Sumber: Joblo |
Kita semua tahu, ada cela dalam 20 tahun karir penyutradaraan Christopher Nolan yang mengilap dan benderang itu. Di dalam 20 tahun karir penyutradaraan yang mengilap dan benderang itu, Christopher Nolan belum pernah sekalipun mencicipi anugerah piala Oscar.
Padahal sang
sutradara Inggris sesungguhnya telah membuktikan diri sebagai salah satu
kreator film terhebat di abad 21. Ia adalah representasi terkini dari
kecerdasan dan sentuhan endemik seorang ateur
yang berhasil berdamai dengan tuntutan kapital Hollywood. Di dalam setiap
film Nolan kita akan menemukan penciri yang khas; penokohan yang berpusat pada
karakter yang kuat namun tak kunjung tuntas dengan dirinya sendiri. Narasi yang
tidak linear, penuh lapisan, dengan tone gelap
dan set yang kolosal kemudian disusun dengan berpusat di dalam pakem penokohan
tadi.
Suatu hari
nanti, ketika kita diuji dengan film-film Nolan yang disajikan tanpa kredit
sekalipun, kita barangkali akan dengan mudah berujar, “ini film Nolan.”
Saya sendiri
telah memutuskan ‘mengimani’ Christopher Nolan sejak The Dark Knight (2008).
Siapapun pasti bersepakat, bahwa karakterisasi Batman yang dihadirkan Nolan di
dalam film itu, beserta prekuel dan sekuelnya, telah menghadirkan standar yang
sangat tinggi bagi film-film pop superhero. Pertarungan Batman dan Joker tidak
dihadirkan secara kontras sebagai wakil-wakil sisi gelap dan terang kota
Gotham. Batman ditelanjangi sebagai manusia biasa dengan sisi-sisinya yang
paling rikuh, yang justru membantunya mengarungi krisis.
Bagi saya,
The Dark Knight adalah sentuhan dengan level intelektualitas sebuah nubuat. Hingga
hari ini, DC Cinematic Universe
sebagai ibu kandung semesta Batman sendiri tampak kepayahan untuk menyamai
pencapaian artistik film ini. Dua film DCU yang dirilis tahun 2016 bahkan flop di pasaran dan di ujung pena kritikus.
Di dalam
karyanya yang lain, Nolan kerap meminjam trivia-trivia
dari ragam semesta sebagai bahan mentah untuk dikembangkan menjadi landasan
bertutur. Di dalam Inception (2010), Nolan mengeksploitasi lapisan-lapisan di
dalam alam bawah sadar manusia yang berproyeksi di dalam mimpi. Struktur mimpi
kemudian dimanfaatkan sebagai instrumen untuk melakukan tindakan spionase dan
sabotase tingkat tinggi. Para infiltrator menyusup ke mimpi korban untuk
menanamkan atau mencuri ide tertentu. Empat tahun kemudian, Nolan menggubah masterpiece-nya yang berikutnya;
Interstellar (2014). Tak lain sebuah upaya ambisius menyederhanakan algoritma
dan hukum rumit di balik ruang dan waktu ke dalam kisah perjalanan antar
galaksi.
Namun
demikian, kedua film yang saya sebutkan belakangan rupanya belum mampu
menghadirkan pengisi cela dalam 20 tahun karir penyutradaraan Christopher Nolan
yang mengilap dan benderang itu. Inception berhasil masuk nominasi film terbaik
Oscar pada tahun 2010, namun harus takluk di tangan King’s Speech. Sementara
Interstellar justru tidak masuk sama sekali di dalam daftar nominee film terbaik tahun 2014. Banyak
orang menuding kerumitan cerita dan temanya-lah yang menjadi biang kegagalan. Padahal
setahun sebelumnya, Gravity (Alfonso Cuaron, 2013) yang notabene bergenre
serupa berhasil menjadi penantang serius dalam gelaran Oscar.
Nolan
dipaksa untuk mencoba sekali dua lagi. Betapapun buruknya integritas Oscar hari
ini, saya yakin, diam-diam Nolan memimpikan kehadiran salah satu piala itu di
dalam lemari koleksinya. Dan pada tahun ke-20 karir penyutradaraannya,
pemecahan rekor itu terasa tinggal menunggu waktu. Kali ini, Nolan mencoba
“berdamai” dengan Oscar dengan menggarap film yang ramah juri.
Jalan itu
diretas melalui resital operasi penyelamatan terbesar selama Perang Dunia II,
di pantai Dunkirk, Prancis, tahun 1940.
Sumber: Indiwire |
Evakuasi Dunkirk, Evakuasi Oscar?
Dalam kurun
1939-1945, fokus seluruh dunia terpusat di Eropa, demi menyaksikan salah satu
peperangan terburuk dan terbesar sepanjang masa.
Upaya ekspansi
besar-besaran Jerman di bawah NAZI dan Adolf Hitler ke seluruh Eropa telah
memicu kemarahan bangsa-bangsa lain, memantik Perang Dunia II. Kita tahu pada
akhirnya perang ini melahirkan sekutu, yang terdiri atas Amerika Serikat,
Inggris, Prancis dan Uni Sovyet, sebagai pemenang. Perlawanan Jerman berakhir
seiring dikepungnya Berlin yang berujung bunuh diri Hitler, pada 1945. Namun
selama 6 tahun peperangan, dewi fortuna lebih sering berpindah-pindah pihak.
Keberuntungan di dalam Perng Dunia II tidak melulu menetap dan bernaung di bahu
salah satu yang terlibat. Perpindahan itu dapat saja terjadi dalam sekali
pembalikan koin.
Pada
pertengahan 1940, pasukan sekutu yang pada saat itu masih belum diperkuat
Amerika, mengalami kekalahan demi kekalahan di sejumlah garis depan Perang
Dunia. Misi menggagalkan upaya Jerman mengokupasi Belanda justru menjadi awal
malapetaka. Pasukan sekutu belum tiba tiga perempat jalan, ketika bala tentara
Jerman telah jauh melewati perbatasan negara Belanda, bahkan terus meringsek
hingga ke selatan Belgia. Di perbatasan , terjadi pertempuran antar kedua kubu
yang dengan mudah dimenangkan Jerman.
Upaya
serangan balik yang disusun kemudian pun tidak membuahkan hasil. Jerman justru
semakin meringsek ke Selatan, mengepung pasukan sekutu yang tersisa di Dunkirk,
sebuah kota pantai di Prancis utara. Para tentara yang telah kalah secara moril
itu terjebak antara laut lepas di balik punggung mereka, dan moncong senjata
pasukan Jerman. Sesekali, pesawat tempur Jerman pun membombardir pantai dengan
hujan bom. Pilihannya adalah menyerah atau menunggu bala bantuan dari tanah air
mereka, Inggris, yang notabene berada di seberang pantai Dunkirk. Konon pada
hari-hari yang cerah, pucuk-pucuk daratan Inggris Raya bahkan sesekali
terpantau di kaki langit.
Rumah yang
terasa dekat itu, ibarat jutaan liter air asin bagi mereka yang terjebak dahaga
di tengah samudra. Dekat, namun membunuh harapan perlahan.
Menariknya,
tentara sekutu justru memilih mengambil risiko dari harapan yang terbunuh
perlahan itu. Alih-alih menyerah kepada pasukan Jerman, sekutu memilih untuk
mengevakuasi seluruh armada yang tersisa di pesisir Dunkirk ke seberang lautan,
kembali ke Inggris. Padahal di pantai, menyemut hampir 400.000 perwira yang hampir
kehilangan daya hidup. Pertanyaannya, bagaimana manusia sebanyak itu dapat
diangkut menyeberangi lautan?
400.000
adalah jumlah yang signifikan untuk dirayakan di dalam sebuah pesta besar di
Berlin, sementara di seberang lautan, bangsa Inggris akan menanggung malu
seumur hidup.
Pada titik
ini, keajaiban pun terjadi. Dari kaki langit, dari tempat di mana daratan
Inggris diukir Tuhan, perlahan muncul kapal-kapal nelayan. Pada mulanya satu,
dua, kemudian menjadi ribuan jumlahnya, memenuhi perairan dangkal pantai
Dunkirk. Hujan bom dan senapan masih terdengar sesekali, sementara para
prajurit yang tersisa itu melangkahkan kakinya tergesa, menyeret seragamnya
yang basah, menggapai kapal-kapal nelayan. Satu demi satu mereka naik, sebelum
kapal memutar kemudi kembali ke tanah Inggris. Pantai Dunkirk akhirnya kosong
sama sekali.
Sumber: Indiwire |
Christopher Nolan, 77 tahun kemudian, kemudian berusaha menerjemahkan narasi kolosal lagi maha dramatis di pantai Dunkirk itu ke layar perak.
Pekerjaan
rumah pertamanya adalah bagaimana menangkap emosi peristiwa evakuasi di Dunkirk
dengan baik dan menyeluruh. Dunkirk, bagaimanapun, adalah contoh peristiwa yang
dalam sekejap mengubah paras Perang Dunia II. Perang itu tak lagi menjadi adu
kekuatan antara militer dengan militer. Perang itu tetiba menjadi miliki
seluruh manusia manapun yang berakal, tanpa membedakan mereka yang mengenakan
seragam dan mereka yang tidak. Di dalam peristiwa Dunkirk terjadi dialog antara
latar sosiologis yang berbeda di dalam satu waktu. Antara yang perwira dan yang
sipil. Antara yang korsa dan yang dinamis. Ada arketip, sebuah pola kejiwaan
umum, yang dapat menjelaskan setiap lelaku dan drama yang terjadi di pantai
itu.
Pola
kejiwaan yang berdialog di antara subyek-subyek itulah yang kemudian dieksploitasi
di dalam film Dunkirk. Pada permulaan film, Nolan telah lebih dahulu membagi
dan mengidentifikasi masing-masing fragmen dalam tiga perspektif, berdasarkan
tiga kategori ruang, waktu, serta sedikit banyak latar sosiologis sang tokoh. Sudut
pandang itu kemudian dijahit satu persatu mengisi layar di dalam sebuah narasi
sepanjang 106 menit. Nolan kembali menggunakan pakem yang telah dianutnya
dengan setia; menciptakan plot berlapis yang disusun tidak linear. Persepsi
mengenai waktu sengaja ditumpuk dan dimain-mainkan, terkadang dipepatkan dan
terkadang direntang lebih lebar, menciptakan kesan disorientatif. Pada
pertengahan film, pembagian waktu tak lagi relevan, mulai beririsan, hingga
melebur sepenuhnya.
Nolan
kemudian bermain-main dengan multisiplitas ruang untuk menyempurnakan
interpretasi yang tidak bersetia terhadap waktu itu. Melalui pendekatan ini,
Nolan beritikad untuk tidak berlebihan menggunakan pakem film-film perang blockbuster yang dipenuhi ledakan,
reruntuhan palsu dan desingan peluru. Efek-efek generik itu justru digantikan dengan
shot-shot lanskap pada lingkungan
yang berbeda-beda; di pantai, di lautan, dan di udara. Nolan memaksimalkan
kapasitas kamera IMAX 15/70 mm dan Panavision 65 mm untuk menangkap detil-detil,
dan lebih jauh lagi, memungkinkan keterlibatan belarasa pemirsanya atas situasi
petempuran yang sejati.
Ledakan dan
desingan peluru kemudian dimunculkan secara terukur sebagai jembatan antara
ruang-ruang, yang lapang ke dalam semesta yang serba sempit dan gaduh. Bukan
sekali adegan-adegan para tokoh yang terjebak di dalam ruang sempit dan
mengancam nyawa dihadirkan. Ledakan terjadi sekadar untuk menenggelamkan kapal-kapal
atau pesawat yang sepenuhnya asli. Ruang-ruang sempit yang perlahan terisi air,
atau tampak pengap itulah, yang menghadirkan teror perang sesungguhnya di dalam
Dunkirk. Sebuh klaustrofobia yang multi dimensi.
Sumber: Indiwire |
Dalam kekacauan memukau ini, hadirlah elemen ketiga yang menjadikan Dunkirk paripurna; bunyi. Pada salah satu wajahnya, Dunkirk adalah film yang lebih banyak berkutat dengan kesenyapan. Dengan script setebal 76 halaman, tidak banyak dialog yang berlalu-lalang sepanjang durasi film. Adegan demi adegan lebih banyak diisi dengan kekosongan, suara-suara alami, sebelum ditimpali scoring gubahan Hans Zimmer. Nama yang disebut belakangan, adalah kolaborator setia Christopher Nolan yang sekali lagi menunjukkan kelasnya, melalui Dunkirk. Salah satu favorit saya adalah ketika filler dari string section menggantikan bunyi derap langkah seorang tokoh dan kawannya yang berlarian membawa tandu, semata-mata agar dapat terangkut kapal yang hendak bertolak ke Inggris. Bunyi menggantikan emosi yang kadang tak tertangkap ketika tokoh-tokoh itu berlari membelakangi layar.
Bagi saya,
sang ruang, waktu dan bunyilah yang justru menjadi tokoh utama di dalam
Dunkirk. Tanpa bermaksud mengenyampingkan acting
brilian Tom Hardy, Mark Rylence, Fionn Whitehead, bahkan Harry Styles,
namun keseluruhan cerita Dunkirk seseungguhnya berpusat pada ketiga elemen
tadi. Ruang, waktu dan bunyi-lah yang memungkinkan film ini tetap bercerita dengan
baik, tanpa satupun tokoh dengan karakter yang kuat sebagai episentrum cerita,
sebagaimana film-film Nolan sebelumnya. Ketiga elemen itu telah menjelma
menjadi satu karakter tersendiri, satu tubuh imajiner, sebagai pengontrol
sekaligus penutur dari balik layar.
Ketiadaan protagonis
utama menjadikan Dunkirk sekaligus berhasil menghindarkan diri dari jebakan
lain film-film perang, yakni heroisme penuh pretensi dan motif terselubung,
Kita tahu bahwa peristiwa Dunkirk sendiri adalah sebuah peristiwa yang dikatalisasi
oleh orang-orang yang hampir kalah dan menyerah. Upaya evakuasi itu tak lain
untuk mencegah Inggris dipermalukan lebih jauh. Filmya kemudian bersetia kepada
realitas ini, dengan menggambarkan wajah asali dari mereka terdesak di dalam
peperangan. Sebagai serigala bagi manusia yang lain. Di pantai Dunkirk, setiap
individu sibuk berusaha menyelamatkan dirinya sendiri, menggunakan segala cara.
Keacuhan akan
nasib kolektif itu tidak hanya tampak di dalam wajah tokoh-tokoh pentingnya,
namun di dalam ribuan pemeran tambahan asli yang disiapkan Nolan untuk
menyemuti Dunkirk. Tentu saja butuh kemampuan pengarahan yang luar biasa untuk
memastikan seluruhnya dapat menghadirkan keresahan yang sama. Mereka harus
menampilkan ekspresi yang seragam, semisal, ketika ratusan diantaranya berjalan
berpepatan di dermaga, lalu mendengar suara pesawat tempur, mendongak ke
langit, menunduk, lalu berjalan kembali seolah tidak terjadi apa-apa. Ribuan
orang menampilkan paras yang sama, yaitu kepasrahan akan kehadiran ajal yang
datang sewaktu-waktu.
Penolakan
konsisten Nolan pada narasi yang kelewat heroik akhirnya ditunjukkan dengan
melekatkan sifat itu kepada sosok perwira Prancis tanpa nama yang terus-menerus
berhasil menyelamatkan tentara Inggris dari kematian. Si Prancis akhirnya
mengenakan identitas curian dari perwira Inggris yang telah wafat, dengan nama
Gibson. Berkali-kali, “Gibson” mengabaikan keselamatan dirinya untuk
menyelamatkan orang-orang, yang belakangan justru berusaha membunuhnya. Selepas
kematiannya yang benar-benar, Gibson akhirnya segera terlupakan. Lelucon
mengenai heroisme hadir pula pada scene yang
lain, ketika seorang bocah yang notabene tidak banyak melakukan apa-apa
sepanjang film, justru menerima sekolom kecil penghargaan di surat kabar.
Pun demikian
dengan pihak Jerman, yang sepanjang film dihadirkan tanpa wajah. Kehadirannya
semata-mata diwakili oleh pesawat tempur dan peluru. Ketiadaan sosok antagonis
aktual menghindarkan Dunkirk dari narasi biner antara yang jahat dan yang baik.
Di dalam narasi resmi mengenai Dunkirk, Jerman sesungguhnya memiliki peran
besar dalam upaya evakuasi 400.000 orang yang terjebak itu. Dari Berlin,
pasukan Jerman diperintahkan untuk berhenti 8 mil dari garis pantai, demi
memberikan kesempatan bagi tentara sekutu untuk menyelamatkan diri. Serangan
dilancarkan semata-mata berbentuk gertakan sesekali. Keputusan ini konon
diambil Hitler untuk menunjukkan itikad baik kepada Inggris, agar mau
bernegosiasi. Catatan kaki seperti ini hampir tak dapat dinilai dalam perspektif
baik-buruk, kecuali diarsipkan secara abu-abu.
Demikianlah,
“identitas hanya untuk orang mati,” ujar Sartre suatu ketika. Dalam konteks
Dunkirk, heroisme itu akhirnya tidak dapat diklaim oleh siapapun, bangsa
manapun, karena hampir-hampir tidak dapat dikenali. Ia tidak memiliki
identitas.
Bagi saya,
pilihan politik Nolan ini menjadi signifikan apabila kita mempertimbangkan situasi
politik dalam negeri negara asalnya selama periode produksi film ini. Pada
tahun 2016, rakyat Inggris melalui sebuah referendum memutuskan untuk keluar
dari keanggotaan Uni Eropa. Sekalipun lebih banyak dilatari oleh motif ekonomi,
para konstituennya pun tergerak oleh sentimen irasional yang menyerempet ujaran
supremasi kebangsaan Inggris. Ada ketakutan diam-diam dari gelombang pengungsi
dan orang-orang Eropa daratan. Satu tambahan film heroik agaknya hanya akan
menjadi bahan bakar segar bagi pertumbuhan populisme itu. Pergeseran selangkah
akan menjadikannya iklan layanan masyarakat bagi negara tempat film itu
diproduksi. Dunkirk kemudian
menunjukkan, bahwa di dalam peristiwa yang gemilang itu, selalu ada ruang bagi
rasa gentar dan inferioritas. Ada sisi-sisi manusiawi, sikap pengecut demi
bertahan hidup, yang akan menahan dagu siapapun agar tidak mendongak kelewat
tinggi.
Segala segi
itu telah membawa Nolan pada satu tingkat yang lebih tinggi. Ia telah
membuktikan diri sebagai sutradara yang tidak hanya dapat bermain-main dengan
kejiwaan manusia dan eksploitasi kegilaan. Lebih dari itu, Dunkirk justru
berhasil melakukan personifikasi terselubung terhadap pengetahuan yang selama
ini a priori, hal-hal yang
eksistensinya hanya dapat dipersepsikan sebelum panca indera digunakan. Ruang,
waktu, dan bunyi telah menjelma menjadi satu tubuh politis yang menyuarakan
sebuah tuntutan akan kewaragaan dunia yang tidak terjebak pada nasionalisme
sempit. Bahkan pada tahap ini, perdebatan mengenai pantas tidaknya Dunkirk dan
Christopher Nolan diganjar Oscar tak lagi benar-benar penting. Ketika sebuah
entitas telah berada pada ujung lelaku penciptaan, kita tahu sebutan apa yang
selayaknya disematkan kepadanya. Kita tahu sebutan apa yang selayaknya
disematkan pada Christopher Nolan kali ini. (*)
Dunkirk
Sutradara : Christopher Nolan;
Pemain : Fionn Whitehead, Harry Styles, Tom
Hardy, Mark Rylence;
Rating : 10/10