Sumber: eljohnnews.com |
Dimulai
dari 23 Januari 1942 dini hari, sekelompok pemuda yang dipimpin oleh Nani
Wartabone berhasil melakukan kup kecil terhadap pemerintahan kolonial Belanda
yang saat itu masih berkecimpung di Gorontalo. Para pamong kolonial tersebut
saat itu barangkali masih terlelap di dipannya, memeluk guling, memimpikan
pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai. Dalam sekali dua gerakan,
administrator-administrator kulit putih itu berhasil dibuat tak berdaya. Satu
per satu mereka kemudian digiring ke penjara-penjara yang mereka bangun
sendiri.
Sebelum
matahari benar-benar tinggi, pemuda-pemuda tersebut berhasil melaksanakan
sebuah upacara formal, menaikkan bendera merah putih, dan menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Pemuda-pemuda Gorontalo itu dengan lantang berseru bahwa “(p)ada
hari ini ... kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas dan
lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita yaitu Bendera Merah
Putih, lagi kebangsaan kita adalah lagu Indonesia Raya. Pemerintah Belanda
telah diambil alih oleh pemerintah Nasional.” 3 tahun sebelum momentum
yang sama terjadi di Pegangsaan, Batavia. 3 tahun sebelum Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Peristiwa
23 Januari 1942 sejak saat itu dikenal sebagai hari patriotik, mengenang keberanian
para pemuda Gorontalo mengusir penjajah dari tanah kelahirannya. Setiap tahun
malam renungan suci dan upacara peringatan dilaksanakan di lapangan-lapangan
sekolah.
Namun
demikian, peristiwa 23 Januari 1942 sejatinya menyimpan signifikansi yang lebih
jauh daripada sekadar hari perayaan. Ia bisa jadi membuka kembali percakapan
lama mengenai apa yang paling tepat disebut sebagai grundnorm dalam
tatanan konstitusional Indonesia. Selama ini, perdebatan identifikasi tersebut
didominasi oleh Pancasila dan Proklamasi 17 Agustus 1945 itu sendiri.
Grundnorm di Indonesia Selama Ini…
Masyarakat ilmiah hukum Indonesia cenderung
meletakkan Pancasila sebagai sebuah norma dasar yang membentuk tata hukum
Indonesia. Dalam posisi ini, seluruh peraturan perundang-undangan tertulis, di
mulai dari konstitusi, undang-undang, sampai peraturan daerah, harus dibentuk
dengan mengacu pada Pancasila. Paradigma ini pun diadopsi secara formal hingga
hari ini. Dalam bahasa UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Pancasila disebut sebagai “sumber dari segala sumber
hukum.”
Namun demikian, bagi sejumlah sarjana,
mendudukkan Pancasila dalam posisi ini sejatinya problematis. Salah duanya
adalah analisis Hamidi atau Asshiddiqie dan Safaat, yang berangkat dari
konstruksi Hans Kelsen tentang grundnorm, yang juga menjadi acuan
bagi penempatan Pancasila sebagai norma dasar. Karakter grundnorm menurut
Kelsen sejatinya bersifat transeden, abstrak sepenuhnya. tidak tertulis, dan
keabsahannya tidak dapat lagi dinilai dengan norma yang lebih tinggi. Grundnorm adalah
puncak dari segala puncak penormaan. Ia memberikan otoritas terhadap suatu
masyarakat untuk membentuk suatu tatanan hukum formal. Grundnorm adalah
alasan di balik keabsahan suatu konstitusi.
Pancasila, menurut Hamidi, Asshiddiqie, dan
Safaat, tidak memenuhi karakter itu. Ia sejatinya merupakan bagian tak
terpisahkan dari konstitusi. Secara formal, rumusannya dapat ditemukan di dalam
alinea keempat bagian pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, ia tidak memenuhi
kriteria sebuah grundnorm yang keberadaannya mendahului
konstitusi.
Adapun penyebutan Pancasila secara terpisah
selama ini tak lain merupakan kebiasaan ketatanegaraan yang dipositifkan.
Kebiasaan ini pun memiliki watak politis-ideologis, mengingat penggunaannya
yang massif dalam kurun pemerintahan Orde Baru. Pancasila dalam masa itu
“memihak” pada kepentingan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, termasuk melalui
instrumen hukum.
Berseberangan dengan kecenderungan tersebut,
para sarjana kemudian menilai bahwa peristiwa Proklamasi 1945-lah yang justru
lebih sesuai dengan karakter grundnorm Kelsen. Proklamasi
tidak hanya memungkinkan masyarakat Indonesia untuk membebaskan diri dari
penjajahan. Lebih jauh, ia menjadi jaminan bagi masyarakat Indonesia untuk
dapat mengatur secara bebas alam pergaulan berdasarkan hukum yang mereka buat
sendiri. Dengan demikian, masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan dapat
menikmati posisi sebagai warga negara kelas satu, di dalam negara yang dibentuk
untuk kepentingan mereka sendiri.
Namun demikian analisis ini melupakan satu
hal penting: bahwa Proklamasi 1945 sejatinya memiliki latar sosial yang tidak
homogen sama sekali. Ia cenderung melupakan bahwa beberapa daerah di Indonesia
telah berhasil membebaskan diri dari kolonialisme sebelum 17 Agustus 1945.
Beberapa daerah yang lain bahkan tidak pernah sekalipun merasakan menjadi
masyarakat yang (mengikuti istilah Pramoedya Ananta Toer) “terprentah”.
Problematika Proklamasi 1945 sebagai Grundnorm
Melihat Proklamasi 1945 sebagai sebuah
monumen tunggal barangkali hanya akan tepat jika kita dapat membuktikan setidaknya
empat asumsi. Pertama, bahwa Pasal 163 Indische
Staatsregeling (IS) yang membagi masyarakat Hindia Belanda
dalam tiga kategori kelas (Eropa, Timur Asing, dan Pribumi) benar-benar
menciptakan segregasi sosial yang ketat antar golongan-golongan yang diaturnya. Kedua, bahwa
politik Pax Nederlandica pada akhirnya berhasil ditegakkan
secara efektif di seluruh wilayah Nusantara. Ketiga, bahwa
seluruh masyarakat Pribumi tertindas di bawah rezim kolonial. Keempat, bahwa
pasca Proklamasi, kekuasaan administrasi negara seketika beralih dari kolonial
kepada masyarakat Indonesia.
Namun demikian, situasi sebenarnya di seputar
Proklamasi tidaklah sesederhana itu. Pasal 163 IS, yang substansi utamanya
berada dalam koridor hukum perdata itu, efeknya memang berkelanjutan dalam
ruang politik yang penuh pengecualian dan diskriminatif. Namun masyarakat
Hindia Belanda sejatinya dapat memilih untuk dikecualikan atau tidak, dengan
memilih mengadopsi salah satu hukum perdata. Artinya, kemungkinan untuk nasik
kelas sosial tetap terbuka. Kantong-kantong masyarakat Pribumi yang memutuskan
menganut hukum perdata Eropa akhirnya cenderung memperoleh keistimewaan dari
administrasi kolonial. Salah satunya, mereka kerap direkrut untuk menjadi
serdadu-serdadu kolonial. Tidak perlu heran jika dalam banyak narasi sejarah
peperangan di wilayah Nusantara, yang saling berhadapan justru tentara pribumi
bersenjata lengkap melawan pribumi berbambu runcing.
Masyarakat Pribumi yang menikmati kemudahan
hidup di bawah kolonialisme pun sejatinya bukan hanya mereka yang memutuskan
menganut hukum perdata Eropa. Dalam masyarakat Hindia Belanda, rezim kolonial
juga melanggengkan pembagian kelas yang telah ada di dalam masyarakat. Mereka
tak lupa membentuk klasifikasi sosial baru. Sebagai contoh, di Jawa dikenal
sebuah kelas bernama priyayi yang mengharuskan rakyat biasa berjalan berjongkok
di hadapan mereka. Anak-anak priyayi ini diprioritaskan untuk menduduki jabatan
sebagai ambtenaar alias pegawai negeri dan masuk
sekolah-sekolah Belanda untuk pribumi. Politik kelas dan kebangsawanan yang
juga diterapkan di berbagai wilayah lain di Nusantara ini menjadi bagian dari
upaya meredam potensi konflik. Sementara bagi elit Pribumi, ini berarti
memanjangkan usia tatanan feodal yang telah berabad mereka nikmati kemewahannya.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua
masyarakat pribumi menderita di bawah kekuasaan kolonial. Pun tidak ada alasan
bagi mereka untuk mendorong kemerdekaan, mengingat kepentingan sebagian pribumi
tersebut telah diakomodasi oleh hukum yang berlaku pada saat itu.
Yang juga perlu dicermati adalah fakta
bahwa Pax Nederlandica bukanlah sebuah kebijakan
yang dijalankan secara seragam di seluruh Nusantara. Belanda memang pada
akhirnya berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara, sepanjang bukan protektorat
dari negara lain, di bawah administrasinya. Namun tidak semuanya
diperlakukan Belanda sebagai bawahan. Beberapa wilayah harus diakui menjalin
kerjasama dengan Belanda, terutama dalam melawan wilayah-wilayah lain dengan
kepentingan berseberangan. Pada masa tersebut, imaji tentang sebuah identitas
tunggal bernama bangsa tidaklah relevan.
23 Januari dalam Lintasan Sejarah Hukum Tata
Negara
Diskusi ini akhirnya berujung pada simpulan,
bahwa menerakan grundnorm pada peristiwa Proklamasi pada
dasarnya tak boleh mengabaikan dinamika-dinamika politik di daerah pada masa
kolonial. Kemawasan ini penting agar kajian kita tidak terjebak pada
kecenderungan untuk menggeneralisasi konteks yang sejatinya bhinneka dan
spesifik. Bahwa ribuan suku yang berbeda di Indonesia pada dasarnya memiliki
ingatan kolektif dan pengalaman yang berbeda mengenai kolonialisme, dan
karenanya, Proklamasi 1945.
Apa yang terjadi di Gorontalo pada 23 Januari
1942 semakin menegaskan hal tersebut. Para pemuda Indonesia di Gorontalo pada
tanggal tersebut berhasil menyatakan kemerdekaan Indonesia, tiga setengah tahun
sebelum Proklamasi 1945. Untuk sementara waktu, masyarakat Gorontalo sempat
menikmati pemerintahan oleh mereka sendiri, mengatur pergaulan berdasarkan
nilai-nilai yang mereka yakini.
Proklamasi 23 Januari 1942 lebih jauh
sejatinya memberikan tiket bagi pembentukan tatanan hukum baru, setidaknya di
wilayah Gorontalo. Memberikan para proklamatornya, Nani Wartabone, Kusno
Danupoyo, dkk., wewenang untuk membentuk sebuah republik yang berdaulat atas
wilayah Gorontalo. Pilihan tersebut, beruntungnya, tidak pernah diambil oleh
mereka yang menyebut dirinya Komite Dua Belas itu.
Alih-alih, para proklamator tersebut memilih
untuk tetap berkomitmen pada gagasan besar Pax Indonesiana yang
baru dapat terwujud tiga setengah tahun kemudian. Mereka memilih mengabdi pada
bangsa Indonesia yang saat itu masih terbayang. Hal ini setidaknya tampak dari
bunyi naskah proklamasi 23 Januari 1942 itu sendiri: “Pada hari ini ... kita
bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas dan leps dari
penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita yaitu Bendera Merah Putih, lagi
kebangsaan kita adalah lagu Indonesia Raya. Pemerintah Belanda telah diambil
alih oleh pemerintah Nasional.” Sebagai tindak lanjutnya, mereka membentuk
pemerintahan interim bernama Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG).
Apa-apa yang terjadi pasca 23 Januari 1942
barangkali akan semakin membongkar persepsi kita soal ketunggalan grundnorm dan
finalitas sebuah kedaulatan. Melalui PPPG, para proklamator 23 Januari 1942
memang sempat memerintah wilayah Gorontalo secara otonom. Di saat yang
bersamaan, Jepang pun mulai berhasil menggantikan kekuasaan Belanda di
Nusantara. Akhirnya pada pertengahan 1942, Jepang berhasil masuk ke Gorontalo dan
disambut dengan sukacita. Dua orang perwakilan PPPG dikirim untuk melaporkan
penangkapan para serdadu Belanda. Akhirnya, Jepang dengan leluasa mengubah
struktur PPPG di bawah komando teritorialnya.
Kedudukan Gorontalo di bawah komando militer
Jepang tidak serta merta berakhir pasca Proklamasi 1945. Pun demikian dengan
nasib Indonesia secara keseluruhan. Sekalipun kemerdekaan telah diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945, dan disambut dengan pesta hingga ke Gorontalo, namun
pemerintah belum benar-benar beralih ke tangan Pribumi.
Angkatan Darat Jepang (Rikugun) yang
berkuasa atas wilayah Barat Nusantara pasca 17 Agustus masih menolak mengakui
kemerdekaan Indonesia. Sebagai pihak yang kalah Perang Dunia II, mereka terikat
pada perjanjian Postdam, yang diantaranya memuat klausul penyerahan kembali
Hindia kepada Belanda. Tak berselang lama pasca Proklamasi 1945,
Agresi Militer Belanda I dimulai. Artinya, kehendak “pemindahan kekuasaan
dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” tak pernah benar-benar
sangkil terwujud, hingga setidaknya pada 27 Desember 1949.
Gambaran ini semakin menegaskan bahwa
Proklamasi 1945 sulit untuk disebut sebagai sebuah monumen tunggal, apalagi
menjadi norma yang memberikan kontras antar babak-babak sejarah. Berbagai
peristiwa pasca Proklamasi, baik 23 Januari 1942 di Gorontalo maupun 17 Agustus
1945 di Indonesia, sama-sama menunjukkan bahwa masyarakat pasca kolonial itu
tidak serta merta berwenang membentuk tata hukumnya sendiri dan masih
terpengaruh pada dinamika ekonomi-politik global. Sebagaimana keseluruhan teori
kemurnian hukum Kelsen yang terus mengalami pembaruan, bahkan cenderung
ditinggalkan, grundnorm adalah sebuah aksioma yang masih
terbuka pada penafsiran-penafsiran baru. Apalagi dengan mengingat situasi
Indonesia sebagai peradaban yang disusun atas kemajemukan. Alih-alih dilihat
sebagai norma final yang tak dapat diganggu gugat, grundnorm sejatinya
adalah proses dan aliran sejarah itu sendiri. (*)