“I want you touch me in my bleed / I want you
touch my ancient week // Violence is what you are, is what you’ll be, is what
you’ll take in everyday.”
Melancholic
Bitch - On Genealogy of Melancholia (dalam Re-Anamnesis:
2013)
#1
Dibelahan
dunia yang asing, jauh sebelum trilogi saru Tuan Grey lalu mendudukkan wacana seksualitas menyimpang sebagai
raja kios-kios buku di bandar udara, di pinggir jalan, di metromini, seorang
penulis berkulit kuning menarasikan topik sadomasokisme dengan cara yang
terlampau absurd. Penulis ini, sebagian dari kita mengenalinya dari sebuah scene serial animasi Detective Conan, tepat ketika sang
detektif remaja yang tetiba mengecil tersudut oleh pertanyaan bertubi akan
siapa kamu. Si detektif (sekarang) cilik sesegera melirik, demi nama samaran
yang tepat daintara deretan buku-buku yang dia tumpu, dan voila, menemukannya,
Edogawa Rampo. Apa yang tengah kita bicarakan adalah salah satu karya penulis
misteri tersukses Jepang ini, Blind Beast.
Pada 1969, novel ini di angkat ke layar perak.
Shima
Aki, model foto diculik oleh seorang tunanetra yang dilanda obsesi untuk
menemukan wanita berkulit terhalus di muka bumi sebagai obyek magnum opus-nya. Si model mulai tampak menjadi
Sisyphus: awalnya menolak mati-matian, menghalalkan segala cara untuk lolos
dari studio kelam si tunanetra. Belakangan, ia menikmati setiap detiknya yang
menekan.
Dalam
gelap yang seluruh, model kita mulai kehilangan penglihatan dan menjadi
penyampai pepesan bangunan dramaturgi: “they
never know the tactile ecstasy of our caresses”, kenikmatan seksual yang
dibangun oleh sentuhan-sentuhan dalam ketiadaan pelita abadi, “like the lower orders of life, without eyes,
only able to feel”. Ia jatuh hati
pada gulita. Dalam gelap yang seluruh, sepasang tunanetra kemudian tak lagi
merasa cukup oleh sekadar sentuhan a la
organisme primitif yang mereka rasakan, memulai tragedi orgasmik yang berangkat
dari selangkangan, turun ke tangan, turun ke sepasang kaki, lalu nihilitas,
tidak ada lagi.
Hasilnya,
sebuah karya sinema noir-romantik yang sulit diterima akal sehat.
#2
Dalam
The Neurotic Personality of Our Time, Karen
Horney memulai diskusi mengenai kasih sayang sebagai sebuah kebutuhan neurotik dengan
membagi modus-modus mendasar manusia dalam mempertahankan diri dari rasa cemas:
menagih kasih sayang, bersikap inferior dan tenggelam didalamnya, menunjukkan
betapa dirinya dominan, atau terakhir, memilih jalan sunyi. Lebih lanjut,
Horney menegaskan bahwa tidak ada satupun kebudayaan yang secara eksklusif
hanya menjembatani salah satu bentuk. Dengan kata lain, setiap masyarakat
mengekspesikan hibridasinya masing-masing.
Ibarat,
jika setiap modus adalah selingkar diagram venn dalam sangkar sejarah, maka
individu-individu, masyarakat-masyarakat tertentu agaknya mewarisi irisannya.
Dan diantara
yang empat, kasih sayang yang berangkat dari kecemasan, perlahan memulai
neurosis.
#3
Di
belahan dunia yang asing, seseorang mencurigai sadomasokisme telah mengambil
rupa yang lain. Dia, Yang Curiga.
Secara
sederhana, sadomasokisme sebagai pseudo-ideologi seksual membimbing alam bawah
sadar penganutnya dalam mencapai puncak hedonitas dengan mendera subyek yang
liyan (atau dirinya sendiri) dengan penderitaan. Sebagaimana pelakon-pelakon
kita membahasakannya dengan keterlaluan dalam Blind Beast: setiap rintih, setiap perih, setiap darah yang
mengalir, adalah rantai-rantai esoterik yang tak terkatakan.
Dalam
kalimat yang terselip, Horney mendeskripsikan seksualitas sebagai kesepakatan
antara perilaku yang berangkat dari kepuasan dan di sisi lain, kecemasan, rasa
takut. Namun, kasih sayang dengan rasa takut yang dominan adalah awal mula
neurosis. Mereka yang memahami ini agaknya menggolongkan sadomasokisme sebagi
salah satu bentuknya.
Namun,
kasih sayang bukan satu-satunya modus penuntas kecemasan. Jika setiap modus
adalah selingkar diagram venn dalam sangkar sejarah, maka individu-individu,
masyarakat-masyarakat tertentu agaknya mewarisi irisannya.
Irisan
tersebut dapat bertumpuk dalam pola yang rancak. Dalam lingkar sunyi, kita dapat mewakilkannya pada lelaku pengasingan sejumlah Sufi dalam keterbatasan. Yang Curiga merasa apa yang
dilakukan kelompok ini merupakan titik tegang antara ketakutan
akan tuhan-tuhan mereka di satu sisi, kepuasan transenden akan tuhan-tuhan
mereka di sisi yang lain, dan kesunyian sebagai cara.
Yang
Curiga secara a priori menyimpulkan,
terdapat kemiripan antara sadomasokisme dan jalan penyembahan ini, kecuali aksioma kesadaran-ketaksadaran, dalam penderitaan yang terpilih.
Namun,
dia tak sungguh peduli pada mainan baru. Seseorang yang
menaruh curiga belum menemukan jawaban atas keraguannya. Dia mengambil
perangkat pemutar musik miliknya, dan mulai memutar lagu-lagu.
I want you touch me in my bleed/ I want
you touch my ancient week //
Violence is what you are, is what you’ll
be, is what you’ll take in everyday //
Di dalam lingkaran sunyi, sadomasokisme
itu telah berubah rupa dalam dirinya, dalam jalan derita yang dipilihnya untuk
perasaan-perasaannya sendiri, dilakukannya dengan kesadaran yang bulat. Berasal
dari apa-apa yang tak terkatakan, disemai oleh diamnya, ketunaannya.
Yang
Curiga meranggas. Dia menikmatinya.
Post-Scriptum : Saya
sangat menyukai formula ini sebagai morfin melankolia yang mujarab: dimulai
dengan menonton Blind Beast (1969), membacanya
ulang dengan esai-ringkasan singkat dari karya Karen Horney, Kebutuhan Neurotik Terhadap Kasih Sayang (dalam
Anatomi Cinta, Komunitas Bambu: 2009) sembari mendengar Melancholic Bitch - On
Genealogy of Melancholia (dalam album Re-Anamnesis:
2013). Tulisan diatas adalah karangan bebas asal ucap dengan menyari-tautkan
ketiganya.