Inna anzalnahu fi
lailatil-qadr(i) / Wa maa adraka maa lailatil-qadri(i) / Lailatul-qadri khairum
min alfi syahr(i) / Tanazzalul malaa'ikatu war-ruuhu fihaa bi'izni rabbihim min
kulli amr(in) / Salaamun hiya hattaa matla'il fajr(i). Pelita pertama telah
dinyalakan, diantara sebait surat Al-Qadr yang saya baca dalam hati sembari
menahan nafas. Tata cara menyalakan tohetutu (pelita minyak tanah dalam
bahasa Gorontalo) ini saya pelajari dari orang-orang Gorontalo yang saya kenal
mula-mula. Konon, hal ini mengundang mukjizat malam seribu bulan singgah ke
rumah. Bau jelaga bercampur minyak tanah meruap sesegera saya membiarkan udara
kembali mengisi paru-paru.
Saya tidak menemukan catatan yang
dapat memberi penjelasan akurat mengenai kapan Tumbilotohe bermula. Kebudayaan
Gorontalo cenderung abai akan pentingnya tradisi tulisan dalam merekam catatan
sebuah peristiwa. Pengetahuan mengenai asal mula Tumbilotohe dapat diperoleh
melalui tutur lintas generasi, dari mulut ke mulut. Perayaan ini konon dimulai
untuk memberi penerangan bagi orang-orang yang hendak menunaikan ibadah sholat
tarawih. Versi lain menyebutkan, deretan pelita-pelita digunakan guna menjadi
penunjuk jalan bagi lailatul-qadr yang turun dari langit. Berfungsi
serupa lampu-lampu suar pemandu pesawat terbang di bandar udara. Ini
menjelaskan mengapa malam ke-27, 28, dan 29 Ramadhan dipilih sebagai
malam-malam perayaan. Bersama Tumbilotohe didirikan miniatur gerbang-gerbang
dari kayu dan bambu, alikusu. Diatasnya digantung hasil bumi dan
buah-buahan sebagai sedekah dan ucapan syukur kepada Tuhan, untuk kemudian
dapat dipetik siapa saja yang berlalu-lalang.
Hamparan Tohetutu dengan latar jembatan Talumolo II. |
Kita, sesungguhnya, tengah
memasuki periode hitung mundur menuju padamnya cahaya sebuah pelita besar
kebudayaan Gorontalo.
Tohetutu dalam Tumbilotohe telah
menjejak jalur evolusi yang panjang sejak pertama kali dinyalakan oleh
entah-siapa. Pada mulanya, pelita-pelita menggunakan minyak kelapa sebagai
bahan bakar. Di masa lampau, masyarakat memproduksi sendiri olahan ini di
rumah-rumah guna memenuhi kebutuhan domestik. Meluasnya distribusi kerosen
hasil penyulingan minyak bumi menghadirkan varian lampu yang lebih memudahkan.
Padat. Ragam kendaraan menyesaki Jl. Bali yang sempit. Pemuda setempat membangun terowongan cahaya dari lampu berwarna senada nyala tohetutu. |
Pertentangan tak tampak yang
sengit juga datang dari tataran idea. Gugatan atas tren perayaan tradisi ini
belakangan hadir dari sejumlah cendekiawan Gorontalo, seperti Thoriq Modanggu
(iya, Thoriq Modanggu yang itu) melalui salah satu artikelnya dalam buku
Mengutuk Tuhan Yang Terkutuk. Waktu yang berderap, menyebabkan tumbilotohe
mengalami pergeseran utilitas yang nyata. Orang-orang Gorontalo (termasuk saya,
tentu saja) lebih suka berkeliling dan menikmati temaram, alih-alih memakmurkan
rumah Allah. Dua hal ini selalu berdiri pada sisi-sisi yang berseberangan. Dua
hal ini, mewakili nilai-nilai pragmatik dan ideal, duduk saling hadap-menghadap
dalam arena.
Perayaan Tumbilotohe, dengan
segala potensi kepariwisataannya, terlalu berharga untuk diabaikan. Suatu
keunikan tersendiri melihat jutaan lampu botol menyala serentak, dari tepian
jalan-jalan pos kota hingga pojok-pojok perkampungan. Dengan cara tertentu,
Tumbilotohe menyajikan kehangatan, dan kadang-kadang romantisme yang tak
terjelaskan. Pemandangan yang akan sulit ditemui di belahan bumi manapun.
Tumbilotohe juga menggerakkan usaha kecil, dengan nilai menjanjikan dari
transaksi jual-beli botol bekas minuman energi, dari sewa jasa angkutan bentor
untuk berkeliling kota. Bunyi ladam sepatu kuda yang hampir senyap di jalanan
Gorontalo juga kembali semarak.
Kawan saya, Sarah, menyalakan pelita yang padam. |
Sekelumit Tentang Tumbilotohe:
Tumbilotohe dirayakan pada
malam ke-27, 28, dan 29 Ramadhan setiap tahunnya, yang secara umum mengacu pada
penentuan penanggalan hijriyah milik pemerintah. Menikmati tumbilotohe tidak
dipungut biaya dan dapat ditemukan di seluruh Gorontalo. Transportasi:
Berkeliling menggunakan bentor dan bendi sangat direkomendasikan. Tempat
terbaik untuk menikmati Tumbilotohe di seputaran Kota Gorontalo: Jl.
Bali, jembatan Talumolo II, Danau Limboto sisi perbatasan Kota Barat-Batudaa, Kecamatan
Tilango.