Dimensi baru gerakan
menolak lupa hadir melalui Omah Munir.
“Benarkah kita perlu
tugu?”. Dalam Tugu Kemakmuran, Prasetyohadi menyindir
motif-motif dibalik kegemaran orang-orang Indonesia untuk mendirikan
tugu, monumen: sebagai wakil-wakil kenangan, kultus dan mitos mereka,
“Penting. Untuk mengenang kemakmuran desa, bukti kesejahteraan
hidup”. Di sisi lain, tugu-tugu menjadi instrumen keangkuhan.
“..Letak sangat strategis, di ujung belakang desa. Desa-desa
lain akan melihat dari kejauhan kemegahan tugu kemakmuran kita itu.
Nama desa kita akan terkenal dan berkibar.”
Lalu, apakah tugu
perunggu setengah dada Munir, dan Omah Munir secara keseluruhan yang
baru saja dibuka, dibangun dengan semangat yang sama? Benarkah kita
perlu tugu (dan tentu saja, museum), sementara Munir senantiasa hadir
dalam tagar #menolaklupa?
Munir
hari ini tidak lagi sekadar dikenang sebagai seorang martir HAM yang
tewas oleh arsenik di udara Singapura-Den Haag pada 7 September 2004, yang menimbulkan
kegemparan sebagai “a
test of our history”,
yang aktor intelektual dibalik kematiannya masih terselubung
lembayung pekat. Dalam sambutannya, Suciwati menegaskan
lebih lanjut bahwa “Omah Munir tidak ingin sekadar menjadi
pengkultusan Munir. Munir masih hidup melalui kenangan tentang
nilai-nilai keadilan HAM yang diyakininya lewat semangatnya yang tak
pernah pupus dalam menegakkan keadilan. Nilai yang mungkin tak pernah
dipelajari para pejabat kita, yang ingin saya kenalkan pada sebanyak
mungkin masyarakat Indonesia. Agar suatu ketika, ketidakadilan HAM
tak lagi terjadi”. Ini, lebih
kurang, menjawab kegamangan Prasetyohadi.
-::-
Minggu,
8 Desember 2013, saya memutuskan mandi lebih awal untuk menghadiri
prosesi soft
opening museum
Omah Munir.
Kabar
yang beredar bahwa setiap warga kota Batu mengetahui lokasi pasti
Omah Munir ternyata sekadar mitos belaka. Perjalanan saya untuk
menghadiri pembukaan Omah Munir tampaknya akan lancar-lancar saja
ketika seorang polisi lalu lintas yang tengah berjaga di pos polisi
seputaran alun-alun Batu dapat memberikan alamat lengkap Omah Munir:
Jalan Bukit Berbunga No. 2. Pada polisi lalu lintas yang sedang
melakukan sweeping
kendaraan
roda dua, segera saya tanyakan kembali kepastian letak Omah Munir,
yang dengan berbaik hati meyakinkan saya bahwa jalan yang saya pilih
benar. Petualangan baru dimulai setelahnya. Nomor-nomor rumah di
jalan Bukit Berbunga tidak disusun dengan cukup teratur. Saya
bolak-balik di jalan utama menuju destinasi wisata Selecta dan Cangar
ini, dan terpaksa kembali ke Batu Town Square untuk mendapati rumah
yang salah (rumah yang ditunjukkan orang-orang adalah rumah saudara
Munir, tempat jenazahnya disemayamkan sembilan tahun silam). Belakangan saya menemukan jalan Bukit Berbunga No. 2, dengan
sekali lagi melewati sweeping,
terletak setelah rumah-rumah dengan nomor 90-an.
Perca. Sepenggal bagian dari kliping raksasa yang menghimpun berita-berita tentang Munir di media cetak. |
Sungguh beruntung, saya tiba ketika acara baru saja dimulai. Di
podium, mbak Uci (panggilan akrab istri alm. Munir) baru saja mulai
memberikan sambutan pertama. Saya segera menempati kursi yang kosong.
Rangkaian
acara pembukaan Omah Munir dirancang sederhana, namun dihadiri
individu-individu luar biasa. Saya segera mengenali Prof. Mukhtie
Fadjar, Butet Kartaradjasa, hingga Faisal Basri membaur diantara
ratusan hadirin. Usai sambutan-sambutan, panggung kecil yang
disediakan menjadi semarak oleh pengisi-pengisi acara spesial.
Kolektif Simponi dari Jakarta, yang menjadi salah satu pengisi album
Frekuensi
Perangkap Tikus, menjadi
penampil pertama. Selanjutnya Butet Kartaradjasa menghadirkan monolog
berdurasi 15 menit yang berhasil memancing hadirin untuk tergelak.
Tawa itu semakin pecah ketika dalam suatu fragmen tentang
subyektivitas kebenaran, Butet menghadirkan sosok Gus Dur yang
menjawab pertanyaan perihal penilaiannya tentang ayam panggang
sebagai representasi kebenaran. Gus Dur dalam imaji Butet menjawab
“gitu aja kok
repot, ..yang penting jangan pilih PKB-nya Muhaimin”.
Seluruh tawa segera tertuju pada Sutiaji, wakil walikota Malang yang
juga merupakan kader PKB.
"gitu aja kok repot, ..yang penting jangan pilih PKB-nya Muhaimin." |
Penampil lain yang tak kalah spesial adalah kakak beradik putra-putri
Widji Thukul, Nganthi Wani dan Fajar Merah, yang membawakan
musikalisasi puisi-puisi sang pujangga protes. Momen ini menjadi
menggetarkan demi menyimak gegar-gegar dalam seruan Nganthi Wani,
demi melihat paras Fajar Merah yang mirip ayahnya yang raib hingga
hari ini. Dan demi mendengar puisi-puisi Thukul yang masih saja
menyimpan bara subversi yang selalu relevan.
Sebagai
penampil penutup yang terselip diantara testimoni-testimoni,
dihadirkan frontman
kolektif grunge lokal yang datang jauh-jauh dari Bali, Roby Navicula.
Dengan gitar kopong, Roby memanaskan suasana dengan, salah satunya,
nomor sing-along-able
Mafia Hukum. Saya
kehilangan kuasa atas ujung sepatu yang mulai memainkan
ketukan-ketukan, sembari mulut saya bernyanyi bersama. “Mafia
hukum, hukum saja /
Karena hukum tak
mengenal siapa
/ Mafia hukum,
hukum saja
/ Karena hukum tak
mengenal siapa
//”. Entah bagaimana ekspresi perwakilan Kementerian Hukum dan HAM
yang turut hadir (saya sendiri mahasiswa hukum, namun belum (dan
tidak akan pernah, InsyaAllah) menjadi mafia hukum).
Acara
pembukaan Omah Munir diakhiri dengan kunjungan ke dalam museum Omah
Munir. Omah Munir sendiri menggunakan rumah masa kecil Munir yang
bergaya indies.
Dibuka
untuk umum bertepatan dengan dirgahayu Munir yang lahir pada 8
Desember 1965, dirayakan dua hari jelang hari HAM Internasional.
Koleksi
Omah Munir tidak terbatas pada memorabilia-memorabilia peninggalan
Munir. Omah Munir juga didesain sebagai museum HAM pertama di
Indonesia. Di ruangan utama tersaji panel-panel yang menjelaskan
sejarah HAM di Indonesia hingga legasi Munir dalam upaya
penegakannya. Sejumlah media interaktif disediakan untuk menambah
informasi bagi pengunjung, sebagai sarana untuk mengajak pengunjung
untuk menolak lupa untuk ketidakadilan dan sederet pelanggaran-pelanggaran HAM yang masih
jauh dari tuntas.
Kalimat
terakhir ini menjadi sejalan dengan tujuan Omah Munir. Dalam pamflet
yang dibagikan, tertulis alasan mengapa bentuk museum dipilih, yaitu
untuk “memberikan
cara pembelajaran yang lengkap melalui tampilan audio-visual, tentang
dimensi-dimensi penting figur Munir dalam memperjuangkan agenda
penegakan HAM di Indonesia”.
Suciwati dikerubungi wartawan. |
Seorang hadirin menyimak buklet tentang para pegiat HAM. |
Namun, ada masalah akut yang masih menghinggapi dunia permuseuman
Indonesia. Masalah itu berwujud minat orang-orang Indonesia untuk
mengunjungi museum yang sangat kurang. Hal ini coba disiasati oleh
para pengurus Omah Munir. Sesuai tujuan Omah Munir, telah
diprogramkan serangkaian diskusi dan kuliah mengenai HAM untuk
mengkader bibit-bibit Munir baru yang akan diisi oleh aktivis HAM
hingga akademisi. Patut ditunggu.
Lebih
dari itu, Munir juga telah menjadi ikon yang bergerak melampaui
batas-batas ekspresi bohemian, dari seni hingga sastra. Kita masih
ingat senandung berderap Di
Udara milik
Efek Rumah Kaca yang dinobatkan sebagai salah satu lagu protes
Indonesia terbaik sepanjang masa oleh Morgue Vanguard/Ucok Homicide.
Munir juga masih menjadi obyek dari poster-poster hingga mural-mural agitasi dan propaganda yang mewarnai dinding-dinding kota. Beberapa
diantaranya (hasil karya kelompok Nobodycorp) bahkan dipamerkan di
salah satu ruangan Omah Munir. Dengan pertimbangan ini, kiranya Omah
Munir dapat dikembangkan dengan memrogramkan diri sebagai rumah baru
bagi bilik diskursus mengenai ide-ide realisme sosial, yang
memberikan kehangatan ditengah hawa dingin kota Batu untuk tujuan
yang sama: memakmurkan gagasan menolak lupa.
Poster-poster karya Nobodycorp. |
Dengan
adanya Omah Munir, gerakan menolak lupa memasuki dimensi baru. Dia
tidak lagi sekadar menjadi hantu yang bergerak di linimasa dunia
maya, tidak lagi sekadar pemahaman yang dipegang kuncinya oleh
elit-elit. Seperti kata Butet dalam menutup monolognya, “ingatan
kita mungkin memang pendek
(juga masa kadaluarsa bagi keadilan prosedural untuk pembunuhan
berencana terhadap Munir, saya tambahkan), namun
kebenaran panjang umurnya”.
Jika berbagai ikhtiar untuk menyemai kesadaran ini masih belum juga
dapat membuka mata para pemimpin yang berjanji, “maka
hanya ada satu kata: lawan!”
Sekelumit Tentang Museum Omah Munir:
Omah
Munir terletak
di Jalan Bukit Berbunga No. 2, kota Batu, Jawa Timur, tepat di
pinggir jalan raya menuju obyek wisata Selecta dan Cangar. Buka
setiap hari Selasa-Minggu pukul 08.00-15.00 WIB. Transportasi:
Omah Munir dapat dicapai dengan berkendara sekitar 45 menit dari kota
Malang, atau menggunakan angkutan kota jurusan Landungsari-Batu,
kemudian berpindah Batu-Selecta atau Batu-Cangar. HTM:
Bersyukurlah,
sepertinya tidak dipungut biaya untuk masuk museum.