Perdebatan
atas boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal memiliki tepian yang
hampir kabur. Terdengar sepele, namun potensi luka hati dan sentimen
agama sangat besar tersimpan, menjadi bom waktu, menunggu ledakan.
Sebelum lebih dalam terjebak, baiknya kita memahami terlebih dahulu
makna kata 'selamat' itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, yang dimaksud sebagai selamat adalah:
“1
a terbebas dari bahaya, malapetaka, bencana; terhindar dari bahaya,
malapetaka; bencana; tidak kurang suatu apa; tidak mendapat gangguan;
kerusakan, dsb; 2
a sehat; 3
a tercapai maksud; tidak gagal; 4
n doa (ucapan, pernyataan, dsb) yg mengandung harapan supaya
sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa, dsb); 5
n pemberian salam mudah-mudahan dl keadaan baik (sejahtera, sehat dan
afiat, dsb): -- datang; -- jalan; -- malam (pagi, siang); -- tahun
baru; -- tinggal;”
Pemahaman
tentang kata selamat ini nantinya amat berguna (utamanya untuk saya)
dalam menyusun formula ucapan selamat Natal yang abu-abu, toleran dan
semoga tidak menjurus kufur.
Sependek
pengetahuan saya, tidak ada larangan resmi dalam Al-Quran maupun
Hadits akan ucapan selamat Natal. Larangan ucapan selamat Natal
berasal dari ijtihad para ulama, yang diakui sebagai sumber hukum
Islam ke tiga. Terdapat sebuah hadits ber-sanad
jayid/baik yang
berbunyi “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk
bagian dari mereka”(HR Ahmad dan Abu Daud) sebagai landasan. Mengirimkan ucapan 'selamat natal' konon termasuk dalam kategori ini,
dengan memerhatikan pemaknaan mengenai kalimat 'selamat
natal' secara keseluruhan.
Di lain
sisi, alasan yang dikemukan para pakar yang pro-ucapan natal dapat
dinilai mengandung sesat pikir (logical fallacy). Terdapat
sejumlah ayat yang kerap dikutip, semisal Q.S 19: 33 yang intinya
menjelaskan bagaimana Nabi Isa AS bershalawat untuk dirinya. Para
alim kemudian menisbatkan ucapan selamat natal sebagai bentuk
shalawat terhadap Nabi Isa AS. Menggunakan ayat ini sebagai preposisi
adalah kurang tepat, mengingat terdapat perbedaan mendasar dan
substansial tentang cara pandang umat Nasrani dan umat Islam terhadap
posisi Nabi Isa AS. Yang patut digaris bawahi, perbedaan ini justru
melahirkan keharusan bagi setiap individu untuk menghargai
nilai-nilai ajaran agama lain. “Lakum diinu kum wal yadiin”,
bagimu agamamu, bagiku agamaku (Q.S 109: 6).
Saya
pikir, alasan yang paling logis adalah tuntutan toleransi beragama
dalam model masyarakat modern yang bhinneka. Hal ini tak lepas dari
pengalaman pribadi saya mengenai kentalnya nilai-nilai pengertian
dalam kehidupan sehari-hari. Saya, yang dilahirkan dan tumbuh besar
di Manado, sejak dini terbiasa turut serta dalam perayaan Natal
dengan berkeliling ke rumah-rumah tetangga, hal serupa yang dilakukan
teman-teman Nasrani jelang Idul Fitri (ingat, saya masih kecil waktu
itu dan belum paham). Detik-detik menjadi seorang kakak pada malam
tanggal 24 Desember 1998 di tengah khidmat kidung Natal juga memberi
kesan tak terlupakan. Argumen yang lebih Islami? Dalam Sirah Nabwiyah
dituturkan bahwa Rasulullah SAW pernah mempersilahkan sekelompok umat
Nasrani untuk beribadah di dalam mesjid.
Sebagian
besar umat muslim terkadang melupakan motif dan tidak melakukan
kajian linguistik mendalam atas sebuah ucapan Natal. Dalam kasus ini
saya cenderung menganut paham yang menolak memisahkan antara apa yang
dirumuskan dalam dunia ide dan apa yang kemudian diucapkan sebagai
bukti empiris sebagai jawaban awal. Saya percaya tidak pernah ada
maksud menyekutukan Allah dalam setiap ucapan Natal yang dikirimkan
seorang muslim. Namun tanpa sadar, 'Selamat Natal' berpotensi memberi
cela tak terlihat apabila muatan kedua kata tersebut dipahami secara
komprehensif. Dalam keadaan simalakama ini kemudian penelusuran
lingua ditambahkan.
Jalan
tengah masalah ini terdapat pada logika permainan dan pemilihan kata
sebagai dasar yang digunakan guna merumuskan kalimat yang mendekati
tepat. Rumusan ini, menurut hemat saya, berwujud kalimat 'selamat
merayakan natal'. 'Merayakan Natal' menjadi sebuah frase yang
menggandeng kata 'selamat', dan akan menyebabkan perubahan makna
signifikan dalam sebuah ucapan Natal. Penekanan selamat dalam
rangkaian kata tersebut terdapat pada aktivitas kawan kita sebagai
manusia dan tidak terlalu memerhatikan nilai kebenaran relatif Natal
itu sendiri. Dapat dimaknai disini bahwa kata 'Selamat Merayakan
Natal', dengan tidak melupakan definisi kata 'selamat' yang saya
jabarkan di awal, memuat makna semoga kamu tidak mengalami hal yang
tidak diinginkan selama merayakan natal. Apabila Natal bernilai
universal bagi umat Nasrani, maka aktivas 'merayakan' amat bergantung pada interpretasi
individual, hal yang ditekankan dalam kalimat ini. Seseorang bisa
saja merayakan dengan tidur, makan, beribadah atau melakukan
perjalanan wisata. Meski gagasan ini masih layak diperdebatkan dan barangkali
dangkal, luaran yang diharapkan adalah sebuah ucapan yang netral
dapat dihaturkan tanpa mengesampingkan nilai-nilai aqidah dan
toleransi beragama. Wallahu'alam.
Saya tahu dan mengerti maksud kamu menaruh 'merayakan' di tengah tengah ucapan itu. Bahkan sebelum kamu buat postingan ini.
BalasHapusTapi bukannya ijtihad juga salah satu sumber hukum? Untuk apa tetap berusaha mencari celah bagi apa yang telah ditetapkan dasarnya? Untuk apa menyusun huruf di depan Yang Maha Membalik kata? Toh toleransi tidak muncul hanya dengan sebatas kata-kata. Saya pikir kamu lebih mengerti. Wallahualam, saya masih perlu banyak belajar :))
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusSebenarnya yang kayak gini masih sulit untuk amatiran kayak kita... Terlalu tinggi ilmunya,,, kajian linguistik yang digunakan disini menurut gw juga merpkan ilmu yang tidak pasti krna berupa bahasa yang sangat relatif.. So... mungkin kalo berijtihad dengan ilmu secetek kita2 ini takutnya malah menjurus ke arah yang salah... Yah.. kalo saya sih jalan tengahnya : gg usah ngucapin, dan gg usah sok-sok ngelarang, kalo emang gg ngerti apa2,,, (Hanya pendapat pribadi dari seseorang yang tidak mengerti agama secara mendalam)
BalasHapusLinguistik juga memang kajian humaniora kan Mam, jadi memang nggak akan pernah seobyektif ilmu alam. Toh kita pe tulisan bukan ijtihad juga sehingga bukan hukum, nggak mengikat, ini lebih semacam opini sih hehe. Ini mungkin semacam alternatif, Ta hargai juga nga pe pilihan.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskalo ga tau apa2 dan ga berani keluarin fatwa, mending ikut ke salah satu fatwa yg kita anggap bener dan mengandung banyak mashlahat. memisahkan diri dgn ga ikut fatwa para ulama yg kalian anggap baik dan benar itu bukan cara terbaik dalam mengambil keputusan yg berkaitan dgn tatanan ibadah dan kemajemukan umat beragama di negeri ini. salam!
BalasHapusini bukan fatwa kok mas, kalo kedua fatwa menurut saya kurang kuat karena ada argumen atau preposisi yang hilang, saya harus ikut yang mana?
Hapus