolusi.
Thukul mendirikan Jaringan Kebudayaan
Rakyat (Jaker), sebuah wadah pengorganisasian seniman-seniman dengan
keberpihakan kepada akar rumput. Tidak sedikit diantara mereka, termasuk Thukul
sendiri, datang dari kawula yang sama; buruh, kaum tani, rakyat miskin kota. Pada
akhirnya, ia menggabungkan diri dan Jaker dengan organ politik yang lebih
praktikal, Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dan sebagaimana mogok, mendirikan partai
politik adalah tindakan yang sama subversifnya. Kata subversif semakin identik
dengan PRD seiring popularitasnya yang menanjak, hingga dihancurkan sementara
oleh pergerakan jejaring militer Soeharto
Pasalnya adalah peristiwa 27 Juli 1996,
yang diketahui sebagai tanggal penyerangan atas kantor pusat Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Pada saat itu, partai dipimpin oleh Megawati Soekrnoputri.
Menyandang nama Soekarno membuat banyak orang menaruh harap. Seolah ada
kesepakatan umum untuk menjadikannya simbol, personifikasi atas harapan. Thukul,
bersama PRD, berada dipihaknya. Tentu saja, sebagai partai yang notabene “didirikan”
sebagai strategi politik pengusaan total a
la Soeharto, tak semua anggota PDI sepakat dengan kepemimpinan Mega.
Kerusuhan pada 27 Juli akhirnya pecah oleh serangan faksi yang nelangsa ini.
Ketika kekerasan di Jalan Diponegoro
pecah, 3 orang tewas dan puluhan lainnya hilang. Tudingan provokator segera di
arahkan kepada PRD. Thukul, dan kawan-kawannya, segera ditetapkan sebagai
buronan.
Runtut cerita ini adalah konteks permulaan
bagi film Istirahatlah Kata-kata.
Menariknya, Istirahatlah Kata-kata tidak
segera dibuka dengan perkenalan langsung dengan Wiji Thukul. Yang justru ditampilkan
pertama kali dengan jelas adalah sosok polisi yang sibuk menginterogasi
keluarga Thukul. Pembawaannya tenang, dengan bahasa Jawa yang kalem, dan mulut
sibuk mengunyah lemper kehijauan hingga tandas. Ruangannya tampak sempit dengan
latar Fitri kecil, hanya tampak pundaknya membelakangi kamera, dibiarkan
berdiri, terus menerus diam selama sesi tanya jawab. “Anak permepuan yang
pemberani,” tutup si polisi hampir putus asa.
Bagi saya, scene ini memberikan titian yang menyambung jitu antara film dengan
konteks yang tengah ia ekplorasi. Dalam situasi dikejar-kejar oleh intelejen rezim,
dapat saya bayangkan semesta Thukul dan keluarganya tetiba menciut. Volume
hidup mereka menyempit dalam kategori ruang dengan panjang, lebar, dan tinggi tersisa
beberapa jengkal. Eksistensi mereka menjadi terbatas pada apa yang didefinisikan
hanya melalui data-data dalam lembaran arsip. Area di luarnya adalah zona merah
yang menolak sepenuhnya memberi rasa aman, sekaligus diacuhkan oleh penyelidik.
Sebuah kurungan rumah kaca.
Ini di luar atmosfer menekan yang coba
dibangun, kemudian dihidangkan kepada pemirsanya. Sampai berakhirnya adegan,
sosok memasing tokoh tetaplah anonim. Yang dapat diidentifikasi dengan jelas
hanyalah jaket kulit hitam lusuh, pertanyaan-pertanyaan menyelidik dalam nada
datar, yang dapat dengan mudah diasosiasikan pada sosok intel melayu.
Bagaimanapun, profesi ini adalah aparatus represi negara, barangkali dalam
wajah terburuknya di bawah rezim yang otoriter.
Thukul baru hadir setelahnya, melihat ke
luar jendela sebuah bus yang tengah melaju membelah hutan gambut. Wajahnya
sengaja ditenggelamkan di bawah topi pancing, menghindari kontak mata dengan
liyan. Masih membisu. Masih tanpa kata-kata. Hingga suaranya kemudian terdengar
membahana dari balik layar lewat cara yang tak biasa.
Istirahatlah
kata-kata
Jangan
menyembur-nyembur
orang-orang
bisu
Kembalilah
ke dalam rahim
segala
tangis dan kebususkan
dalam
sunyi yang mengiris
Tempat
oran-orang mengingkari
menahan
ucapannya sendiri
Tidurlah
kata-kata
kita
bangkit nanti
menghimpun
tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan
Dibacakan terbata-bata, lirih oleh
Gunawan Maryanto. Dengan nafas yang serba tertahan. Huruf-huruf “r” terdengar hampir
absen, berbelok dan menggantung di udara, meniru lidah Thukul yang cadel. Saya
mendadak dilanda rasa merinding hebat, tercekat. Separuh tubuh saya tampak
terbang mengeluyur ke ruang bioskop, menunggu nafas saya yang sempat tertahan
kembali. Pembukaan yang intens. Kata-kata yang mengalir serta-merta menjadi
kalis dengan ketidakmampuan Thukul mengeja huruf “r” dengan baik. Dalam situasi
ini, puisi-puisi Thukul yang ambil bagian di dalam naskah menjadi tersampaikan
dengan baik. Terhindar dari bahaya menjadikannya sekadar sempalan. Pembacaannya
terasa khidmat, sekaligus membangunkan.
Bagi saya, kecadelan ini adalah kunci mimikri
Gunawan yang membuat sosok Thukul menjadi hidup, dan terasa kontekstual. Dengan
acting yang hampir tanpa cela ditambah kemiripan fisik, Thukul justru
diturunkan derajatnya sebagai manusia biasa dengan ketidakpurnaannya. Sebuah biopik tentang wajah orang kebanyakan.
Dalam banyak hal, ketepatan ini tentu
tak dapat dicapai tanpa keterlibatan elemen lain. Perwatakan para tokoh diseputar
Thukul, ditambah ketidakmampuannya mengucap “r” dengan tajwid yang benar, mampu melahirkan humor tak terduga. Alih-alih menjadi film serius yang menjaring
kantuk, Istirahatlah Kata-kata sesekali menghadirkan lelucon yang membuat saya
betah untuk tetap terjaga; renyah, alami dan tidak berlebihan. Simak misalnya,
percakapan antara Thukul dengan seorang mahasiswa tempatnya menumpang. Dalam momen
berdua, mereka memperbincangkan aktivitas membaca yang membikin Thukul
dikejar-kejar. “Makanya saya ngga usah membaca,” ujar si mahasiswa sembari
tertawa berderai, hingga berhenti sendiri karena respon Thukul yang dingin. Momen
canggung ini, sebaliknya, membikin seluruh penonton yang bersama saya tak dapat
menahan tawa.
Pilihan pengambilan gambar yang hampir
selalu close-up mampu menangkap
perubahan mimik dan mikroekspresi Gunawan yang terus terjadi dalam berbagai
situasi. Ada distingsi yang jelas sekaligus tersamar ketika Thukul berada di
tengah kawan-kawannya dibanding kala berdekatan dengan sosok perwira yang
tengah bercukur. Pada situasi yang satu,
ada keberanian dan rasa aman. Pada situasi yang lain, ia adalah sosok yang
ketakutan. Teramati hanya lewat getar bibir di bawah gigi tonggos (buatan)nya.
Istirahatlah Kata-kata pada akhirnya adalah
pembalikan serius atas arah pengkultusan yang selama ini berkelindan di seputar
nama Thukul. Sejak hilang hampir 20 tahun silam, ia telah menjelma menjadi sosok
yang abstrak dan mengawang. Absensinya membuat saya dan jutaan generasi millennial
Indonesia yang lain hanya mampu mengenalnya dari sajak-sajaknya yang melulu
dibaca ulang. Di kafe-kafe hingga diatas aspal panas, di tengah aksi.
Menerbangkan karya-karya Thukul dalam derajat nubuat, sementara hal-hal yang
diperbincangkan di dalamnya kadang-kadang remeh dan teramat dekat. Gambaran
dari wajah Indonesia, wajah akar rumput, suara yang tak terdengar pada sebagian
besar periode waktu. Lewat medium layar perak, Wiji Thukul mendadak terasa
dekat saja. (*)
Istirahatlah
Kata-kata
Sutradara : Yosep
Anggi Noen
Pemain : Gunawan
Maryanto, Marissa Anita, Eduard Manalu
Rating : 9/10