Foto kurang baik, diambil via kamera hp. |
Saya
bukan penggemar Efek Rumah Kaca (selanjutnya saya sebut ERK) yang
giat. Cerminnya, tidak banyak lagu mereka yang bisa saya eja dengan
benar. Paling-paling Cinta Melulu, sebuah anthem yang kami gunakan
untuk menangkal banjir lagu melankolik di zaman madrasah dulu. Tapi
berita konser mereka di Malang terdengar amat menyegarkan. Tak boleh
dilewatkan. Beberapa hari belakangan saya cukup disibukkan dengan
urusan pra-kompetisi adu gagasan tingkat nasional. Bantu sana, bantu
sini. Menyusun dan mengadu argumen. Menyenangkan, namun manusia tetap
manusia. Pelarian. Lagipula kota kita rasanya, sepanjang saya
bermukim disini, amat jarang disinggahi musisi sekelas ERK. Andaipun
ada, diadakanlah dia di venue
yang jauh dari kontrakan dan sulit dijangkau angkutan umum. Kali
terakhir saya menonton konser terjadi setahun lalu. Iya, setahun
lalu, dan di ibukota negara. Maka terpujilah anak-anak Psikologi UM.
Di Graha Cakrawala, deret gerbong pagelaran dimulai oleh A Strong Boy
yang mengajak cicak berjalan dilantai dan nyamuk seolah terbang
terbalik. Selanjutnya elektronika ATLESTA yang genit (terima kasih
untuk additional vokalis dari Kobra) dan pop menyenangkan My
Beautiful Life. Sebuah band ska yang paling memancing keringat justru
saya lupa namanya. Unit ini memaksa saya berdansa buta. Seorang
wanita kemudian menegur saya bercanda: kalau lari, kamu udah nyampe
Rampal kali. Maklum mahasiswa, udah lama gak olahraga, balas saya.
Kami tertawa bersama. Sayang tidak ada perkenalan. Dansa berlanjut.
Unit
paling ditunggu akhirnya kebagian giliran. Konon ERK selalu tampil
santun, tidak berlebihan. Malam itu juga. Muncul dari balik panggung
sembari bersedekap, sumbu dinamit yang telah disulut sejak awal acara
langsung meletup binal. Tanpa kata ERK mengawali jatah tampil mereka
dengan Desember. Aku
selalu suka sehabis hujan di bulan Desember, di bulan Desember. Crowd
menjadi kesulitan mengontrol diri untuk tidak membantu Cholil
menyanyi sepanjang set. Suaranya hilang diantara histeria.
ERK
tampil tanpa setlist, dan
tanpa
banyak sapa pula.
Sesekali Cholil tertangkap menengok ke belakang untuk bertanya pada
Akbar yang duduk dibalik drum. Irama demi irama berlalu, Cinta
Melulu, Insomnia, Hilang, hingga Di Udara tiba, ode untuk senior
Munir Said Thalib. Saya tak kuasa mengepal-ngepalkan tangan ke atas,
menirukan gestur demo, mambangun bola semangat Dragon Ball. Hampir 10
tahun Munir mati diracun arsenik namun keadilan belum sampai. Ku
bisa tenggelam di lautan, ku bisa diracun di udara, ku bisa terbunuh
di trotoar jalan.
Setelahnya saya kehabisan tenaga, kecuali untuk bergumam. ERK sempat
membawakan sebuah lagu baru, namun tidak terdengar jelas judulnya.
Suara vokalis memang tidak terdengar baik sejak awal acara.
Pukul 23.40 ERK memutuskan mengakhiri konser. Jatuh Cinta Itu Biasa
Saja masih belum dibawakan dan kiranya akan jadi penutup yang manis.
Namun keputusan yang dipilih Cholil cs jauh diluar dugaan. Intro
Desember kembali dimainkan. Hati yang dingin semakin gila.
ERK
dan Intelektualitas
Gramsci
meyakini bahwa setiap orang memiliki potensi sebagai seorang
intelektual, namun hanya sedikit yang mampu menjalankan fungsinya.
Terjadi perluasan makna disana, kala 'intelektual' kemudian digunakan
untuk menyebut individu maupun individu-individu yang mampu menjadi
organisatoris, dinamo, domino pertama dari semua lapisan masyarakat.
Tesis yang meyakini bahwa akar rumput dengan peran teknis juga
memiliki kemungkinan ini. Gramsci menolak batasan ortodoks bahwa
hanya filsuf, sarjana, negarawan, sastrawan, hingga seniman yang
dapat berperan intelektual. Dimana letak ERK? Gramsci membagi
intelektual model tradisional yang masih mengenyampingkan peran akar
rumput dalam dua kelompok besar: intelektual politik dan intelektual
budaya. Hakikatnya, ERK berada pada posisi yang saya sebut kedua.
Namun beberapa formula lirik mereka kemudian menjadikan identitas ERK
mengawang.
Bob Dylan
berujar tentang lagunya dalam sebuah wawancara dengan Rolling Stone,
“Orang-orang akan berkata, ini tidak sesuai kenyataan. Tapi seorang
penulis lagu tak peduli dengan apa yang nyata. Dia peduli dengan apa
yang seharusnya terjadi”. Bisa jadi benar, namun analisis kacangan
saya mengatakan bahwa ERK bukan sepenuhnya penganut teori ini. Yang
dirumuskan ERK dalam lagu-lagu mereka adalah refleksi dari apa yang
berlalu-lalang di masyarakat. Mari menyimak Hilang, singel lepas yang
bertutur penantian untuk manusia yang raib dari muka bumi pada masa
reses. ERK juga tidak melulu mengkritisi pemerintah. Kenakalan Remaja
di Era Informatika, misalnya. Siapa saja akan segera sadar bahwa
substansi lagu ini adalah sindiran gila-gilaan atas keberanian pamer
tubuh remaja kita dewasa ini (dan jika berpikir cukup progresif, naif
rasanya jika tidak mengakui bahwa lagu ini ditujukan untuk kita
penikmatnya juga. Narsisme selalu membutuhkan perhatian, dan menjadi
hidup atasnya). Ada pergeseran muatan entri apabila kita menelusuri
kata 'SMA' di mesin pencari internet: 3gp yang amat banyak. Semuanya
disampaikan dengan gaya ERK, dengan pilihan kata mereka.
Dalam
konsepan ultrademokratis dikenal sebuah model dunia cita-cita bernama
masyarakat madani (civil society). Model ini dibangun atas
sinergi dan simbiosis trigunal antara pemegang kuasa, pemilik modal,
dan obyek (korban) keduanya, masyarakat umum. Diluar itu,
terdapat kelompok yang dianugerahi kewenangan sebagai pranata
ekstra-model untuk fungsi pengontrol kesetimbangan ketiga unsur
tersebut. Pressure Group, kelompok penekan. Dalam tataran ini
kemudian intelektualitas politik ERK dan banyak band protes lain
mekar. Musik protes menjadi katalis, kompor, bujuk rayu sekaligus
jembatan antara intelektual tradisional dan intelektual organik yaitu
kelas-kelas masyarakat sipil yang memiliki potensi organisatoris
tertidur. Berlebihankah? Sekali lagi Dylan menunjukkan skeptisme atas
potensi peran ini
“Ini
bukan lagu protes sosial atau sejenisnya, karena menulis lagu semacam
itu bukan urusan saya”. Namun sejarah mencatat, Rage Against the
Machine pernah mengambil peran sebagai pemantik badai huru-hara di
Seattle tahun 1999. Musik, layaknya produk budaya literasi, selalu
memiliki potensi sebagai media propaganda dan kritik. Masalahnya,
apakah setiap penyimak ERK, atau setidak-tidaknya mereka yang hadir
di Graha Cakrawala malam itu pulang dengan sekeranjang saripati
semangat ini? Jika tidak, keyakinan sejumlah orang bahwa musik
kritik tak lain merupakan dagangan cemilan dalam bungkusan baru telak
memperoleh pembenaran.
Dan,
andai lahir dibawah rezim godam paku Orde Baru, masihkah ERK bertutur
sebaik kini?
Esai
ini setidak-tidaknya saya tujukan untuk menjawab pertanyaan mengenai
semangat intelektual apa yang hendak kita bawa. Hal ini berangkat
dari adanya kecenderungan membatasi makna 'intelektual' berdasarakan
sudut pandang tradisional yang dikemukakan Gramsci. Dan mengapa
kadang kita butuh konser musik, dalam koridor yang sesuai.