Tanpa ragu, saya menganugerahi kota Tual sebagai sepotong surga kecil saya, khususnya dalam urusan makan-memakan. Di dalam sepiring nasi kuning favorit, ada jejak dari seorang wanita rantau yang menempuh perjalanan jauh demi cinta. Di tanah yang lain, olahan tangannya menjadi favorit tetangga-tetangga barunya.
Satu porsi nasi kuning di salah satu warung di Tual |
Sahut-menyahut
berkumandang adzan maghrib dari menara-menara masjid kota Tual, penanda bahwa
malam telah tiba. Tirai gelap dikerek naik perlahan dari horizon di timur hingga
menutupi seluruh kubah langit. Pemandangan awan putih yang memantulkan terik matahari
di siang hari mulai berganti gemintang yang terbit satu demi satu. Titik,
kemudian titik berpendar yang lain. Polusi cahaya belum benar-benar serius di
kota ini. Kecuali di rumah-rumah, penerangan masih teramat minim sehingga kegelapan
masih memenuhi jalan-jalan kota ini. Dekorasi langit di atas kepala saya notabene
jadi tak punya saingan berarti.
Situasi
ini meleluasakan saya untuk mendongak sebagai pengamat yang antusias. Pengalaman
yang terasa mewah disbanding kala berhadapan dengan langit di kota-kota di
pulau Jawa. Semakin melenakan mengingat tidak mengenakan helm saat berkendara
merupakan pemandangan yang lazim di Tual. Berboncengan di atas motor omprengan
milik Larson, kami beradu melawan laju angin laut berbau garam. Tidak terlalu
kencang, namun meneduhkan kepala.
Saya
sendiri baru saja mendarat kembali di Tual lepas perjalanan hampir seharian
dari Malang, kota saya bermukim. Melelahkan, mengingat dalam prosesnya
melibatkan perjalanan darat dini hari menuju bandar udara Djuanda. Bersambung
dengan pesawat langsung ke Ambon, untuk kemudian transit beberapa jam menunggu
penerbangan lanjutan ke Tual. Dari Pattimura, saya berganti menumang pesawat
kecil dengan baling-baling selama satu jam setengah. Bagian terburuknya,
penumpang di sebelah saya memilih tidak mematikan telepon genggam. Di tengah menit-menit
persiapan mendarat, gawai tersebut sempat berbunyi tanda telepon masuk. Beruntung
tidak terjadi apa-apa hingga kami mendarat sempurna di bandara Karel
Satsuitubun, kepulauan Kei. Udara panas khas kepulauan nusa ina langsung
terasa.
Waktu
menunjukkan lewat pukul setengah tujuh malam ketika saya tiba di pemondokan. Belum
tuntas merapikan barang-barang, rasa lapar telah menyergap saya duluan. Saya
segera mengajak Larson yang menjemput saya untuk makan bersama. Jauh di kala tubuh
saya masih melanglang di udara, saya telah memutuskan hendak makan apa malam ini.
“Cari
nasi kuning, bang!”
Menjelajah
berbagai penjuru Indonesia, kita barangkali akan bisa menemukan nasi kuning di mana
saja. Tidak ada label “endemik” atau “khas” dari penganan ini. Apalagi di
kepulauan Kei, Maluku Tenggara, dimana sawah-sawah musykil untuk digalakkan.
Beras di pasar Tual atau Langgur, ibukota Maluku Tenggara, sepenuhnya
didatangkan dari Jawa, Sulawesi atau pulau Seram di utara. Bisa ditebak bahwa
nasi kuning termasuk olahan yang baru dikenal seiring dengan masuknya beras.
Orang-orang Kei telah terlebih dahulu memangan embal sebagai makanan pokok.
Namun
ada saja yang membikin beda nasi kuning satu daerah dengan daerah yang lain.
Barangkali terletak pada cara ia dihidangkan, dan jejalin interaksi antar
manusia yang hidup di seputarnya.
Bagi
saya yang kerap menasbihkan diri sebagai penggemar nasi kuning nomor wahid,
kepulauan Kei adalah surga dunia. Ia tak hanya unggul dengan pantai-pantai
eksotisnya yang selalu menawarkan porsi sunyi yang terukur untuk anjangsana. Di
sini, nasi kuning dapat ditemukan tumpah ruah di seluruh pelosok wilayah.
Sekalipun, tentu saja, tak gratis. Sepanjang jalan-jalan utama di kota Tual
maupun Langgur, lapak-lapak kecil nasi kuning berdiri menunggu pembeli. Dari
sekadar tersusun dari satu unit meja kecil, hingga bangunan permanen lengkap
dengan kursi bagi tetamu.
Yang
juga menarik, nasi kuning-nasi kuning di kepulauan Kei hanya dapat ditemui di
malam hari. Ia seolah hadir untuk mengakomodasi kecenderungan orang-orang Kei
untuk bersantap di luar rumah. Larson,
kawan saya, mengamini pengamatan saya. Meskipun memiliki banyak saingan,
memasing lapak agaknya tak takut merugi karena kebiasaan ini. Lepas maghrib,
jalan-jalan dan pedestrian dipenuhi orang-orang yang berderap mencari makan,
baik sendiri-sendiri maupun dengan keluarga. Pun tak ditemani orang dewasa, anak-anak
kecil mendatangi warung nasi kuing dengan menggenggam lembaran puluhan ribu merupakan
pemandangan yang lumrah. Dengan bersemangat, mereka mengutarakan porsi pesanan
mereka dalam satuan rupiah kepada mama-mama yang berjualan. Dialog berbalas
dengan tangan-tangan cekatan perempuan-perempuan yang meracik nasi kuning
beserta lauk tambahannya.
Saya
sendiri telah memiliki warung nasi kuning langganan, dikelola oleh seorang ibu
separuh baya bernama Hadija bersama anak-anaknya. Meskipun memiliki perawakan, penciri
fisik dan cara bertutur yang mirip dengan penduduk setempat, Hadija berasal
dari belahan bumi yang sama dengan tempat saya berdomisili saat ini.
“Saya
aslinya orang Jawa,” ujarnya.
Hadija
tepatnya berasal dari salah satu desa di pelosok Gunung Kidul, Yogyakarta.
Kebetulan yang ganjil mengingat alam kepulauan Kei memiliki nuansa yang hampir
serupa dengan daerah asalnya; tandus dan berbatu. Struktur tanah Gunung Kidul didominasi
oleh batuan gamping, yang notabene merupakan hasil sedimentasi lanjutan dari
batuan karang sebagaimana penyusun tanah Kei. Situasi ini, sedikit banyak,
memudahkan Hadija menyesuaikan diri dengan alam barunya.
Ketibaan
Hadija di tanah Kei lepas tiga puluh tahun silam semata-mata untuk merunut
kepulangan suaminya. Sejak saat itu, ia menyandang identitas baru sebagai
bagian dari orang-orang Kei. Di belakang namanya kini tersemat marga Rhumra.
Sebuah marga yang besar di Banda Eli, pulau Kei Besar. Dari namanya, kita bisa
menebak muasal keluarga ini. Marga Rhumra memiliki jejak yang jauh pada
penguasaan atas tanah pulau Rhun di kepulauan Banda. “Kami adalah keturunan
orang Banda yang melarikan diri ke selatan untuk menghindari penjajahan Jepang.”
Selain keluarga Rhumra, sebagian besar penjaja nasi kuning di tepian jalan
menuju pasar Tual memang memiliki tautan darah yang kental dengan orang-orang Banda. "Saya sepenuhnya orang sini sekarang."
Tiga
puluh tahun silam, Hadija kemudian berkenalan dengan apa yang kemudian menjadi
sumber penghidupan utamanya hari ini. Untuk pertama kalinya, ia mulai memasak
nasi kuning.
Sebagaiamana
nasi kuning di negeri-negeri timur nusantara pada umumnya, penciri utama nasi
kuning ibu Hadija adalah baluran kunyit yang berani. Ini menjadikan nasi kuning
benar-benar “kuning”, menyala-nyala dengan menggoda. Komposisi kunyit yang
dilebihkan membuat rasa nasi menjadi lebih tajam dan gurih. Belum lagi jika menghitung santan segar yang diolah di dapur sendiri, diperas dari parutan kelapa yang dipetik di belakang rumah. Dengan lemak kelapa yang bersisa di dalam campurannya, ada perbedaan rasa yang signifikan dibanding nasi berbalur santan instan pabrikan.
Kemewahan
terbesar dari nasi kuning di Tual barangkali adalah fillet dari daging ikan yang “hanya mati sekali”. Sebuah anekdot
yang secara tepat menggambarkan kesegaran ikan di Tual yang tiada dua.
Ikan-ikan tongkol yang baru diangkut dari kapal-kapal nelayan segera berpindah
ke dapur milik mama-mama penjual ikan, diolah dengan ragam bumbu dan resep.
Fillet tongkol dihidangkan beriringan dengan taburan tumis ikan teri kering. Di daerah asal saya, teri adalah jenis ikan musiman yang hanya dapat ditemui pada periode bulan gelap. Sementara di Tual, pasokannya melimpah sepanjang tahun. Membuat saya takjub, mengingat betapa saya dan adik-adik saya kerap bergembira kala perkedel ini terhidang di meja makan keluarga kami.
Fillet tongkol dihidangkan beriringan dengan taburan tumis ikan teri kering. Di daerah asal saya, teri adalah jenis ikan musiman yang hanya dapat ditemui pada periode bulan gelap. Sementara di Tual, pasokannya melimpah sepanjang tahun. Membuat saya takjub, mengingat betapa saya dan adik-adik saya kerap bergembira kala perkedel ini terhidang di meja makan keluarga kami.
Agaknya,
bukan saya semata yang menjadi pemuja kenikmatan nasi kuning olahan Hadija. Ada
tanda air yang terjanjur ia tinggalkan di dalam resepnya, sesuatu yang
barangkali tak akan terganti. Sembari melayani pelanggan yang mengerumuni
lapaknya, ia mulai berkisah tentang betapa orang-orang merasakan kehilangan
ketika ia absen berjualan beberapa hari. Singgasananyadiisi oleh anaknya secara
tunggal, sementara sang ibu bepergian ke Ambon menghadiri hajatan keluarga. Selang
beberapa hari ketika ia kembali, Hadija harus terlebih dahulu berhadapan dengan
pelanggan yang mencecar protes. “Rasanya beda,” tirunya, sembari menyembunyikan
rasa bangga tertahan di dalam nada suara.
Jauh
di dalam hati saya mengamini kegelisahan pelanggan-pelanggannya. Namun perut
kenyang dan rasa rempah yang tertinggal di lidah menahan saya untuk berkomentar
lebih jauh. Saya memilih menikmati pemandangan dihadapan saya; orang-orang Kei
yang berkerumun, lauk yang terhidang di dandang-dandang mini, dan setermos
besar nasi kuning merona menyala. (*)
Sekelumit
tentang Nasi Kuning Ibu Hadija:
Ibu Hadija berjualan di tepi jalan Yos
Sudarso, Kota Tual, mulai lepas maghrib hingga pukul 3 dini hari. Satu porsi
lengkap nasi kuning dengan fillet ikan
tongkol, tumis teri kering, mie goreng, oseng tempe dan telur ayam dijual
seharga Rp. 15.000. Selain nasi kuning Tual, racikan nasi kuning a la masyarakat pulau Seram dengan
dendeng daging rusa juga patut dicoba.