Sepucuk
surat cinta tanpa tahun;
Hai,
Kalian manusia selayaknya bersyukur
untuk kodrat-kodrat sebagai ciptaan yang saling hidup dan menghidupi
kemengadaannya satu sama lain. Kalian manusia selayaknya bersyukur matahari memiliki
benda-benda langit yang menjadi pelampiasan hasratnya akan pemujaan hingga tak
perlu banyak berlelaku. Di atas sini tak dapat kuhitung mereka yang tidak
seberuntung itu, termasuk aku. Kami adalah bintang-bintang tunggal yang seumur
hidup hanya mengenal massa maha raksasa yang memastikan kami tetap bergerak di
antara waktu mengitarinya. Yang Disana. Sebenarnya salahku karena sejak semula dapat
saja ku bagi sedikit besi dan nikel untuk membentuk planet-planet agar
lengkaplah aku. Namun aku yang muda demikian tinggi hati, merasa kesunyian
adalah hakikat benda-benda langit.
Hingga saat itu aku selalu mempertanyakan
kepada yang Disana kenapa aku diciptakan dengan kebodohan ini. Aku menyesal
sepenuhnya.
Yang Disana, di pusat galaksi, berdiri Tuhan. Atau
setidak-tidaknya lubang antara yang mengantar langsung ke hadapan dia. Disana
tempat keluh kesah aku kirimkan melalui lontar massa yang sesegera itu
ditelannya lenyap.
Beberapa kali kulihat berkas penerbangan
mahluk-mahluk cahaya dari penjuru-penjuru membelah kegelapan. Aku dapat
mendengar sayup-sayup doa yang mereka dekap erat-erat. Pengunjung rutin yang
lain adalah setan-setan nakal yang tak pernah belajar dari kekeliruan-keliruan
di masa lalu yang mencoba mencuri dengar rahasia langit. Tubuh mereka membatu
setiap kali bersitatap dengan mata yang melihat segala, lalu melayang kosong
sebagai meteor.
Namun di tengah kebosanan menunggu lirikan
Tuhan kepadaku si bintang pengeluh, sepasukan burung pelikan dengan topi tinggi
berwarna biru yang menghambur dari sana dari waktu ke waktu selalu menarik
perhatianku. Di ujung paruh asimetris mereka ditautkan buntalan-buntalan cahaya
jiwa yang hangat seperti bias senja di kelopak krisan. Membelah ruang hampa.
Mereka berarak mengirim kehidupan baru menuju pusat-pusat peradaban yang bernafas di
antariksa.
Saat itulah aku menemukanmu.
Aku mengenalinya sebagai Saphio,
pelikan tua yang telah berabad-abad menjalankan tugas mengantar jiwa baru
menuju Bumi. Mengingat usianya membuatku maklum ketika hari itu dia menyimpangi
arah navigasi dan tiba-tiba terbang melintasiku. Dapat kulihat dari matanya
gurat kelelahan sehingga kutawari dia untuk beristirahat sejenak di salah satu
jilat bintang yang kuturunkan suhunya agar tak membakar sayapnya yang berminyak.
Dia tampak berbahagia.
Lalu aku mendengar tawa itu, tawa
yang mengingatkanku pada sunyi semesta di hari pertama penciptaan. Aku
menemukanmu, saat itu segenggam cahaya jiwa yang hangat seperti bias senja di
kelopak krisan. Ku kira Tuhan pada akhirnya
menjawab doa-doa tentang belahan jiwa.
Hai, Saphio. Dapatkah kau
tinggalkan buntalanmu di sini agar aku punya teman? Dia tampak menyukaiku. Ujarku.
Dapat kulihat Saphio tersentak. Itu
melanggar kodrat kelahiran! Kita akan mengacaukan tata semesta jika aku
mengabulkan permintaanmu. Tuhan akan sangat marah kepadaku.
Saphio bergegas bersiap melanjutkan
perjalanan ke Bumi, mungkin sedikit ketakutan oleh bintang yang tetiba mengiba-iba hal yang ganjil. Segera ku memohon ia menunggu sejenak agar aku dapat memberimu
hadiah. Aku menyuapimu dengan sedikit letupan-letupan yang dapat kutemukan di
lapis udara terluarku. Dapat kulihat bola cahaya itu turun ke tenggorokanmu
hingga berhenti di ujungnya, menyala-nyala jingga, hijau, merah, kelabu. Kau
tertawa manis sekali. Kubiarkan cahaya bintang memilikimu [1].
Aku sedikit bersedih karena Saphio
akhirnya pergi membawamu, dan memohon ampun atas kelancanganku kepada Tuhan. Namun,
tak dapat ku pungkiri pertemuanku denganmu semenjak itu banyak sedikit mengguncang iman. Duniaku tak lagi
menjadikan yang Disana sebagai pusat segala. Berkali-kali kulanggar hukum-hukum
langit agar dapat mengintip ke lubang cacing yang ku curi dengan bantuan pelikan-pelikan
pengangguran yang tak lagi mengenakan topi biru tinggi. Aku bertaruh sebagian hasil fusi untuk mereka dan amarah-amarah dari malaikat pengadu agar dapat mengamati
kehidupanmu.
Aku dapat melihat kau tumbuh
sebagai gadis yang dipenuhi gairah akah hidup. Dapat kulihat bola cahaya yang
menyala-nyala jingga, hijau, merah, kelabu, menjadikamu pusat semesta manusia
disekelilingmu. Kau dan cahaya itu menuntun mereka kepada kesadaran. Ini lucu
mengingat betapa kau adalah cahaya lain yang disesatkan pelikan pada suatu waktu. Mereka
agaknya sangat menyukai kehangatan yang kau tebar.
Lalu, aku dapat melihatmu melakukan kesalahan itu, jatuh cinta padanya.
Lalu, aku dapat melihatmu melakukan kesalahan itu, jatuh cinta padanya.
Dapat kulihat dia sama sepertiku,
seorang pengembara yang menjelajahi kota ke kota, kecuali dalam sunyinya dia
bertemu (dan kadang bercinta) dengan manusia-manusia lain, menyelamatkan
orang-orang, mengobarkan amarah. Kukira kau sedikit teringat padaku yang
mengajarimu pertama kali tentang kehangatan cinta. Kemudian aku melihatmu menatap
langit dengan penuh gairah setiap kau bercakap dengannya. Aku tersenyum
kepadamu. Namun segera kusadari bahwa kau melakukannya karena dia memintamu.
Gelisah tiba-tiba menjelma isyarat [2]. Mengapa aku tetap hidup dalam gelimang
kesunyian dengan begitu banyak kehangatan yang telah kubagi denganmu? Sementara
di bumi kau bahkan tak mampu membedakan aku diantara langit malam yang sepenuhnya
datar. Demikian mudahnya kau mencintai sesorang yang bahkan tak pernah kau
temui sebeumnya. Kau melupakan aku, bahkan dengan bola cahayaku yang melindungimu.
Telah tiba saatnya untuk mengambil
kembali letupan-letupan yang sebelumnya kumiliki dan jiwamu sekaligus. Aku
berderu mendahului takdir yang akan mengembalikanmu kepada Dia yang disana, di
pusat galaksi. Aku akan memastikan cahaya itu membawamu ke sini, tempat
bintang-bintang tunggal hidup. Pun itu berarti kau harus menelan bulat setiap perih
penarikan kembali. Toh, itu akan memutus setiap gerak yang menjadikanmu
pusatnya. Setelahnya kau dan aku akan berbahagia untuk keruntuhan kita dalam
gravitasi menuju Supernova.
Demikianlah aku mengingatkanmu
tentang apa-apa yang harusnya kumiliki. Kau. Seumur hidupku, tak akan ada yang lebih
menguras ketabahan selain menunggu jiwamu meluruh menuju bintang-bintang. Menuju
aku.
Seumur hidupku, tak ada yang lebih
menguras ketabahan selain menunggu kematianmu.
Salam hangat.
Administrasi
kantor pos besar ibukota Malang mencatat surat ini tak pernah sampai. Wilayah Cangar
di pegunungan barat Malang tempat surat ini ditujukan diisolasi pada 2058
akibat ditemukannya radiasi nuklir yang didahului meninggalnya Anna-Maria Galuh
Gayatri, seorang aktivis penentang rezim totaliter Federasi Malangkucecwara pada era pos-apokalip,
karena kanker tenggorokan dalam usia 19 tahun.
# #
Sapardi
Djoko Damono / Dua Ibu - Nokturno
Sulit
untuk tidak menetapkan proyek musikalisasi puisi Sapardi Sjoko Damono oleh
kolektif yang menamakan dirinya Dua Ibu sebagai mendung yang menenun
bibit-bibit badai musik folk-akustik di Indonesia (yang hingga hari ini semakin
terasa generik). Generasi kita telah terputus terlalu jauh dengan formula
kritik yang mewakili rakyat a la Iwan
Fals, selain karena ia tidak merawat konteks itu setelah keran kebebasan dibuka
pasca reformasi.
Album
Gadis Kecil, 2005, muncul membawa lirik-lirik manis berwana kelabu yang melekat
di dalam sajak-sajak Sapardi, seperti dalam [1] [2] Nokturno;
Kubiarkan
cahaya bintang
Memilikimu
Kubiarkan
angin yang pucat dan tak habis-habisnya
Gelisah,
tiba-tiba menjelma isyarat,
Merebutmu
Entah
kapan kah bisa ku tangkap
untuk kemudian diramu dengan aransemen sederhana
sehingga nyaman didengar berulang. Meskipun tak sampai menjangkau arus utama,
bibit-bibit romansa yang bertanggung jawab telah ditebar dimana-mana untuk
generasi kita lewat musik yang merakyat.