#1
“Kau dengar suara-suara
itu, Roo?”
“Demi Tuhan, ini kelima
kalinya kau menanyakan itu. Tidak ada suara! Kurasa kesunyian ilalang mulai
mebuatmu gila.”
Lima kali ku bertanya, semacam
memastikan, dan aku mulai yakin Roo yang sebetulnya mulai tertelan kesunyian sabana
yang menghampar hingga nadir. Bagaimana mungkin dia tak mendengar
keriuhan ini? Udara disekitar kami dipenuhi oleh bebunyian ritmik dari instrumen-instrumen
yang tak pernah ku dengar sebelumnya. Cantik. Terdengar lebih primitif dari lagu-lagu
yang dinyanyikan seorang pengamen muda di pasar loak Cartago. Cantik.
“Bagaimana mungkin kau
tak mendengarkan Roo, suara-suara ini demikian nyaring menggairahkan. Aku
bahkan bisa menari diiringinya.”
“Jangan bodoh. Kita
ditengah Afrika. Kau kecanduan opera yang tak membolehkanmu ikut menari bersama
Ann si Pengembala.
“Lagipula”, lanjutnya “baik
kau dan aku sesungguhnya tak dapat memastikan siapa diantara kita yang telah
tertelan kesunyian. Dua orang pengamat bertahan hidup dengan pencerapannya
masing-masing.
“Yang perlu kita
pikirkan adalah bagaimana cara tercepat untuk pulang ke Cartago. Lalu kembali ke
Virginia. Berburu badak rupanya idemu yang paling buruk, apalagi kulakukan
denganmu.”
Sungguh kasihan Roo dan
inderanya yang maha tumpul. Aku kembali memerhatikan jalan, sambil tentu saja,
menikmati bebunyian asing yang tak habis-habis. Aku menggoyangkan kepala,
mengangkat tangan, memutarnya di udara, menggoyang kepala lagi, mengayunkan
kaki, memutar kepala.
Kemudian di kejauhan
aku melihat asap menyala, lalu membumbung api. Manusia!
“Kau melihatnya Roo?”
“Apa lagi, heh?”
“Kali ini aku melihat api.”
Aku menunjuk.
Roo menatapku seolah
akan membunuhku kalau-kalau inderanya sekali lagi tak bersepakat dengan
inderaku (tentu saja ini salah inderanya). Namun matanya berbinar. Dia berujar (mungkin
berteriak, sulit membedakan ditengah bebunyian yang mengencang.) “Manusia!!”
Kami memacu kuda kami
mendekati titik api, lagu itu terdengar semakin nyaring. Kami tinggal berjarak
belasan kaki darinya hingga tetiba kuda-kuda kami panik seolah menabrak dinding
tak kasat dan menjatuhkan kami dari pelana. Musik belum berhenti.
Aku mencoba berdiri,
berjalan untuk memastikan aku baik-baik saja. Lalu terpaku.
Ada api, yeay, namun
tak ada manusia. Tepatnya aku tak yakin apa-apa yang kulihat mengelilingi api
adalah manusia. Struktur tubuh mereka tampaknya sama denganku, namun lihatlah
kulit mereka! Manusiakah mereka? Adakah api menghanguskan jalan evolusi mereka?
Mereka yang asing itu bersikap
diam penuh, bersila. Namun anehnya, aku meyakini bebunyian ganjil itu berasal
dari sini. Sebuah konserto sunyi. Asap mengirim karya mereka ke surga.
Di antara remang, salah
satu dari mereka yang tampaknya masih cukup muda menggaruk-garuk apa yang
sepertinya merupakan paha pada tubuhku, berdiri dan berlari ke balik batu. Dia
berdiri dengan dua kaki, sama sepertiku. Dan pipis, sama sepertiku.
Dia hendak kembali ke
dalam lingkaran, hingga menyadari kehadiranku dan Roo. Dia terpaku, sama
sepertiku melihat mereka pertama kali. Aku dapat melihat dua matanya yang putih
(sama seperti milikku) membola, membola.
“Elia!! Elia!!”
Dalam jeritnya dia
tampak terharu (aku mulai yakin dia adalah spesies mahluk hidup yang sama
denganku), membatalkan niatnya kembali melingkari api dan mulai berlari
kesetanan ke arahku.
“Elia!! Elia!!”
Berbeda denganku yang
masih dijerat takjub, Roo menghunus belati dari pinggangnya dan mengambil kuda-kuda. Dia Yang Muda menyadari ancaman yang bekilat di hidungnya, menunda gairahnya pada kami yang
meletup-letup. Dia mengambil batu seukuran kepalaku dengan tangan kanannya dan,
sungguh luar biasa, melemparnya tepat ke kepala Roo. Darah berhamburan dari
kepala Roo yang terkapar, lalu mati.
“Yets ied!!” ujar Yang
Muda sembari memelukku tanpa bisa kutolak. Aku terkagum-kagum menyaksikan
kekuatan super anak itu.
“Elia!! Elia!!”
Lingkaran itu, dan aku, segera menyadari kekacauan ritmik dalam konserto mereka. Selain itu, jeritan
Yang Muda agaknya mengalihkan kekhusyukan. Mereka-mereka itu mulai tampak
berdiri, berbalik ke arahku, terpaku, dan mulai menyerukan kata-kata yang sama.
Seperti temannya, mereka mulai berlari terbirit-birit menujuku, menginjak tubuh
Roo, histeris, terdiam sejenak seolah mengamati sesuatu, histeris lagi, mulai memelukku,
menarik-narik bajuku, rambutku, histeris, memeluk kakiku, menjilati jemarinya.
Aku kegelian.
Kemudian mereka mulai
bersujud, satu demi satu di hadapan tubuhku. Mendesiskan kata-kata yang sama,
satu demi satu di hadapan tubuhku.
“Elia.. Elia.. Elia..”
Sesegera itu aku tersadar.
Tak dapat aku menahan diri, senyumku mengembang. Lebar, lebar sekali, hampir
aku tersedak.
#1.5
“Halleluiah! Halleluiah!
Halleluiah!”
“Sst, sst, Jack! Jack!”
Dia yang ku panggil
menoleh ke arahku, memastikan bahwa aku memanggilnya. Aku mengangguk. Dia berpindah
duduk mendekatiku. Tuan kami tak tampak terganggu dan masih memimpin ibadah.
“Aku memikirkan ini
semalaman. Rasa sakit di pundakku rasanya sirna olehnya”
“Apalagi kali ini?
Kurasa kau semakin tenggelam dalam ide tentang budak yang berpikir.”
“Aku berpikir tentang
cara mereka menundukkan kita setelah abad perpindahan dengan perahu. Mereka
menghapus pengetahuan bahasa kita, menggantinya dengan bahasa-bahasa mereka,
kata-kata tak dikenal. Kita kehilangan kemampuan kita merepresentasikan ide,
semisal mengenai Tuhan. Sekarang kita menyanyikan ode untuk Tuhan mereka yang
asing bagiku. Dia jelas bukan Tuhanku, bukan Tuhan kita!”
“Semoga Tuhan mengampunimu
anak durhaka! Kau mencoba memercayai mitos tua mengenai dewa-berkulit-kemerahan-yang-membawa-nenek-moyang-kita-dengan-perahu-ke-surga
itu? Berdoalah padanya! Ibuku melakukannya untukku hingga akhir hidup dan lihatlah:
aku, anak-anakku, masih memetik kapas!”
“Dengar Jack, aku
merencanakan sesuatu yang entah harus kusebut apa. Yang pasti keadaan ini harus
diakhiri! Aku hanya belum menemukan kata yang tepat untuk rencana ini.”
Aku begitu bersemangat
dan tak menyadari mata-mata biru yang mendelik marah. Satu, dua, tiga lecut
cemeti mendera sayatan yang belum kering di punggungku. Aku menjerit untuk
kepedihan yang kucampur sisa-sisa orgasme, sementara kaumku acuh melanjutkan
ibadah. Asap membawa doa mereka ke surga.
“Halleluiah! Halleluiah!
Halleluiah!”
#2
Swans
- She Loves Us!
Klik, menuju She Loves Us! |
Rangkuman naratif keterasingan
dari perubahan apa-apa yang kita yakini, dalam sebuah alur kehidupan sub-sahara
hingga eksodus ke Amerika. 17 menit terdengar menyenangkan oleh sentuhan gloomy
punk a la The Cure awal dkk. Beri
saya Sisha diam-diam, pekerjaan sialan memetik kapas segera dimulai!
Post-script:
cerita diatas fiksi belaka, merupakan
interpretasi saya terhadap lagu Swans -
She Loves Us! (dalam album To Be Kind,
2014). Bahasa-bahasa suku entah-apa saya karang sendiri: Elia = dewa, Yeats ied! = iblis telah mati!
0 komentar:
Posting Komentar