Saya berusaha
membayangkan sebuah Bumi yang pipih, datar seperti sekeping cakram piringan
hitam. Atau pancake hangat dengan sirup gulali di atasnya. Lalu turut
memercayai bahwa gravitasi adalah bualan yang dibikin-bikin negara adikuasa. “Segala
sesuatu dapat bertahan di permukaan Bumi,” ujar salah satu sumber “semata-mata karena bekerja dibawah hukum archimedes.”
Dengan kata lain, yang memungkinkan kita berjalan, berlari dan berak sesekali tanpa khawatir air besar melayang-layang di
udara adalah perbedaan massa jenis. Manusia dikatakan memiliki rasio massa per
volume di tingkat menengah, alias lebih “ringan” dari Bumi namun lebih “berat”
daripada udara. Begitupun buah yang jatuh dari tanaman-tanaman, dedaunan,
kijang dan kendara.
Namun, imajinasi terliar
saya bahkan tak mampu membangun sebuah gambaran yang benar-benar layak dan
masuk akal.
The Blue Marble (Sumber: 2013.spaceappschallenge.org) |
Pemandangan yang terbit
pada mulanya adalah sebuah hamparan lautan yang diatasnya mengapung benua-benua
dan pulau-pulau yang kita kenali. Dari Asia hingga kepulauan Kei di Maluku. Lautan
biru yang menyelimuti kedataran Bumi secara menyeluruh. Tapi ada apa di ujung
lautan itu dan menjaganya agar tak meluber? Kelompok pengikut teori flat earth menyebut bongkahan-bongkahan
es. Sebagaimana yang dapat kita ketemukan di kutub, dalam wujud barikade yang berkeliling. Serupa pagar halaman.
Namun, apa yang menahan
bongkah itu tetap pada tempatnya? Tak ada yang benar-benar tahu, kecuali sejak
dari sananya ia dirancang sebagai pengaman.
Lebih sensasional lagi, tak
hanya bulan, melainkan matahari pun ikut berevolusi mengelilingi piringan biru
ini dalam teori Bumi yang datar. Matahari disebut tergantung di langit setinggi
beberapa puluh ribu mil. Kala hari berganti, ia hanya bersembunyi di sisi lain
piringan Bumi.
Anehnya, setiap kali
matahari berada dalam posisi terdekat dengan “pagar” Bumi, tak ada kabar bahwa
es di tepian Bumi tadi mencair. Barangkali yang satu ini ditutupi dengan lihai
oleh media-media agar masyarakat tetap bodoh. Lelaku mengisolasi ilmu
pengetahuan baru, toh, pernah menjadi bagian dari sejarah.
Menariknya, martir di
dalam peristiwa-peristiwa tersebut justru merupakan pioneer bagi paham
kebulatan Bumi dan heliosentrisme. Berulang kita mendengar epos kepahlawanan
Copernicus, kemudian Galileo Gallilei, yang mempertahankan kepercayaan ini dihadapan
gereja. Atau bagaimana Christopher Colombus ditertawakan karena memilih menuju
India dengan berlayar ke barat. Semata-mata karena percaya bahwa Bumi yang ia
tinggali berbentuk bulat.
Belakangan popularitas
keyakinan ketiganya, alih-alih melemah, justru semakin kukuh seiring dengan geliat
eksplorasi umat manusia. Diajarkan secara formal di dalam kurikulum. Dari
gambaran guru-guru kita mengenai kapal laut yang terlihat tiangnya lebih dahulu
ketika mendekati pelabuhan, hingga teknologi yang relatif lebih mahal; memotret
rupa Bumi dari luar angkasa. Pada masa Alfonso de Alburqueque satu-satunya rute
yang dapat digunakan untuk mencapai India adalah memutari Tanjung Harapan.
Kini, terusan Panama dibangun bagi kapal-kapal yang hendak menyeberangi Amerika
untuk menuju Asia, maupun sebaliknya.
Meskipun tak pernah
benar-benar terkubur, namun keyakinan akan Bumi yang datar pada kenyataannya
tetap hidup dan kembali mengemuka dalam ruang diskusi akhir-akhir ini. Lewat
berbagai platform, sejumlah orang menyebarluaskan video-video besutan kelompok Flat Earth Society. Dari namanya, kita
bisa menebak dimana ketertarikan komunitas ini tertambat.
Sebagian besar argumen
dan bukti sahih mengenai Bumi yang bulat ditolak mentah-mentah oleh kolektif
ini. Potret tahunan blue marble rilisan
ISS disebut sebagai reproduksi CGI. Pun demikian matahari yang jauh. Adapun
visualisasi kapal yang mendekati pelabuhan dengan layar yang lebih dulu tampak,
semata-mata dikarenakan keterbatasan visi manusia.
Kelompok Flat Earth pada umumya mengacu pada
informasi dan kebijaksanaan masa lalu, monograf-monograf dari peradaban bertitimingsa mula-mula. Nubuat
dari berbagai kitab suci disinggung. Pada akhirnya, Bumi yang bulat tak lain
merupakan konspirasi negara adidaya untuk menguasai dunia, setara upaya
terselubung Illuminati dan Yahudi. Seiring dengan pertumbuhan pendapat yang
mengamini ini, bantahan-bantahan yang keras pun mengemuka.
Namun, perdebatan perihal
bentuk Bumi, atau hukum-hukum yang mengiringinya, bagi saya mubazir dan tidak
berujung kemana-mana. Selain telah usang dalam rentang berabad-abad, kebenaran
atasnya sesungguhnya tak tepat dinilai lewat proses diskursus. Diskursus itu
sendiri dirancang untuk mewadahi kebhinnekaan pemahaman. Yang bertarung di
dalamnya adalah perbedaan gagasan hingga menemukan konsensus, apa-apa yang
disepakati oleh manusia. Diskursus berusaha menemukan kebenaran yang bersifat
intersubyektif, menemukan titik temu antara kesadaran manusia yang beragam.
Kebenaran adalah apa yang disepakati itu sendiri.
Masalahnya, kebenaran apakah Bumi
itu datar atau bulat seperti bola tidaklah ditentukan oleh kesepakatan manusia.
Ia merupakan kriteria fisik, dan harus dibuktikan dengan eksplorasi alih-aih
sibuk berargumen.
Sains sebagai
pengetahuan empirik bermain di ranah ini. Nilai kebenaran darinya
tidak dicari dimanapun, melainkan konstitutif pada pengindraan manusia terhadap
alam sekitarnya. Yang berusaha dieksplorasi adalah obyektifitas dari
kenampakan-kenampakan. Kategori benda pada dirinya sendiri. Ia haruslah
didasarkan pada sesuatu yang dapat dihitung. Sebuah informasi saintifik dapat
masuk ke ruang diskursus dalam situasi yang amat terbatas.
Jika kita ingat,
semisal, terdapat 9 planet yang menghuni tata surya kita, kesemuanya mengorbit
matahari. Pluto sebagai yang termuda dalam daftar tersebut ditambahkan pada
tahun 1931 seiring dengan penemuan oleh Clyde Tombaugh, astronom Amerika
Serikat. Informasi ini mapan diajarkan di sekolah-sekolah selama puluhan tahun,
hingga pada medio dekade 2000-an, satu demi satu penemuan mengguncang para
pegiat astronomi. Pluto, pada kenyataannya, bukanlah satu-satunya obyek serupa
planet di sisi terluar tata surya. Berturut-turut ditemukan Ceres, lalu Xena dengan bulannya,
yang memiliki ukuran sama bahkan lebih besar dari sang planet kesembilan.
Penemuan-penemuan ini
membuat para ilmuwan menjadi ragu akan status keplanetan Pluto. Pada akhirnya,
astronom dari seluruh dunia berkumpul di Praha pada tahun 2006 untuk
mendefinisikan ulang apa yang dapat disebut sebagai planet. Di akhir
konferensi, ditelurkan keputusan yang diantaranya resmi mengeluarkan Pluto dari
daftar planet di tata surya. Apakah dengan demikian
Pluto hilang dari alam semesta? Pada kenyataannya, ia masih berada pada tempatnya dan mengorbit
Matahari. Setahun silam, wahana antariksa New Horizon bahkan berhasil merekam
Pluto dari jarak dekat.
Satu-satunya hal yang berubah adalah kategori
eksistensial Pluto di mata manusia. Dari sebuah planet, menjadi benda angkasa
serupa planet (planetoid). Ia kehilangan
statusnya karena tak mampu memenuhi salah satu kriteria planet, yang tak boleh
memiliki garis edar beririsan dengan kepunyaan planet lain. Dalam hal ini,
Pluto rupanya bertemu di sejumlah titik dengan Neptunus.
Nasib Pluto adalah
contoh pembedaan antara kebenaran konseptual dan kebenaran empirik di dalam
sains. Pluto sebagai sebuah benda langit yang berbentuk bulat, beredar
mengelilingi matahari dan memiiki suhu permukaan yang lebih dingin dari titik
beku absolut, adalah fakta saintifik yang berasal dari pengamatan. Lebih lanjut,
gaya-gaya yang bekerja di dalamnya dapat dihitung secara matematis. Dari
percepatan gravitasi hingga kecepatan edarnya mengelilingi Matahari.
Namun perihal
menentukan apakah Pluto dapat dikategorikan sebagai planet atau bukan adalah
sepenuhnya urusan manusia yang bersepakat. Ia melibatkan proses dialog yang berkepanjangan
antara insan yang berpikir, hingga mengerucut pada suatu rumusan yang padu. Dalam kasus ini, berujung
pada perumusan definisi “Planet”.
Pun demikian dengan “Matahari”,
“Bintang”, “Komet”, “Hewan” dan “Manusia” itu sendiri. Terhadap dua yang
disebut belakangan, semisal, pergeseran definisi masing-masing tak akan
mengubah kenyataan anatomi dan fisiologis yang melekat kepadanya. Manusia tetaplah manusia dengan dua tangan dan kaki, berjalan dengan tegak dan memakan apa saja. Memiliki daya mandiri untuk mengakali alam.
Pada suatu saat nanti ketika Manusia sebagai konsep dinilai mengusang, ia dapat diganti dengan konsep baru yang dirumuskan bersama-sama.
Pada suatu saat nanti ketika Manusia sebagai konsep dinilai mengusang, ia dapat diganti dengan konsep baru yang dirumuskan bersama-sama.
Demikianlah bagaimana
diskursus mengenai Bumi yang bulat menjadi mubazir. Yang tengah kita bicarakan
adalah karakter fisik dari sebuah benda langit, yang pembuktiannya diidealkan dilakukan
dengan pengamatan atas tanda-tanda alam. Ditambah, pemahaman yang holistik atas
berbagai gaya yang bekerja didalamnya.
Terlebih ketika sebuah
ayat dari kitab suci diacu sebagai basis argumen. Sejak semula, kebenaran
ayat-ayat berdiam di ranah yang transenden dan harus diimani tanpa pertanyaan. Menjadikannya suci dan sakral, pun
dikemudian hari dihadapkan pada pertentangan dengan nalar. Keiman pada dasarnya
tak perlu membuktikan apapun.
Suatu ayat bisa jadi
menjabarkan hal-hal yang kemudian oleh sebagian penganutnya ditaut-tautkan pada
kenampakan alam tertentu, lalu digunakan sebagai acuan bagi kebenaran ilmiah. Berbagai
fenomena yang sesungguhnya bersumber dari penginderaan yang profan justru dijadikan
pembuktian bagi kebenaran kitab. Sebagian dari kita kerap bersorak atasnya lalu melipat
tangan di dada, menunjukkan diri bahwa iniliah Iman yang superior.
Inilah Iman yang berhasil membuktikan diri benar menurut sains.
Disaat sains hari ini
terus bergerak dan tak diam, temuan demi temuan baru mengemuka hingga batas
terjauh eksplorasi akal manusia. Jika suatu ketika sains membuktikan hal yang
berkebalikan dengan terang benderang, cukup
siapkah Iman yang empirik ini untuk menerimanya? Atau mempermalukan diri
sendiri dengan menunjuk hidung sains sembari berpijak pada pembuktian yang
abu-abu? (*)