Dalam kurun pertengahan bulan April hingga pertengahan bulan Mei ini
saya menemukan beberapa objek yang mengesankan.
Menemukan
Kembali Sans Familie (Nobody's
Boy)
Saya
berpaling sejenak dari karya-karya penulis utara untuk membaca salah
satu legenda sastra romantisme ini.
Di era
2000-an awal, SCTV menjadi kanal televisi nomor satu perihal serial
kartun berkualitas yang ditayangkan harian. Salah satu yang terasa
berbeda karena lebih banyak menimbulkan haru sore-sore adalah kisah
petualangan Remi, saya lupa judulnya. Di sebuah toko buku saya
menemukan ceritanya kembali dalam rupa asalnya, Sans Familie
(Penerbit Gramedia, 2010).
Remi
kecil didera kisah pilu yang seolah tak habis-habis. Sejak kecil
diasuh oleh orang tua angkat yang menemukannya, Remi kemudian dibeli
Signor Vitalis, dan bersama-sama berkeliling Perancis-Italia dalam
sebuah kolektif sirkus mini beranggotakan keduanya dan
binatang-binatang jenaka. Dalam perjalanan derita pun masih
berlanjut. Anjing-anjing yang dimangsa serigala hingga sang Signor
yang menemui ajal Namun diakhir kisah Remi menemukan kebahagiaannya.
Yang saya
ingat, seri animenya menyajikan kisah ini dalam penggambaran yang
lebih naik-turun temponya.
Baik
dibaca usia kita? Akhir yang bahagia, alur novel ini barangkali klise
dan menjadi formula umum dalam menyusun sebuah drama dalam berbagai
dimensi dunia hiburan. Ditambah Hector Malot menulis Sans Familie
dalam gaya bahasa yang sederhana, sehingga roman ini jamak (dan
memang layak) dikategorikan sebagai bacaan anak-anak. Namun,
nostalgia kadang mengajak kita untuk sengaja acuh atas tepi-tepi.
Akhir
Kisah Death Notice
Sebagai
gambaran bagi yang tidak membacanya, Death Notice mengisahkan 24 jam
terakhir dari mereka yang 'dibunuh' demi negara. Tentang apa yang
kalian lakukan jika tahu harus mati besok. Seri manga
yang saya kenal sejak Madrasah Aliyah ini akhirnya menemui akhir, dan
Mase Motoro memilih hamparan sejumlah gimmick
dan fakta mengejutkan, rumit dan meledak-ledak sebagai penutup.
Tagline: drama yang akan mengguncang jiwa, dibuktikan dengan telak.
Epic.
Wiji
Thukul Hidup Kembali
Wiji Thukul hidup kembali, dalam majalah Tempo edisi 13-19 Mei 2013,
edisi khusus tragedi Mei 1998. Tidak ada pengungkapan hasil
penelusuran yang mengejutkan, seperti dimana Thukul berada saat ini
(atau setidak-tidaknya dimana makamnya). Kecuali pelarian-pelarian
sang penyair, dan hal-hal yang simpang siur. Tempo menghamparkannya
detil.
Tidak
ada pengkultusan berlebihan terhadap sosok Wiji Thukul. Semuanya
dipaparkan apa adanya, termasuk proses kreatif Thukul, termasuk
romansanya, termasuk cela-cela. Tempo juga berbaik hati menyisipkan
kumpulan puisi Thukul yang tidak sepopuler teriakan hanya
ada satu kata: lawan!
Siapa pula tim Mawar yang memburu Thukul dan kawan-kawan PRDnya.
Adalah mereka yang telah menghabisi nyawa sang penyair? Termuat pula
ulasan hal tersebut dalam Tempo edisi ini.
Tunggu, sebagian dari kita
percaya, entah di ufuk langit mana, bahwa sang biji masih bertumbuh
dan hidup, bukan?
Bully
Telah menjadi rahasia umum, bahwa penindasan, baik fisik maupun
mental,nyata dan hidup diantara anak-anak sekolah. Tapi siapa mengira
masalahnya separah apa yang digambarkan dokumenter ini. Film
mengambil latar sebuah negara yang mengaku modern dalam berbagai
lini, termasuk hukum, namun apa yang tampak adalah kebalikannya. Dan
pengangkangan-pengangkangan atas hukum itu dilakukan oleh
manusia-manusia dini usia.
Saya
belum pernah semarah ini dalam menonton film. Ada individu-individu
di sekolah yang dipermainkan layaknya bola sepak, di-bully
setengah mampus, dan mereka yang seharusnya melindungi berujar dengan
santai bahwa ini bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, atau
menawarkan penyelesaian yang tidak solutif. Tidak ada aturan,
supremasi hukum dalam lingkungan bernama sekolah kandas dalam ruang
omong kosng.
Dan reaksi dari mereka yang ditindas itu menjadi pembeda. Sebagian
melawan (dan ini keren), sebagian menerima seolah tidak ada apa-apa,
dan sebagian lainnya memilih akhir meringis: bunuh diri.
Banyak dari kalian sudah menonton dan menganggapnya biasa saja? Iya,
saya memang aneh.
Naif,
Dalam The Nevasca 2013
Puji
Tuhan untuk SMA 1
Malang yang membawa Naif ke kota kami, ke hadapan saya. Kecuali
masalah sound system
yang menjengkelkan, penampilan unit ini luar biasa dan mengesankan,
pun crowdnya.
Saya mengenal Naif sejak kanak-kanak, di era dimana David masih
berambut lebih sepipi dan tidak gemar membuka baju. Di awal 2000-an
klip-klip Naif, seperti Possesif yang mempopulerkan gestur almarhum
Avi, sempat merajai televisi bersama Sheila on 7, Club 80's dan
lainnya. Lama sekali, menimbulkan kerinduan tersendiri. Dan semakin
berdahaga mengingat kondisi layar kaca kita dewasa ini didominasi
pria-pria (bahkan diantaranya belum cukup umur) yang gemar bernyanyi
berjoget.
David bersama rekan-rekannya menuntaskan haus malam itu, meski dengan
catatan yang bertebaran. Naif membuka rangkaian gerbong dengan Cuek,
lagu mid-tempo dari album Planet Cinta. Sesi ajojing berjamaah
langsung disulut. Bersamaan masalah yang juga mulai terdengar.
Berulang kali koor penyimak mengisi bagian vokal utama ketika suara
David tidak terdengar. Awalnya cuma microphone yang kerap mati, namun
diujung lagu ketiga seluruh instrumen, kecuali drum, kehilangan
bunyi. Penampilan harus ditunda untuk perbaikan. Naif kembali ke
balik panggung, penyimak kecewa dan memanggil-manggil sang penampil
utama.
15 menit berlalu dan Naif kembali, set dilanjutkan. Sepanjang
penampilan paduan suara massal bergema kencang mengisi ruang.
Ber-asoy geboy ria misalnya, dalam Mobil Balap. Dan Graha Cakrawala
semakin pecah ketika berturut-turut lagu-lagu andalan sendu
dibawakan: Dimana Aku Disini, Benci Untuk Mencinta, dan tentu saja,
Possesif. Saya tak kuasa bernyanyi gila (Ini lagu favorit dan
memorable tentu saja).
Diujung
penampilan Naif menyajikan Air dan Api dari album bertajuk sama, lalu
berlalu begitu saja setelah salam perpisahan. Tidak ada encore
(karena penonton tidak meminta, aneh untuk sebuah crowd
yang super).
Beruntungnya, saya telah meminum tembang-tembang yang dibawakan dalam
dosis yang tepat. Tandaslah dahaga.