Sejenak, kita perlu mengingat ini; pada 11 Maret
1966, Soekarno di ujung kekuasaannya menandatangani surat berisi perintah bagi
seorang jendral yang tersisa dari gegar di awal Oktober tahun sebelumnya untuk
melakukan tindakan yang dinilai perlu untuk melakukan stabilisasi. Jenderal
tersebut, Soeharto, belakangan dimandatkan MPR sebagai presiden dan memulai era
kepemimpinan otoriter di bawah kakinya.
Pada periode tersebut lahir sejumlah
peraturan yang bersifat reaksioner atas peristiwa G30S. MPR mengeluarkan Ketetapan MPR
No.
XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Pernyataan Sebagai
Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai
Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan
Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme/Leninisme yang secara umum berisi larangan
bagi penyebaran ajaran-ajaran Marxisme dan turunan-turunannya. Ketetapan
tersebut juga menurunkan pengaturan yang secara gamblang membatasi hak-hak
kewarganegaraan anggota Partai Komunis Indonesia dan keluarga keturunannya.
Ketetapan MPR
MPR sendiri
merupakan pranata yang dirancang sebagai perwujudan nilai musyawarah mufakat
sebagai spirit kenegaraan bangsa Indonesia. Sebelum amandemen pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “(k)edaulatan adalah
di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.” MPR berfungsi
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia; Die gessamte Staatsgewalt liegt
allein bei der Majelis (AM Fatwa, 2009; 265). MPR diposisikan sebagai
lembaga tertinggi negara melampaui konstitusi itu sendiri.
Sebagai lembaga
tertinggi negara, MPR berwenang menetapkan Undang-Undang Dasar dan
garis-garis besar dari pada haluan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 3
Undang-Undang Dasar 1945. Garis-garis besar dari pada haluan negara
mencakup dua pengertian, yaitu garis besar haluan negara dalam arti luas dan
dalam arti sempit (Asshiddiqie, 2010; 266). Yang dipahami dalam arti sempit
adalah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan setiap 5 tahun sekali
sebagai acuan untuk presiden untuk melaksanakan tugas-tugas pembangunan lima
tahunan. Adapun yang dipahami dalam arti luas adalah segala arahan bagi haluan
negara yang diperlukan selain naskah GBHN itu. Oleh karena itu, haluan negara
selain GBHN itu perlu ditetapkan juga dalam bentuk Ketetapan-Ketetapan MPR
dengan kedudukan dibawah Undang-Undang Dasar. Kewenangan ini kemudian
melahirkan banyak Ketetapan MPR yang
terus dibentuk hingga amandemen konstitusi.
Namun,
kewenangan yang maha besar kerap menjadi senjata di tangan orang yang salah.
Sejak kemenangan telak Golongan Karya pada pemilu 1971 yang diikuti fusi dengan
paksaan partai-partai politik, MPR pada era Orde Baru tak lebih dari sekadar
boneka rezim dengan politik anti-komunisme sebagai raison d’etat.
Reformasi pada
medio 1998 yang ditandai mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan
diikuti amandemen undang-undang dasar membawa harapan baru bagi demokratisasi
dan kembalinya ruang publik. Amandemen ke-III pada tahun 2001 kemudian
menghapuskan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Namun hal ini
tidak menyebabkan Ketetapan MPR yang telah dibentuk sebelum amandemen
kehilangan landasan legal-politiknya. Melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, MPR
berupaya memberikan legitimasi bagi Ketetapan MPR-Ketetapan MPR yang dianggap
masih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsa Indonesia. Di dalam pasal 2, sejumlah
Ketetapan MPR dinyatakan masih berlaku dengan ketentuan masing-masing. Melalui
hukum positif, keberlakuan Ketetapan MPR tersebut kemudian diperkuat melalui
pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang memasukkan kembali Ketetapan MPR ke dalam hierarki
peraturan perundang-undangan setelah sebelumnya dihapuskan melalui
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Salah satu Ketetapan
MPR yang masih berlaku adalah Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/I966. Hal ini juga berarti,
diskrimasi atas keturunan anggota PKI (maupun mereka yang tertuduh) tetap
dirawat. Dan politik rekonsiliasi kita tak bergerak kemana-mana.
Problematisasi
Eksistensi Ketetapan
MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan telah bermasalah sejak
kelahirannya. Hierarki perturan perundang-undangan merupakan sistem yang
disusun berdasarkan stuffentheorie
Hans Kelsen. Menurut Kelsen dalam The
Pure Theory of Law, suatu
norma dikatakan absah apabila dibentuk otoritas yang memperoleh kewenangan untuk
membentuknya dari norma lain yang berkedudukan lebih tinggi. Undang-Undang
Dasar 1945 tidak menyebutkan secara spesifik adanya kewenangan MPR untuk
membentuk jenis peraturan perundang-undangan ini. Produk ini lahir dari
penafsiran sepihak MPR atas konstitusi, meskipun hal tersebut dimungkinkan
mengingat kedudukan MPR yang melampaui hukum. Posisi melampaui hukum bersifat
ambivalen dengan pengakuan dalam penjelasan yang menyebutkan bahwa Indonesia
adalah negara hukum (rechtstaat) dan
bukan negara kekuasaaan (machstaat).
Dengan diamandemennya pasal 3
Undang-Undang Dasar 1945, kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan MPR hilang.
Hal ini menyebabkan Ketetapan MPR-Ketetapan MPR yang dibentuk sebelum amandemen
sesungguhnya telah kehilangan keabsahannya dalam rezim hukum positif hari ini.
Disisi lain, substansi
Ketetapan MPR XXV/MPRS/1966 memuat sejumlah sesat pikir akibat pembacaan yang
tak utuh. Ketetapan tersebut berupaya mendudukkan Marxisme dan turunannya dalam
posisi yang bertentangan dengan alinea ke-IV pembukaan undang-undang dasar.
Syahdan, bangsa Indonesia dibangun berdasarkan nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial guna mencapai
cita-cita besar memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Marxisme yang dibangun atas fondasi filsafat
materialisme dituduh membawa kita kepada ketakbertuhanan.
Apa yang tak
pernah diurai adalah bagaimana konsepsi Marxian atas materialisme berangkat
dari putusan bahwa realitas mendahului subyek, bahwa materi mendahului bentuk,
bahwa ada mendahului kesadaran. Dalam
The German Ideology, Marx dan Engels
memulai bangunan epistemologinya dengan mendefinisikan kerja atau produksi
sebagai kategori kemengadaan manusia. Kesadaran bukan merupakan faktor penentu
yang membedakan antara manusia dan binatang. Perbedaan antara manusia dan
binatang baru lahir ketika kesadaran tersebut digunakan untuk menjalankan produksi
alat-alat untuk bertahan hidup, yang didasarkan atas alam material disekitarnya
(Marx dan Engels, 2013; 11).
Disini tampak ketegori
dialektika sederhana dalam materialisme Marx dan Engels. Marx dan Engels
menempatkan fungsi kerja sebagai instrumen rekayasa atas materi. Kesadaran
manusia menawarkan kemungkinan-kemungkinan alternatif atas suatu kondisi
faktual di alam material. Kerja kemudian menjadi penyaluran atas kemungkinan
alternatif tersebut. Dengan kata lain, titiberat materialisme dialektika
terletak pada fungsi estetis ide atas suatu kondisi material yang dituangkan
melalui kerja atau produksi. Bahwa “(k)ebenaran obyektif (gegenständliche)
bisa dianggap berasal dari pemikiran manusia bukanlah soal teori melainkan soal praktek. Dalam praktek
manusia harus membuktikan kebenaran itu, yaitu, kenyataan dan daya,
kesegian-ini (Diesseitigkeit) dari pemikirannya. Perdebatan mengenai
kenyataan atau bukan kenyataan dari pemikiran yang terasing dari praktek
merupakan soal skolastik semata-mata.”, sebagaimana ditegaskan
Marx dalam naskah pengantar Theses on
Feurbach.
Peran
fundamental kerja atas realitas tersebut menimbulkan suatu konsekuensi logis, bahwa
hukum-hukum materialitas Marxian sesungguhnya bergerak dalam ruang yang rigid:
sejarah, era manusia berusia ratusan ribu tahun. Materialisme dialektika tidak dapat
digunakan untuk memeriksa apa-apa yang bekerja di luar itu, sebagaimana kritik
Georg Lukacs atas naskah Dialektika Alam Frederick
Engels. Di sanalah konsepsi mengenai Tuhan yang esa menjadi mungkin, di
metaruang yang tak dapat dicapai oleh kesadaran estetis manusia.
Dan sejarah
juga menjadi medium bagi gerak dilektis yang lebih besar, perjuangan kelas,
perjuangan untuk keadilan sosial, cita-cita yang sama yang hendak kita
perjuangkan sebagai bangsa.
Pelarangan
dalam penyebaran suatu paham dan ideologi juga bertentangan dengan konsep
negara hukum yang demokratis yang dianut Indonesia sebagaimana diatur dalam
pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengakuan sebagai negara hukum mensyaratkan keharusan untuk memenuhi ciri-ciri
dan kriteria negara hukum itu sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie, salah satu
elemen penting dalam konsep negara hukum Indonesia adalah perlindungan hak
asasi manusia (Asshiddiqie; 13). Salah satu hak asasi manusia yang dijamin
dalam konstitusi Indonesia adalah hak untuk berserikat dan berkumpul. Pasal 28
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
berbunyi “(k)emerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
Undang-undang.” Sementara pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 berbunyi “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Jenis
hak yang dibatasi secara vulgar di dalam Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/1966.
Pelarangan
ini diperparah dengan adanya diskriminasi bagi keturunan anggota Partai Komunis
Indonesia. Diskriminasi telah dimulai sejak penggolongan mereka yang dituduh
terlibat G30S dalam tiga label; A, untuk mereka yang harus menerima hukuman
mati; B, untuk mereka yang dikirim ke pengasingan sebagai tahanan politik dan
C, bagi mereka yang secara tidak langsung terlibat dalam G30S, termasuk
keluarga. Hingga hari ini, mereka dengan label B dan C kerap kali menghadapi
kesulitan-kesulitan dalam memenuhi hak-hak kewarganegaraannya. Negara pasca
reformasi belum mampu memenuhi kewajiban untuk mendudukkan warganya secara
sama dan setara dihadapan konstitusi.
Rekonsiliasi
Meskipun
secara konseptual kedudukan Ketetapan MPR tak lagi dapat diterima, namun argumentasi
tersebut tak dapat diterima secara formal hingga dibuktikan di
dalam pengadilan sesuai asas praduga keabsahan. Sayangnya, sejumlah gugatan
atas Ketetapan MPR yang membatasi hak konstitusional diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi membentur tembok tinggi mengingat konstitusi membatasai kewenangan
mahkamah semata-mata untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Ketetapan
MPR menjadi daging tumbuh dalam hukum positif kita; eksistensinya diakui, namun
di sisi lain tidak tersedia mekanisme pengujian atasnya yang diatur secara
eksplisit. MPR sebagai lembaga pembentuknya juga tak lagi dapat diharapkan
mengingat konsekuensi penghapusan kewenangan membentuk Ketetapan MPR berarti
ketidakmungkinan untuk mencabutnya.
Namun majelis
dalam Mahkamah Konstitusi masih dapat mengambil putusan drastis dengan melakukan
penafsiran ekstensif terhadap kewenangannya yang diatur dalam Pasal 24C
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Posisi Ketetapan MPR
yang terjebak diantara undang-undang dan undang-undang dasar menunjukkan bahwa
perturan tersebut bersifat organik terhadap konstitusi meskipun dibentuk oleh
lembaga yang juga membentuk konstitusi. Ketetapan MPR mengandung materi muatan
yang seharusnya diatur dalam undang-undang, atau dengan kata lain sebagai
undang-undang dalam arti material, wet in
materiele zin. Apabila terdapat materi muatan yang bertentangan dengan
konstitusi, seperti dalam Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/1966, menjadi kewajiban
Mahkamah Konstitusi untuk menegakkan asas lex
superior derogate legi inferior.
Kita juga perlu
mendesak eksekutif guna memengaruhi pendapat publik dan menyebarluaskan penyimpangan
Ketetapan MPR di hadapan hak-hak konstitusional. Tindakan serupa pernah
dilakukan pada era kepresidenan Abdurrahman Wahid namun berakhir dengan
kontroversi. Hal ini bertujuan untuk mengendurkan daya ikat sosial Ketetapan
MPR No. XXV/MPRS/1966 dan mengembalikan wacana-wacana kritis Marxian ke ruang
publik. Setelah lima puluh tahun, setengah abad kebohongan-kebohongan sejarah, telah
tiba saatnya bagi kita untuk sekali lagi memperbaiki kekeliruan.