Akar-akar
Masalah
Perdebatan mengenai tata pemilihan
kepala daerah, memilih langsung maupun tidak, telah menjadi salah satu mosi yang
sejak lama tak kunjung hangus di meja-meja debat. Praksis pemilihan langsung
yang merupakan salah satu konsekuensi reformasi tidak berjalan sebagaimana apa
yang diidealkan, terutama konflik-konflik horizontal yang mekar dimana-mana. Disisi
lain, masyarakat kita digoda dengan sistem yang tak sepenuhnya asing; mekanisme
yang didasarkan pelimpahan wewenang memilih kepala daerah kepada dewan lokal.
Praktik ini berlangsung dan dipelihara selama tahun-tahun represi Orde Baru.
Celah-celah bagi desakan pengembalian
kepala daerah ke tangan DPRD sejak semula menemui titik terang akibat ketidakpastian
hukum yang ditimbulkan Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Kita tidak akan dapat menemukan penjelasan mengenai frasa “secara demokratis”
dimanapun, mengingat sejak empat kali amandemen konstitusi bagian penjelasan
dihilangkan dan dituangkan ke dalam pasal-pasal. Salah satu jalan adalah
menengok original intent dari pembentukan
pasal ini, dimana pada dasarnya ditujukan untuk mengakomodasi sejumlah sistem
ketatadaerahan yang berbeda, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta yang berkarakter
monarki dengan jabatan Gubernur dipangku oleh Sultan dan Wakil Gubernur oleh
Pakualam.
Namun, apalah arti tafsir ini dihadapan hukum
positif.
Pasal yang dapat ditafsirkan secara
terbuka ini memberikan wewenang yang besar bagi pembentuk undang-undang organik
sebagai penerjemah dan pemegang kewenangan reproduksi norma-norma konstitusi,
yang semakin berbahaya akibat corak kepentingan yang terlalu kontras. Pada
tahun 2004, euforia reformasi membawa kita pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memperkenalkan pemilihan kepala daerah
secara langsung. Sistem ini hanya berusia satu dekade.
Selain itu, desain ketatanegaraan kita menempatkan
kepala daerah dan DPRD sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Hal
ini berakar dari bentuk negara kesatuan yang kita anut, dimana kekuasaan legislatif
secara struktural tersentralisasi di tangan DPR (dan DPD). Tidak terdapat
distribusi ke daerah-daerah, sehingga kepala daerah dan DPRD berdiri pada
cabang kekuasaan yang sama (eksekutif) dibawah komando Presiden melalui
Kementerian Dalam Negeri.
Pertanyaan yang kemudian timbul: “Perlukah
kita memilih dua kali untuk mengisi posko pranata yang secara struktural sama?”,
dan benang-benang kusut dan lain-lain. Pada 25 September 2014, melalui lelakon
yang membikin patah hati, kita dihadapkan pada jawaban-jawaban. Undang-undang
pemilihan kepala daerah disahkan oleh opera sabun.
Melawan
Hukum dengan Hukum
Selain polarisasi kepentingan pasca
pemilihan presiden yang semakin menjijikkan, salah satu yang menarik perhatian
adalah aksi tong setan partai Demokrat yang notabene merupakan partai
pemerintah. Sejak semula, tidak tampak adanya itikad untuk mempertahankan sistem
pemilihan kepala daerah secara langsung oleh Presiden. Patut diingat bahwa rancangan
undang-undang ini lahir atas inisiatif pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri
yang telah diajukan sejak tahun 2010. Pasal 70 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada dasarnya juga
memungkinkan Presiden untuk menarik rancangan undang-undang tersebut sebelum
dibahas bersama DPR. Langkah ini rupanya tidak dipilih. Menjelang paripurna, partai
Demokrat datang dengan menawarkan 10 prasyarat yang seharusnya dapat diakomodasi
sejak awal pembentukan rancangan undang-undang.
Bahkan di mata hukum positif, manifest ketidakpercayaan
terhadap Presiden dan partai dibelakangnya menjadi relevan dan beralasan.
Oleh karena itu kita dapat menyingkirkan
Presiden dan partai Demokrat dari pusaran wacana perjuangan perlawanan terhadap undang-undang
pemilihan kepala daerah, ditengah sanksi sosial (media) yang terus mengalir.
Hal ini termasuk menghentikan desakan agar Presiden menolak menandatangani undang-undang pemilihan kepala daerah yang
baru. Selain sia-sia dan tidak menimbulkan dampak apapun, tindakan ini hanya
akan menunda pelaksanaan hak konstitusional kita dalam hal pengujian
undang-undang terhadap undang-undang dasar, mengingat undang-undang yang tidak
ditandatangani Presiden baru berlaku setelah 30 hari setelah disahkan
berdasarkan asas fictie hukum dalam
Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pada saat itulah
undang-undang pemilihan kepala daerah baru dapat dikategorikan sebagai obyek
sengketa di hadapan Mahkamah Konstitusi.
Kita perlu mengalihkan perhatian kita
pada upaya membangun argumentasi dalam kerangka memperalat arah penafsiran hukum
para hakim Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, membaca Pasal 18 ayat (3) tidak
dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar bernegara yang termuat dalam Pasal
1 UUD NRI 1945; kesatuan sebagai bentuk negara, republik sebagai bentuk
pemerintahan, dan demokrasi sebagai sistem politik.
Meskipun telah dibahas di bahas diawal
bahwa di dalam negara kesatuan tidak terdapat distribusi kekuasaan legislatif,
namun dalam pelaksanaannya dewan perwakilan lokal tetap melaksanakan fungsi
legislasi, dengan syarat produk yang dihasilkan harmonis dan tidak bertentangan
dengan undang-undang yang secara hirarkis berkedudukan lebih tinggi, sesuatu
yang membedakan dengan negara federal. Hal ini menimbulkan pemisahan kekuasaan
fungsional kasat mata ditingkat daerah; kepala daerah menjalankan fungsi eksekutif
dan DPRD menjalankan fungsi legislatif, meskipun secara struktural berada di
cabang yang sama. Adanya pemisahan kekuasaan secara fungsional ini juga
mengakibatkan kepala daerah dapat menjalankan wewenang diskresi untuk
menyimpangi peraturan daerah berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik,
sesuatu yang sulit dijalankan apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Selain itu, penolakan terhadap sistem
pemilihan kepala daerah oleh DPRD terkait gagasan republik dalam Pasal 1 ayat
(1) UUD NRI 1945, “(n)egara Indonesia
ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik”. Gagasan republik tidak
semata-mata mengenai prosedur suksesi kekuasaan yang tidak didasari pada
hubungan darah. Gagasan Republik mengandung tanggung jawab untuk mengenyampingkan
kepentingan individu dihadapan polis, res
publica, kehendak publik. Selain itu prinsip republik pada dasarnya menolak
bentuk-bentuk demokrasi perwakilan, yang dalam kasus ini mengenai pembentukan
otoritas pemerintahan di tingkat daerah;
“Otoritas
berdaulat tidak dapat diwakilkan dan dialienasi. Otoritas berdaulat hanya ada
di dalam kehendak umum, sedangkan kehendak umum tidak mungkin terwakili:
kehendak umum ada atau tidak ada, tidak mungkin setengah-setengah. Anggota
majelis perwakilan rakyat bukan dan tidak dapat menjadi wakil rakyat; mereka
hanya mandataris rakyat, yang secara defintif tidak berwenang menetapkan apapun.”
Rosseau melanjutkan argumentasinya dalam
Du Contract Social: Ou Principles Du
Droit Politique dengan mencibir sistem monarki parlementer Inggris, dimana
eksekutif disusun oleh pemenang pemilu parlemen, “Rakyat Inggris mengira dirinya bebas, namun mereka keliru sama sekali:
mereka hanya bebas selama pemilihan anggota Parlemen. Begitu parlemen terpilih,
rakyat menjadi budak, dan bukan apa-apa lagi.”
Selain
makna asali demokrasi dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat”, tafsir demokratis dalam Pasal 18 ayat (3) juga harus
dikaitkan dengan aksioma utamanya yaitu hak berserikat, berkumpul dan
berpendapat dalam Pasal 28 UUD NRI 1945, “(k)emerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”. Patut diingat bahwa pemilihan
umum tidak melulu tentang ajang suksesi kepala daerah. Lebih dari itu,
pemilihan umum merupakan medium menyampaikan pendapat sekaligus penghakiman
terlahadap jalannya pemerintahan selama satu periode, sesuatu yang berpotensi
tidak terlaksana akibat wewenang pemilihan kepala daerah yang dialihkan.
Pertanyaan mengenai keabsahan proses
pembentukan undang-undang itu sendiri juga perlu dimunculkan; apakah di
dalamnya terdapat keterlibatan DPD sebagai wakil-wakil daerah di parlemen. Urusan
pemilihan kepala daerah secara sistematis memengaruhi hubungan pusat dan daerah
yang merupakan domain DPD. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 meneguhkan
posisi DPD dalam proses pembentukan undang-undang, salah satunya dalam membahas
rancangan undang-undang secara penuh berdasarkan konteks Pasal 22D ayat (2) UUD
NRI 1945. Apabila dalam pembentukan undang-undang pemilihan kepala daerah DPD
tidak dilibatkan, maka undang-undang tersebut dapat dibatalkan.
Pada akhirnya, pengajuan uii material
maupun formal melalui Mahkamah Konstitusi hanyalah salah satu dimensi dalam
perlawanan terhadap sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang termuat
didalam undang-undang pemilihan kepala daerah. Apa yang menjadi ujung tombak
kita adalah pembangunan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemenuhan hak-hak
sipil, seraya membuktikan bahwa daulat rakyat tidak akan kalah dihadapan
perut-perut yang haus nanah dan mulai kehilangan akal sehat. 10 tahun sejatinya adalah waktu yang tak cukup
untuk memberi bukti apapun bagi mereka yang berpikir.