“Ini
cowok atau cewek? Dari mana?” Pertanyaan bertubi dari seorang bapak
mengusik awal lawatan saya ke candi Singosari (secara normatif
bernama Singhasari). Harus diakui, helai rambut yang kian memanjang,
dan diikat kebelakang, barangkali menggelitik banyak orang untuk
bertanya hal yang sama, dengan bercanda tentu saja. Sekenanya saya
layani basa-basi ini “Saya cowok kok pak, dari Gorontalo”. Ingin
sekali saya tambahkan: dan bapak tahu, saya amat kangen dengan candi.
Kenapa
kangen? Momen terakhir kali saya mengunjungi candi berlalu hampir 15
tahun silam. Sebenarnya timbul kesempatan untuk mengakhiri dahaga
panjang ini ketika mengikuti pelatnas kebumian di Jogjakarta pada
medio 2010. Sayangnya, waktu rehat tak kunjung tiba (tepatnya, saya
malas memanfaatkan jeda). Pandangan terdekat lewat begitu saja ketika
saya hanya bisa menatap candi Prambanan dari jendela bus yang melaju
membelah jalanan penghubung Jogja-Klaten. Lucu juga rasanya kalau
telah melanglang ke berbagai penjuru tanah Jawa tapi lupa mengakrabi
candi.
Pekan
sunyi jelang ujian akhir semester kemudian saya manfaatkan untuk
berbuka puasa candi, meski hari yang kami pilih diwarnai rintik
hujan. Candi Singosari kemudian menjadi pilihan utama mengingat
letaknya yang dapat dijangkau oleh kendaraan umum dari kota Malang.
Dalam trip kali ini saya ditemani Novada, seorang teman kuliah.
Sepanjang rute Malang-Singosari, angkot kami ubah menjadi warung
kopi, membahas politik dan wanita tiada henti. Obrolan kami memang
tak pernah jauh dari tema tersebut apabila bersua.
Kenyaataan
bahwa candi Singosari terselip diantara pemukiman penduduk dalam area
yang sempit cukup mengagetkan. Dalam bayangan saya, candi ini berdiri
diatas tanah yang lapang layaknya candi Borobudur dan candi Prambanan
yang ikonik. Candi Singosari sendiri berukuran 14 x 14 meter dengan
tinggi 15 meter, terbuat dari batuan andesit yang dibangun dengan
cara menyusun bongkahan kemudian diukir. Local genius. Andai memiliki
kemampuan pisikometri, saya dapat menggunakan 'mata lain' untuk
melihat apa yang dilihat batuan ini di masa lampau.
Candi
Singosari merupakan peninggalan kerajaan bernama sama. Apabila tidak
duduk di laci meja selama belajar sejarah, kita tentu ingat nama-nama
seperti Ken Arok, Ken Dedes dan Karthanegara yang menitahkan
pendirian candi Singosari. Berdasarkan kitab Negarakartagama,
bangunan ini berfungsi sebagai tempat 'pendharmaan' Karthanegara.
Eksistensi candi ini juga konon tak lepas dari keberadaan gunung
Arjuna dan para pertapa yang bersemayam diatasnya. Komplek candi
Singosari pada masa lampau terdiri atas bangunan candi itu sendiri
dan arca Dwarapala ganda yang terletak sekitar 100 meter di barat
laut. Arca Dwarapala berfungsi sebagai pintu gerbang, selain tiga
arca lain yang telah hilang.
Pandangan
saya langsung terusik oleh sebuah obyek di halaman candi. Terdapat
sebuah arca yang wujudnya amat akrab dengan keseharian saya sebagai
mahasiswa. Penjelasan yang saya peroleh dari para juru kunci
menyebutkan nama Dewi Parwati, ibunda Ganesha sang dewa ilmu
pengetahuan dalam mitologi Hindu, sebagai sosok yang terukir dalam
arca tersebut. Sosok ini juga digunakan dalam lambang Universitas
Brawijaya (selama ini saya mengira bahwa sosok dalam lambang
almamater saya tak lain merupakan lambang para Brawijaya). Sejenak
saya menaruh hormat.
Memasuki
bagian dalam candi melalui pintu utama di timur, harum dupa langsung
menyengat dengan dahsyat. Rupanya candi Singosari masih aktif
digunakan untuk sembahyang. Terdapat arca lingga dan yoni yang
menghiasi ruang utama, ditemani payung kuning bertingkat yang kerap
saya lihat sebagai perlengkapan dalam ritus agama Hindu.
Di tiga
penjuru mata angin yang lain terdapat kolong-kolong kosong. Menurut
wikipedia, kolong-kolong ini harusnya diisi oleh arca Durga di kolong
utara, arca Ganesha di kolong timur dan arca Resi Agastya alias Siwa
Maha Guru di kolong selatan. Sayangnya, satu-satunya yang tersisa
adalah arca yang disebutkan terakhir. Selebihnya raib tanpa bekas.
Sebelum
mengakhir kunjungan, saya teringat titipan salam Fitri, arek Malang
kenalan saya yang menghabiskan waktu kuliah di Depok,
untuk Ken Dedes. Saya cukup kebingungan dibuatnya karena kondisi arca
yang telah kehilangan kepala, otomatis tidak meninggalkan telinga.
Akhirnya saya percaya saja, arca yang telah melewati berbagai periode
zaman ini barangkali mendengar melalui relung andesit dan mineral
kuarsanya yang saling mengunci. Salam saya bisikkan.
Sekelumit
Tentang Candi Singosari:
Candi Singosari merupakan candi hindu yang terletak di kecamatan
Singosari, kabupaten Malang, Jawa Timur. Didirikan pada abad 13
dibawah perintah Kathanegara, sebelum kerajaan Singosari runtuh dalam
sebuah serangan oleh Jayakatwang | Perjalanan dapat ditempuh selama
lebih kurang 45 menit dengan menggunakan angkot rute Arjosari –
Lawang berbiaya Rp. 2.500,00.- | Masuk candi tidak dikenakan biaya.