Setelah
14 tahun meninggalkan tanah kelahirannnya, masa lalu tetiba dijejalkan begitu
saja ke muka Rangga dalam satu, dua pukulan. Kilasan demi kilasan ingatan
agaknya berlalu lalang di kepalanya sesibuk lalu lintas Manhattan. Satu per
satu menuntut perhatian sang lelaki dingin, lalu menggerogotinya dari dalam.
Namun
dia masihlah Rangga yang itu, Rangga yang memilih menekur di salah satu gudang
sekolah di kala sebagian besar yang lain bersenang-senang di tepi lapangan
basket. Rangga yang melampari dengan pensil sepasang kekasih yang membikin
perpustakaan bising. Rangga masihlah sosok sinis dengan lidah yan kadang-kadang
tajam. Jalan sunyi telah mengajarinya menjadi individu yang teguh dan belajar dengan
kesendiriannya.
Maka
Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC2) tak lain adalah pertunjukan upaya Rangga (Nicolas
Saputra) untuk berdamai dengan keping-keping masa lalunya. Sebuah kesempatan
untuk melakukan rekonsiliasi sembari menengok apa yang tersisa disana.
Memorabilia
pertamanya, tentu saja adalah dia yang kepadanya tertaut janji pulang dalam
satu purnama, “untuk mempertanyakan lagi cintanya.”
Cinta
(Dian Sastrowardoyo) hari ini, di salah satu sudut kota Jakarta, telah menjadi sosok wanita dewasa kelas menengah yang mandiri. Ia bertumbuh seiring waktu, bertemu
dengan kemungkinan-kemungkinan baru, orang-orang baru.
Namun ada ruang lebar
yang disisakan untuk masa lalunya, mewujud dalam sekotak wadah sepatu bekas.
Didalamnya tersimpan seluruh gairah dan hal-hal yang tak selesai. Ketika
dibuka, bau Rangga selalu menguar pekat.
Bersama
sahabat-sahabat sekolah menengahnya; Maura (Titi Kamal), Karmen (Adinia
Wirasti), dan Milly (Sissy Priscillia), Cinta kemudian merencanakan liburan
bersama ke Jogjakarta. Di kota ini, semesta kemudian menunjukkan kuasanya
dengan mengiris kembali nasib sepasang kekasih. Bertahun-tahun silam keduanya saling memandang hanya
lewat surat dan puisi, sebelum berakhir abu-abu.
Memorabilia
kedua Rangga-lah yang memungkinkan pertemuan itu terjadi. Alasan yang
membuatnya rela menempuh penerbangan berjam-jam Jakarta-New York. Kerinduan
Cinta sekalipun bahkan tak mampu memungkinkan perjalanan itu. Ialah sosok Ibu
yang puluhan tahun hilang dari kehidupannya, tetiba memanggilnya kembali.
Diantara
gang demi gang kota Jogjakarta, langkah-langkah Rangga semakin dekat dengan
Cinta. Ketika keduanya akhirnya bertemu kembali, nama yang disebut kedua tak
dapat membendung amuk di dadanya.
Namun
sebagaimana Rangga, ia masihlah Cinta yang dulu. Cinta yang senantiasa merawat
kemenduaan di dalam hatinya. Percabangan perasaan-perasaan, yang kadang dengan selaras dengan apa yang ia ungkapkan.
Kali
ini, ia memilih mendengar. Keputusan yang ia ambil kemudian barangkali membuat
siapa saja yang menonton bersama saya bersyukur hingga nantinya layar ditutup.
Pekerjaan
rumah terbesar AADC2 agaknya berkutat di seputar ekspektasi penonton.
Bagaimanapun, prekuelnya telah melampaui level kultivasi tertentu. Cerita coming age yang sederhana, acting menawan dengan reaksi kimia yang
presisi dari memasing actor, latar yang kontekstual; AADC telah terlanjur
menjadi suara zamannya. Di level yang lain, film ini juga kerap digadang
sebagai penanda bagi kembalinya film Indonesia layak simak ke layar perak.
Ada
beban sejarah disana. Bagaimana kisah cinta monyet Cinta dan Rangga terbebas
dari kesan picisan dalam latar kontemporer, 14 tahun kemudian. Saya termasuk
golongan yang sempat meragu kala trailernya rilis pertama kali. Kecuali sebuah
kalimat yang dinyatakan Cinta dengan dingin dan intonasi datar, sebagian besar
tampak tak menggambarkan apapun.
“Rangga,
yang kamu lakukan ke saya itu.. jahat.”
Belum
lagi, saya bukanlah bagian yang menjadi saksi demam AADC secara langsung. Kala
AADC rilis di tahun 2002, saya masihlah bocah kelas 4 SD di suatu kota yang
bahkan tak memiliki fasilitas bioskop memadai. Hip film garapan Rudy Soedjarwo
ini hampir tak terdengar. Kala sajak dan lelaki dingin menjadi perkawinan yang
memabukkan dalam budaya pop, saya tak mengambil bagian. Saya beruntung,
kemajuan teknologi memungkinkan persentuhan saya dengan AADC.
Namun,
apa yang dikerjakan Riri Riza, Mira Lesmana, dan sederet arsitek dibalik film
ini bahkan melampaui pertanyaan-pertanyaan saya.
Kekuatan
utama AADC2 masihlah kemampuannya untuk mengelaborasi berbagai elemen seni di
dalam satu bingkai. Apa yang menjadikan seni film, seni film. Dalam hal ini,
kehadiran penyair dari Makassar Aan Mansyur dan perupa Nugroho, baik secara
individu maupun dengan karya-karyanya tak sekadar sebagai sempalan. Benar-benar
kuat.
Kita
tahu bahwa struktur cerita AADC berdiri atas kegemaran kedua tokoh utama atas
sajak. Hal ini kemudian coba diterjemahkan kembali, dan untungnya berhasil.
Sebagaimana AADC pertama, salah satu sajak bahkan menentukan akan dibawa alur
hidup Rangga dan Cinta pada akhirnya. Ia berhasil menggantikan peran scoring dan musik latar untuk membuat
kisahnya tetap hidup.
Porsi
adegan yang menghadirkan instalasi-instalasi dan sejumlah karya mural Eko Nugroho
bahkan terasa lebih fundamental lagi. Kecuali menjadi latar dari salah satu
adegan yang maha penting, kehadiran Cinta bersama anggota gengnya disana
menggambarkan situasi psikologis mereka hari ini sebagai kelas menengah baru.
Elemen
ini saya kira turut menjadi juru rawat bagi relevansi AADC2, dan membuatnya membersamai
kehidupan penggemarnya. Bukankah apresiasi seni hari ini adalah simbol bagi prestise sosial tertentu? Perilaku dan
pola pikir manusia berekonomi cukup ini kira-kira ini tergambar dalam
perdebatan antara Sissy dan Maura dalam memaknai salah satu karya Eko. Sissy di
satu sisi dengan polosnya mengakui ketidakmampuannya untuk memahami pekerjaan
itu, sesuatu yang dibalas dengan Maura dengan “lo ngga bakalan negerti.”
Jogja
secara keseluruhan pun sesungguhnya menjadi medium perilaku ini. Visi
perjalanan yang mereka bawa terasa menempatkan kota ini semata-mata
sebagai obyek pengamatan yang eksotis. Ada jarak. Di gang-gang seputaran pasar
Bringharjo, apapun adalah obyek perekam gambar, termasuk ketika Cinta dan Maura
berswafoto dengan salah satu ibu tua pedagang disana.
Sosok Rangga kemudian berusaha dihadirkan sebagai penggeser paradigma itu, jika tidak dapat
dibilang sebagai otokritik. Scene demi scene perjalanan singkat yang ia habiskan bersama Cinta menjadikan
AADC2 sebuah karya yang subtil. Disinilah Jogja benar-benar menunjukkan sisi
magisnya. Di hadapan geng Cinta ia hanyalah vista yang menyajikan jeda bagi
kesibukan ibukota. Sementara bagi Rangga dan Cinta, setiap inci Jogja terlibat sebagai ruang sosial tempat memasing bertukar makna secara segitiga. Keduanya bertransformasi, dari pelancong biasa menjadi apa yang disebut Walter Benjamin sebagi flaneur; pengeluyur.
Dibawah atap mobil 4x4 yang dikendarai Rangga, Jogja berubah menjadi kota yang mengayomi sebuah pertemuan dari sepasang insan yang terlalu lama terpisahkan jarak. Tak hanya bagi keduanya, melainkan juga terhadap para penonton.
Dibawah atap mobil 4x4 yang dikendarai Rangga, Jogja berubah menjadi kota yang mengayomi sebuah pertemuan dari sepasang insan yang terlalu lama terpisahkan jarak. Tak hanya bagi keduanya, melainkan juga terhadap para penonton.
Tak
terhitung berapa kali orang-orang yang mengeilingi saya di ruang bioskop
melenguhkan “awwww” yang panjang tanda terenyuh, untuk adegan-adegan tanpa
kata. Yang terpampang di layar hanyalah perubahan mikroekspresi dari Cinta dan
Rangga. Senyum malu-malu yang terbit di wajah Dian Sastrowardoyo di kala
mengenang momen-momen kebersamaan. Para penonton segera mengetahui bahwa
keduanya masihlah sosok yang sama yang belasan tahun silam mereka idolakan. Dan
mata kamera berhasil menangkap semuanya, meyajikan kembali dengan gaya lewat
dominasi shoot yang close up.
Alur
dan dialog pun disiapkan dengan matang hampir tanpa cela. Tim AADC2 berhasil
memungkinkan nostalgia terbit tanpa harus menghadirkan kembali
cuplikan-cuplikan film yang lama. Caranya dengan mengopi detil-detil penting
percakapan Rangga dan Cinta ke dalam adegan dengan dibubuhi konteks baru.
Gudang ingatan saya terhadap AADC serta merta terbuka. Semisal, adegan dikala
Rangga berterima kasih kepada Cinta karena mengembalikan buku monumental “Aku”
gubahan Syumandjaya. Potongan percakapan antara keduanya kembali muncul di
dalam film dalam versi yang berbeda. Atau, tentu saja, dialog ikonik di gerbang keberangkatan Rangga menuju New York.
Pada
akhirnya, Rangga berhasil mengentaskan misi untuk berdamai dengan masa lalunya.
Segala pertanyaan yang terkubur bersama AADC (di dalam benaknya dan penonton) terjawab
satu persatu; untuknya, untuk Cinta, untuk para penggemarnya. Saya dapat
melihat kepuasan yang sama terbit dari wajah penonton yang beranjak setelah
layar ditutup. AADC2 barangkali tak akan menginjeksikan tren baru dalam budaya pop Indonesia sebagaimana film perdananya. Namun, dalam urusan mewarnai kancah perfilman drama romantis Indonesia, film ini sedikit banyak berhasil. (*)
Ada Apa Dengan Cinta? 2
Sutradara:
Riri Riza
Skenario: Mira Lesmana, Prima Rusdi
Rating: 8/10.