Lapis-lapis udara kota Jakarta di bulan-bulan jelang pemberontakan 1
Oktober 1965 pekat oleh desas-desus tak kasat mata. Konon kabarnya,
telah dibentuk Dewan Jendral yang hendak menggulingkan pemerintahan
Soekarno dengan menggunakan momentum Hari Angkatan Bersenjata 5
Oktober 1965. Hal ini menimbulkan kekhawatiran luar biasa dalam tubuh
Partai Komunis Indonesia, dan menjadi perhatian utama dalam diskusi
Dwipa Nusantara Aidit dan Sjam Kamaruzzaman pada sebuah senja merah
di bulan Agustus 1964.
Kekhawatiran ini beralasan. Konfigurasi kekuasaan dibawah sistem
Demokrasi Terpimpin menempatkan Presiden Soekarno, Partai Komunis
Indonesia, dan Angkatan Darat sebagai tiang penyangga dalam hubungan
yang saling curiga. Jika kudeta Angkatan Darat atas Soekarno jadi
dijalankan, konfigurasi kekuasaan itu akan kehilangan keseimbangan,
posisi Partai Komunis Indonesia terancam.
Terlebih lagi, rona dunia ketiga pada masa itu semarak oleh
gurat-gurat revolusi korporatisme. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
Amerika Serikat berusaha meraih kemungkinan sekutu-sekutu baru dalam
menghadapi perang nirkata melawan simbol-simbol Komunisme. Mereka
menyokong angkatan-angkatan bersenjata di bawah rezim-rezim yang
berseberangan jalan untuk melakukan kup. Pun demikian dengan
Indonesia. Posisi Indonesia yang “netral” dalam perang dingin,
kampanye Ganyang Malaysia, juga upaya-upaya spionase terhadap
Soekarno: faktor-faktor ini merenggangkan hubungan
Jakarta-Washington. Sebaliknya, hubungan Gedung Putih dengan Angkatan
Darat dibalik layar justru kian erat, diam-diam mereka membahas
kemungkinan-kemungkinan penggulingan kekuasaan Soekarno.
Satu-satunya
cela dalam rencana Angkatan Darat ini adalah posisi Soekarno yang
demikian kuat dan amat dicintai rakyat (dan banyak anggota militer).
Kudeta langsung hanya akan menyebabkan Angkatan Darat kehilangan
legitimasi publik, menimbulkan gejolak dan pembangkangan sipil
maha-raksasa yang bahkan tak mampu ditangani dengan cara-cara
totaliter sekalipun.
Belakangan, justru kecurigaan dua petinggi Partai Komunis Indonesia
yang memberikan jalan bagi penggulingan itu, sedikit demi sedikit.
“Kup
itu harus digagalkan”. Sjam Kamaruzzaman atas perintah Aidit
bersama beberapa perwira tinggi angkatan bersenjata yang simpati pada
gerakan kiri sekaligus loyalis-loyalis Soekarno merancang sebuah
gerakan pendahuluan demi menyelamatkan pemerintahan Putra Sang Fajar.
Namun, tanda-tanda kegagalan operasi ini bahkan telah tampak sebelum
api disulut. Soepardjo, salah satu perwira tinggi militer yang
terlibat, keheranan atas upaya gerakan pendahuluan yang tidak
memenuhi kriteria sebuah kudeta dan gerakan perlawanan. Sjam yang
keras kepala tidak menggubris peringatan kolega militernya. Pada
malam 30 September operasi dimulai. Beberapa jendral memang berhasil
diculik (dan tanpa diperintah, dibunuh). Sayangnya, ada seorang yang
lain luput dari operasi, menyeruput kopi dan dengan taktis menekuk
lutut para pembangkang sesegera gerakan itu dimulai. Jelang senja di
1 Oktober, gerakan pendahuluan, yang belakangan dinamai G30S(/PKI)
ini, berhasil ditumpas.
Kegagalan ini menimbulkan konsekuensi teramat berat. “Seorang yang
lain”, Soeharto, memperoleh mandat kontroversial untuk mengambil
alih kekuasaan dan melakukan “tindakan-tindakan yang dianggap perlu
untuk menjaga stabilitas negara”. Soekarno sendiri harus menerima
kenyataan pahit disingkirkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dari
kursi kepresidenan, menandai berdirinya sebuah rezim totaliter kanan
bernama Orde Baru yang bertahan selama 32 tahun. G30S, sebagaimana diistilahkan sejarawan John Roosa, menjadi sebuah dalih pembunuhan massal. Genosida atas mereka
yang dianggap terlibat, langsung tidak langsung, dalam G30S dimulai
secara sistematis. Para petinggi Partai Komunis Indonesia satu
persatu menghadapi vonis mati di Mahmilub. Darah para kader dan
simpatisan akar rumput, etnis Tionghoa, hingga petani-petani inosen
menjadi halal ditumpahkan melalui eksekusi-eksekusi tanpa proses
peradilan. Soedomo mengklaim jumlah pengikut Partai Komunis Indonesia
yang harus meregang nyawa berada pada kisaran 1,7 juta jiwa. Hal ini
menerbitkan rasa prihatin yang mendalam, mengingat risalah-risalah
terbaru tentang G30S yang (akhirnya dapat) terbit pasca reformasi
menjelaskan bahwa hanya dua orang petinggi Partai Komunis Indonesia,
Aidit dan Sjam, yang mengetahui rencana ini secara menyeluruh. TAP
MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dirumuskan. Dan hingga kini, efek berkelanjutan G30S
masih terasa. Mereka yang keterlibatannya dalam gerakan 1 Oktober
digolongkan dalam kategori B kehilangan sebagian hak-haknya sebagai
warga negara. Ada tanda tertentu yang disematkan di kartu identitas
mereka. Satu babak sejarah Partai Komunis Indonesia dan Komunisme
Indonesia berakhir tragis.
Selanjutnya,
kita tahu Orde Baru menyebarluaskan doktrin dan versi sejarah mereka
perihal peristiwa G30S. Kita ingat bagaimana potongan-potongan film
Pengkhianatan G30S/PKI
yang selalu diputar pada malam-malam 30 September menggembarkan
anggota Partai Komunis Indonesia yang keji. Kita ingat bahwa setiap
tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Sangat sedikit antitesis beredar di masyarakat yang dapat memberikan
pencerahan. Kita digiring untuk lupa dan turut menghalalkan
pembantaian besar-besaran yang tidak dapat diterima hati nurani dan
akal sehat. “Sejarah ditulis oleh pemenang”, pun demikian sari
patinya yang tersedia untuk disesap.
Namun, bagaimana jika keadaan berbalik, gerakan 1 Oktober itu
berhasil?
Partai
Komunis Indonesia di bulan-bulan jelang pemberontakan 1 Oktober telah
menjelma menjadi kekuatan politik sipil paling disegani. Hari ulang
tahun mereka pada 23 Mei 1965 dirayakan besar-besaran di Stadion
Utama Senayan. John Roosa menggambarkan
bahwa “puluhan
ribu orang memadati tribun yang mengelilingi lapangan stadion,
sementara ribuan manusia lagi berdiri di lapangan yang terhampar di
bawah. Di luar, di lapangan parkir dan jalan-jalan di sekitarnya
lebih dari 100.000 orang saling berdesak-desakan.”
Jumlah yang amat banyak di masa itu. Pada pemilihan umum sebelumnya,
Partai Komunis Indonesia menduduki peringkat keempat pendulang suara
terbanyak. Jumlah kader, simpatisan dan pendukung mereka terus
bertumbuh. Partai Komunis Indonesia menjadi kekuatan komunisme terbesar ketiga di dunia, setelah Sovyet dan Tiongkok. Kondisi ini teramat timpang dibanding keadaan organisasi
yang terlanjur tercoreng pasca pemberontakan di Madiun tahun 1948.
Kedekatan
partai dengan Soekarno, utamanya dalam semangat anti-Nekolim,
menjadikan posisi Partai Komunis Indonesia kian menyenangkan. Andai
gerakan 1 Oktober berhasil, konfigurasi kekuasaan hanya menyisakan
dualitas penyangga, Soekarno dan Partai Komunis Indonesia. Partai
Komunis Indonesia akan semakin populer di mata rakyat melalui
kesuksesannya menggagalkan upaya kudeta atas sang Panglima Besar
Revolusi. Cepat atau lambat, kekuasaan atas pemerintahan Indonesia
akan merapat ke gerakan kiri. Kemudian terjadi perombakan
ketata-negaraan besar-besaran.
Salah
satu kecurigaan terbesar orang-orang adalah adanya agenda Partai
Komunis Indonesia untuk mengganti ideologi Pancasila dengan
Komunisme. Posisi Pancasila sendiri pada masa itu telah digeser
pelan-pelan oleh gagasan Soekarno tentang Nasakom sebagai upaya
menyelaraskan tiga arus utama pemikiran politik Indonesia. Mendongkel
Pancasila dari kedudukannya sebagai ideologi negara, sebagai
staatfundamentalnorm,
adalah
perkara yang mungkin dilakukan tanpa perlu mengalirkan keringat dan
darah oleh siapa saja yang berkuasa. Hans Nawiasky berpendapat,
sebuah staatfundamentalnorm masih dapat berubah melalui cara-cara
selain yang ditentukan sebuah tata hukum. Namun hukum itu sendiri
adalah politik dalam baju lain. Sejarah Indonesia mencatat, perubahan
staatfundamentalnorm tidak melulu tentang revolusi atau kudeta.
Soeharto dan Orde Baru misalnya, membentuk tafsir dan pemaknaan
Pancasila versi mereka sendiri, yang kemudian digunakan sebagai
instrumen yang memberikan kemapanan. Staatfundamentalnorm bernama
Pancasila itu resmi berganti substansi. Langkah serupa dapat
dilakukan Partai Komunis Indonesia andai mereka mau.
Dan
barangkali Indonesia hari ini, setelah puluhan tahun gerakan 1
Oktober 1965 itu berhasil, telah menjelma sebagai negara Komunis
yang: seperti Cina, membiarkan “kapitalis-kapitalis” kecil
tumbuh, atau sebuah negara yang jutaan rakyatnya sejahtera dari
memegang arit. Atau negara yang tengah diisolasi dunia karena keras
kepala. Atau tengah terlibat dalam Perang Dunia ke-III yang pecah
belakangan. Ada terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan. Tapi satu hal yang benderang adanya, bahwa itulah jalan-jalan
yang tidak dipilih Tuhan untuk bangsa ini.