Pada suatu pagi saya memutuskan untuk membuka-buka notebook dan mencoba memilah-milah file yang kiranya masih dibutuhkan dan yang telah layak untuk di recycle bin-kan. Pandangan saya kemudian tertumpu pada sebuah folder yang memaksa saya tersenyum, sembari mengeja kembali kenangan akan masa taman kanak-kanak dalam sebuah darmawisata ke TAHURA Juanda.
Kunjungan saya ke TAHURA Juanda sebenarnya telah terjadi cukup lama, tepatnya pada pehujung bulan Juni lalu. Namun disebabkan kurangnya waktu, postingan tentang kawasan ini (dan sejumlah spot menarik lain di Bandung) harus tertahan beberapa waktu.
Usai berkunjung ke Museum Geologi Bandung, saya menantang seorang teman untuk melanjutkan perjalanan, mendaki jalan menuju TAHURA Juanda di Dago Atas. Bukan tanpa alasan. Sudah cukup lama saya tak berkunjung ke kawasan hutan ini, sehingga keinginan untuk bersua terus mengalir. Terlebih terdapat catatan dalam memori saya mengenai perjalanan darmaisata taman kanak-kanak saya dahulu. Beruntung si teman mengiyakan, alhasil dimulailah petualangan kami. Usai berjalan kurang lebih 15 menit kami akhirnya mencapai gerbang.
Sisi kiri dan kanan ditutupi flora tropis. |
Kami terlebih dahulu menyambangi Gua Jepang. Melihat gelapnya kondisi didalam, kami manut saja ketika ditawari jasa pemanduan dan senter oleh warga sekitar. Kondisi didalam cukup lembab dan apek mengingat kurangnya cahaya matahari yang menerobos. Pada sejumlah titik terdapat galian-galian yang letaknya cukup tinggi dari dasar gua yang konon digunakan untuk beristirahat para tentara Jepang. Usai tur, kami memberikan sejumlah uang (yang menurut saya cukup mahal untuk kantong calon mahasiswa) kepada si pemandu sebagai ucapan terima kasih. Sebuah pelajaran bagi saya agar menegosiasikan terlebih dahulu kisaran biaya agar tak kaget diakhir.
Kami berpindah ke Gua Belanda yang berada sekitar 500 meter dari Gua Jepang. Di tengah perjalanan kami bertemu seorang warga asing yang terlihat kebingungan. Saya tersadar akan kiurangnya informasi dalam bahasa asing pada papan petunjuk yang tersebar di kawasan ini. Usai berjalan kaki 5 menit, kami tiba di Gua Belanda.
Di banding Gua Jepang, Gua Belanda memiliki paras yang lebih modern. Padahal jika ditilik, usia Gua Belanda relatif lebih tua. Hal ini disebabkan fungsi Gua Belanda yang awalnya ditujukan sebagai terowongan PLTA tetapi pada saat Perang Dunia Ke-II Gua Belanda berubah fungsinya menjadi Pusat Stasiun Radio Telekomunikasi Militer Hindia Belanda. Di gerbangnya kembali kami ditawari jasa pemandu, namun kali ini kami tolak secara halus mengingat kondisi gua yang relatif lebih terang.
Pintu masuk Gua Belanda. Disekitarnya terdapat sejumlah tukang ojek yang menawari jasa untuk menjangkau sejumlah air terjun. |
Seorang kawan dalam balutan kegelapan interior Gua Belanda. |
Tak lupa kami ditawari jasa ojek untuk mencapai air terjun yang terletak di kawasan ini, namun dengan berat hati mesti kami tolak mengingat hari mulai kelewat sore. Dalam kawasan TAHURA Juanda sendiri terdapat setidaknya lima air terjun, diantaranya Curug Dago, Curug Omas dan Curug Lalay. Sebelum pulang, saya mengajak teman mengunjungi Plaza Juanda dan kolam buatan milik PLN. Disinilah semua kenangan akan darmaisata taman kanak-kanak saya bermuara. Saya mereka kembali celotehan, tawa dan canda bersama kawan-kawan kecil dahulu, menjadikan perjalanan saya sore itu ditutup dengan menyenangkan.
Plaza Juanda dan selaksa ingatan saya tentangnya. |