Belakangan, kepulauan
Banda kembali menjadi perbincangan di dunia maya, seiring dengan perayaan 350
pengesahan traktat Breda; sebuah perjanjian yang menandai tukar guling antara
New Amsterdam (sekarang Manhattan, New York) dan pulau Run di kepulauan Banda.
Di Jakarta, sebuah pameran digelar, sementara dalam waktu yang hampir
bersamaan, film dokumenter Banda: The Dark Forgotten Trail diputar di bioskop.
Potongan-potongan gambar dan footage dari Banda yang berseliweran membangkitkan
kerinduan saya kepada kepulauan teduh ini.
Saya memutuskan untuk melanjutkan
tulisan, atau tepatnya memoar, tentang Banda yang telah lama terbengkalai
karena kehidupan pascasarjana.
Bahkan setelah berbulan-bulan meninggalkan
Banda, saya masih dapat mengingat seluruh detil inderawi atas
kepulauan ini. Laut birunya, bau rempahnya, kesunyiannya. Saya dapat mengingat dengan jelas,
bagaimana pada tengah hari yang terik itu, saya menekur di pangkal salah satu dermaga
di Banda Besar, menunggu kapal yang akan membawa saya kembali ke pusat
kepulauan Banda. Ke Banda Naira.
Baca juga Tentang Rumahku (1): Cerita dari Banda Naira.
Di depan saya, duduk sepasang anak beranak
yang sibuk sendiri. Peluh mulai menghapus pupur tebal yang membalur seluruh
wajah sang ibu. Sebentar lagi, usaha puluhan menitnya untuk berdandan rapi akan
segera sia-sia, demi menghadapi ulah sang anak yang hampir tak bisa diam. Gadis
muda yang ia pangku sesekali berdiri, mencoba menjauh dari jangkauan ibunya. Ia
merengek agar diturunkan ke lantai, untuk kemudian meraih-raih dudukan dermaga
kembali. Mengulang gerakan itu beberapa kali. Dari dua bilah bibir bergincu
murahan sang ibu, beberapa saat kemudian, keluar bentakan kecil. Lebih dari
cukup untuk memaksa sang anak mengambil sikap sempurna.
Namun peluh sang ibu masih belum berhenti
mengucur. Alasan di balik peluh itu, sebagaimana lelaku hiperaktif anaknya, agaknya
adalah kegelisahan. Anak beranak itu membagi perasaan itu dengan saya. Lebih
dari 30 menit kami menunggu di pangkal dermaga itu, namun tiada tanda-tanda
satu dua kapal yang hendak menyeberang. Beberapa kapal tertambat memang di
ujung dermaga, namun kosong dan padam mesin-mesinnya. Atap-atap seng pada petak
yang dirancang sebagai ruang tunggu itu barangkali mampu melindungi kami dari
terik matahari, namun tidak dari rasa kesal yang tumbuh perlahan.
Saya mencoba menghapus kebosanan dengan
menggoyang-goyangkan kaki sesekali. Pada menit-menit yang lain, saya melepaskan
pandangan ke lanskap indah kepulauan Banda; laut hijau, dengan pulau Banda Api
yang berdiri mencolok di tengah-tengahnya. Angkuh. Rumah-rumah kecil di Banda
Naira terselip di horizon. Saya kemudian menengok jam, berharap agar tidak
kesorean ketika tiba kembali di Banda Naira nanti. Durasi perjalanan yang amat
terbatas membuat setiap detik di Banda menjadi amat berharga.
Dari kejauhan, suara motor memecah kesunyian tengah hari khas kepulauan Banda. Orang-orang di sana umumnya menghabiskan siang antara pukul 12 hingga 4 sore dengan tidur, menyisakan desa yang hampir senyap. Pada rentang waktu itu, deru kendaraan bermotor menjadi bunyi yang sangat signifikan. Harapan saya segera terbit; barangkali inilah nahkoda kapal yang kami tunggu-tunggu. Ketika motor itu akhirnya semakin dekat ke dermaga, saya segera tahu bahwa sosok-sosok di atasnya adalah calon penumpang yang lain. Dari bagian belakang sadel motor, seorang ibu meloncat dengan kresek merah yang membumbung. Ketika ia berlalu, saya dapat mengamati isinya. Sekeranjang penuh fuli kering; urat Pala.
Kesabaran sang ibu mulai habis. Kali ini,
amuknya tak lagi di arahkan kepada sang anak, melainkan pada pemuda pemudi yang
turut mengaso di dermaga, namun tidak tampak berniat menyeberang.
“Mana ini orang bawa kapal he? Su lama sekali ba tunggu!” Pemuda pemudi itu terpaksa mengakhiri sejenak obrolan
putus-putus mereka. Menengok ke kanan dan ke kiri, mengidentifikasi siapapun
pemilik kapal yang bersembunyi. Mereka kemudian berseru kepada seorang pria tua
yang sesungguhnya turut duduk di sana sejak tadi.
“Ini orang mau naik kapal.”
Pria itu menjawab dengan enteng, bahwa saat
ini sedang bukan gilirannya melaut. Di dalam hatinya, ia mungkin hendak
melarikan diri dari sengatan matahari yang mencabik-cabik siang itu. Si ibu
mulai berkeluh kesah lagi, tanpa ampun, hingga pria tua itu tak punya pilihan
lain kecuali mengakhiri waktu bersantainya.
“Tunggu, satu cangkir kopi dulu,” ujarnya
sebelum melengos dan melipir ke warung. Pria itu tak pernah benar-benar
menikmati cangkir kopinya. Empat lima menit selanjutnya, kami telah mengekor di
balik punggungnya, hingga ke ujung dermaga. Orang-orang yang berkerumun
menunggu bersama saya akhirnya berpindah ke lambung kapal. Naik perlahan-lahan,
satu demi satu. Kapal stabil. Nir gelombang, air laut teramat tenang.
Penyeberangan dari Banda Besar ke Banda Naira
tak menghabiskan waktu lebih dari 10 menit. Sekejap kemudian, saya kembali
menjejak daratan pulau Naira yang lebih pikuk. Banda Naira adalah kota yang
benar-benar kecil. Lebar jalannya bahkan tak akan mampu memuat dua mobil yang
berpapasan. Bukan tanpa alasan jika saya akhirnya tak sekalipun menemukan jenis
kendaraan itu di sini. Satu-satunya pilihan transportasi adalah motor. Dan
karena luas Naira yang tidak seberapa, saya memutuskan untuk berkeliling dengan
berjalan kaki sepenuhnya. Pilihan terbaik untuk menikmati sore yang hangat,
Saya kemudian memutuskan untuk memulai “baronda” Naira dari Benteng Belgica.
Bagi saya, Belgica adalah landmark kepulauan Banda yang paling
mencolok dan khas. Siapapun yang mengunjungi Banda dari arah laut (dan mungkin
udara) akan segera dengan mudah menangkap keberadaannya. Benteng ini dibangun
pada salah satu pucuk bukit tertinggi di pulau Naira. Ia dirancang untuk dapat
dilihat dari seluruh penjuru kepulauan, pun demikian sebaliknya; untuk
menjangkau seluruh kepulauan. Dari kejauhan, kekukuhannya akan segera tampak
oleh mata.
Karena kedudukannya yang sedikit berada di
atas ketinggian, untuk mencapainya dibutuhkan sedikit tenaga ekstra. Ada
beberapa bilah anak tangga yang perlu dipijaki, sebelum benar-benar tiba di
gerbangnya. Sore itu, komplek benteng benar-benar sepi. Hanya ada satu dua
turis yang tampak sibuk mengambil gambar. Sisanya anak-anak setempat yang sibuk
bergaul di atas hamparan rumput setengah miring.
Dari pintunya, kesan akan keseriusan dan rasa
insekyur Belanda akan geliat perlawan an pribumi Banda akan segera terasa.
Sekalipun memiliki lingkar yang tak terlalu besar, namun ketebalan dinding-dindingnya
cukup mengerikan. Perancangnya tampak berusaha semaksimal mungkin memberikan
rasa aman bagi apapun yang coba dilindungi di tengah-tengah benteng tersebut. Belgica
sekaligus menjadi penanda superioritas bangsa Belanda, karena didirikan tepat
di atas sisa-sisa benteng milik Portugis, pada tahun 1611.
Paranoia dan rasa takut tentu saja bukan
hanya menjadi motif endemik pembangunan sebuah benteng milik Belgica
sepenuhnya. Namun di sini, perasaan itu terasa lebih kuat. Barangkali, karena
bentuknya yang segi lima, dengan bastion-bastion di setiap ujungnya menghadap
ke seluruh hamparan raya kepulauan Banda. Memastikan tak ada satupun musuh yang
luput teramati, dari darat maupun udara. Belgica menjelma sebuah menara pantau
panoptikon, dengan kesunyian lautan Banda sebagai blok-blok penjara dengan
batas yang tak kasat. Pilihan arsitekur pentagon ini sendiri sesungguhnya baru
diterapkan pada 1673, dirancang oleh Adriaan de Leeuw atas perintah Gubernur
Jenderal VOC Cornelis Speelman.
Namun, betapapun ia tampak paripurna, Belgica
pada kenyataannya berhasil diokupasi Inggris lewat sebuah serangan tidak
berdarah pada tahun 1796. Belanda berhasil melaksanakan pengambil-alihan ulang
pada tahun 1803, sebelum dirampas Inggris kembali, hingga benar-benar kembali
ke tangan Belanda pada akhir abad 19.
Pada 1904, Belanda mencoba membangun kembali
benteng ini, namun tak pernah benar-benar selesai. Agaknya administrator
kolonial mulai mempertimbangkan ulang relevansi Belgica, di saat Banda sendiri
telah kehilangan status sebagai menara suar rempah-rempah dunia. Perhatian
kebijakan agraria Belanda telah lama bergeser kepada gula dan kopi yang lebih
semok, dan politik etis pun telah berbuah perintah dari negara induk untuk
mengubah pendekatan terhadap pribumi. Meriam harus diganti pena dan gincu.
Membangun ulang Belgica pada tahun-tahun itu, sama saja menunjukkan sifat
agresif dan menantang dengan dagu terangkat, kesan yang coba mereka tinggalkan. Banda pada masa
itu lebih dikenal sebagai daerah pembuangan, dan orang-orang buangan itu tak
perlu diawasi dengan benteng. Cukuplah bagi mereka kedalaman laut Banda sebagai
jeruji. Pada 1914, benteng Belgica tuntas dibangun hanya sebagiannya.
Barulah pada 1991, jauh setelah Hindia
Belanda berganti identitas menjadi Indonesia, Belgica kembali mendapatkan
sentuhan restorasi. Belgica menjadi Belgica yang saya pijaki hari itu. Dari
salah satu puncak menaranya, saya bisa memandang leluasa lanskap syahdu
kepulauan Banda. Sunyi dan biru.
Pukul 5 kurang 30 menit, saya memutuskan
bergeser ke situs sejarah Naira yang lain. Kali ini, saya hendak berziarah ke
rumah pengasingan tokoh idola saya. Perumus demokrasi Indonesia, bapak
koperasi, Mohammad Hatta. Saya dengan percaya diri kembali menelusuri dengan
serampangan jalanan sempit Banda Naira, berkeyakinan bahwa kemanapun saya
melangkah pasti akan mengarah ke tempat tujuan saya.
Di jalan, saya berpapasan dengan sumur yang
terantai dan kanan kirinya dicat baru. Sumur itu yang menjadi saksi bisu
pembantaian 40 orang kaya asli Banda oleh Jan Pieterszoon Coen. Kepala keempat
puluh orang malang itu dipenggal hingga terpisah dari tubuh, lalu dipancangkan
ke ujung-ujung bambu runcing. Peristiwa ini merupakan salah satu momen penting
yang memudahkan infiltrasi kekuasaan kolonial atas rempah-rempah Banda,
sekaligus menjadi awal mula eksodus orang-orang asli Banda dari tanah airnya.
Ketika orang-orang asli Banda di kepulauan Banda hampir habis, keturunan mereka
kini bermukim di kepulauan Kei yang lebih selatan. Memusat di ohoi Banda Eli dan Banda Elat, Kei
Besar, Maluku Tenggara. Bahkan menurut catatan Ethnologue, hanya di kedua desa ini bahasa Banda masih dilestarikan,
sementara di tempat asalnya, tidak lagi diketemukan penutur aslinya. Sebuah
indikasi mengenai ketercerabutan penyebaran suku asli Banda hari ini.
Saya melanjutkan langkah, hingga belakangan
menyadari bahwa saya berputar-putar di tempat yang sama. Saya jelas tersesat,
sementara rumah pengasingan Hatta tak kunjung ditemukan. Saya menyerah dengan
kegagapan saya, dan memutuskan bertanya kepada salah satu pemuda yang masih
mengenakan celana SMP, mengaso di atas motor, di sebuah perempatan.
“Halo. Maaf, rumah Bung Hatta di mana ya?”
Pemuda ini tersenyum balik kepada saya, sembari mencoba memberikan petunjuk
arah sejelas mungkin. Sebelum selesai, dia tampak memiliki ide yang lebih
brilian untuk memastikan saya sampai ke rumah Hatta dengan tepat.
“Ayo naik kak, nanti saya antar,” ujarnya
tanpa ragu. Ia segera menyalakan motor matic-nya,
dan menyilakan saya naik. Saya mulai terbiasa dengan keramahan dan kemurahan
hati oran-orang Banda, sehingga tawarannya segera saya sergap. Kurang dari dua
menit, saya tiba di depan rumah legendaris itu. Saya berbalik kepada sang
pemuda, mencoba menawari sejumlah uang, namun ditolaknya secara halus sembari
berbalik dengan motornya. Pintu rumah pengasingan Hatta terbuka lebar. Namun
dari luar, segera tampak bahwa di dalam tak ada aktivitas. Rumah Hatta sedang
sepenuhnya lengang sore itu. Tak ada manusia lain. Pun demikian, saya
memutuskan untuk tetap melangkah masuk.
Sekalipun melompong, rumah pengasingan Hatta
tampak rapi jali. Seseorang sangat berusaha merawat peninggalannya dengan apik,
tanpa membiarkan sebutir debu pun menghinggapi koleksi museum tersebut. Dengan
arsitektur indis yang khas, pelancongan ke dalamnya terkesan seperti tamasya ke
rumah nenek. Hangat dan karib. Jendela berkusen besar di beberapa bagian rumah
dibiarkan pengelolanya terbuka, sehingga cahaya hangat sore dapat merembes
masuk ke seluruh sudut rumah.
Rahasia dibalik ketaraturan itu belakangan
tergopoh masuk menyusul saya. Seorang wanita berumur yang tiba dengan
mengenakan daster oranye berpotongan sederhana. Sepintas kecantikan muda khas
keturunan Hadramaut masih tersisa di dalam parasnya. Hidungnya mancung, dengan
kulit putih bersih yang berkerut. Rambut yang telah perak sepenuhnya dikuncir
rapi kebelakang. Badannya telah jauh membungkuk, memangkas tinggi aktualnya
hingga lima per enam. Namun dari piringan matanya yang menua, masih tampak
semangat dan kekuatan. “Dua minggu lalu saya baru tiba dari Jakarta. Perjalanan
dua minggu, naik kapal Tidar.”
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Emi. Saya
memanggilnya Oma Emi.
Seperti orang-orang Banda yang lain, Oma
menanyakan asal usul saya dan bagaimana saya bisa terdampar di tengah lautan
Banda. Ia pun, sebagaimana lazimnya pengelola museum, mulai menjelaskan detil-detil
rumah pengasingan. Hatta yang menghabiskan beberapa waktu di Banda, terkenal
suka mengisi waktunya dengan mengajari anak-anak Banda calistung. Pada bagian
belakang rumah, saya menemukan sebuah selasar yang disusun layaknya kelas sederhana,
lengkap dengan meja dan kursi belajar. Salah satu diantara bocah-bocah itu
diangkat Hatta sebagai anak. Di masa depan, sangat sulit memisahkan nama si
anak dengan kisah-kisah restorasi Banda. Ia tak lain adalah Des Alwi. Salah
satu kontribusi terbesarnya adalah revitalisasi rumah pengasingan yang kini
dirawat sepupunya. Oma Emi, tiada lain.
Bagi saya, perbincangan dengan Oma membawa
perasaan lain yang ganjil. Saya memiliki ingatan yang relatif tak lengkap soal
sosok nenek. Di satu sisi, nenek saya dari sebelah ibu telah meninggal sebelum
kedua orang tua saya menikah. Sementara nenek saya yang satu lagi tinggal
ribuan kilometer jauhnya dari tempat saya menghabiskan masa kecil. Hampir tak
ada kenanga spesifik tentang kehangatan sosok mereka, sebagaimana digambarkan
di dalam cerita anak-anak yang kerap saya baca. Maka perbincangan sore singkat
dengan Oma mengenai tokoh idola saya memberikan kehangatan yang sesaat, minus
teh hangat dan biskuit. Ketika saya menyebut Banda sebagai rumah kedua, kampung
halaman yang lain, saya benar-benar menemukan alasannya. Sebelum mengakhiri
ziarah, Oma sempat meminta saya mengganti bohlam lampu teras belakang rumah.
Kami lalu keluar rumah beriringan.
Pukul 6 kurang beberapa menit, ketika cahaya
matahari yang jingga jatuh dalam sudut kurang dari 45 derajat. Masih ada waktu
sebelum matahari benar-benar tenggelam. Saya mengarahkan diri ke pantai Tita
Baru, turut bersama belasan warga setempat menghabiskan sore. Salah satu
bagiannya telah direklamasi membentuk selasar beton panjang hingga ke tengah
laut, berusaha menjangkau Banda Api di seberangnya.
Di salah satu sudut yang kurang riuh, saya
merebahkan diri menghadap cakrawala langit yang masih bersisa biru. Saya
merogoh smartphone yang sejak tadi
lebih banyak berfungsi sebagai jam, dan mulai memilih-milih lagu di dalam daftar
putar yang telah saya susun. Ruang dengar saya segera terisi oleh vokal
lamat-lamat pembuka lagu “Our Roots”, The Trees and the Wild.
Saya bangkit dan terduduk menghadap matahari
tenggelam, berusaha merefleksikan perjalanan yang jauh ini. Terasing di tengah
kedalaman laut Banda, pada gugus pulau yang liliput, saya dihadiahkan
pengalaman demi pengalaman yang karib dan ajaib. Siapa mengira saya akan
menemukan rumah di jalanan sempit Naira dan Lonthoir, lalu Tuhan di puncak
benteng Hollandia, lalu keterasingan dan paranoia di Belgica, lalu sosok nenek
di rumah pengasingan Bung Hatta. Potongan-potongan ini hampir tak memiliki
kelindan dan tampak paradoksal, namun kadung bergumul di dalam kesatuan di
kepulauan Banda.
Banda pada suatu masa adalah “akar” dari sejarah
dan identitas bangsa ini, dan kini serabut eksistensinya telah menembus jauh ke
dalam bilik-bilik memori saya. Dari sebuah memori kolektif kepada pengalaman yang sangat personal. Ketika ingatan itu dibangkitkan sekali lagi hari
ini, ia tak pernah ragu untuk membagi dirinya lebih jauh lagi, menunjukkan
segi-segi yang dulu luput terendapkan. (*)
Sekelumit
tentang Banda Naira:
Banda Naira adalah pusat administrasi dan ekonomi
dari kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Dapat dijangkau dengan
kapal feri dari pelabuhan Tulehu, Ambon yang berangkat dua kali seminggu dengan tarif
Rp. 410.000 (per Oktober 2016). Di Naira terdapat beberapa penginapan bernuansa rumahan dengan room rate yang
bervariasi. Saya memilih menginap di Delfika Guesthouse 1 yang cukup dekat dengan pelabuhan. Penginap dikenakan tarif Rp. 200.000 (per Oktober 2016) per malam untuk kamar non AC.
Orang-orang Banda
pada dasarnya sangat ramah dan senang mengobrol. Menjadi pelancong tunggal di
sini tidak akan membuatmu kesepian.